Perbuatan (Kamma) Kebiasaan
Seandainya tidak ada kamma berat dan kamma menjelang kematian, maka kamma kebiasaan umumnya akan mendorong kelahiran kembali.
Kamma kebiasaan adalah suatu perbuatan yang di lakukan seseorang sebagai kebiasaan ataupun rutinitas.
Beberapa kisahnya antara lain :
Kisah Cundasukarika
Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh; selama hidupnya dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya untuk merangkak seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan di lahirkan kembali ke Neraka Avici(Avici Niraya).
Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda berpikir, pasti Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.
Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat akibat penyakit yang di deritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di Alam Neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang di lakukannya; dia menderita dalam dunia ini sama seperti pada alam berikutnya".
Hal itu di wejangkan oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair 15 berikut ini:
Di dunia ini ia bersedih hati, di dunia sana ia bersedih hati; pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia itu. Ia bersedih hati dan meratap karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.
(Dhammapada Atthakatha Bab I Syair 15)
Kisah Kapila Dan Ikan
Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemashyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas, "Berapa banyak yang kau tahu?" Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.
Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang 'Peraturan Pokok' bagi para bhikkhu(Patimokkha), Kapila berkata, "Tidak ada apa yang dikatakan Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak," dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).
Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia di lahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti di sebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.
Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.
Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan "O Raja! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia di lahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan , ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Kebhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia di lahirkan di alam neraka (niraya) dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk."
Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui kemana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka(niraya) dan ia di penuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana di perkirakan pada saat kematiannya, ikan tersebut di lahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lainnya.
Semua yang hadir mendengar kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat meng-kombinasikan antara belajar dengan praktek.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini:
Bila seorang hidup lengah, maka nafsu keinginan tumbuh, seperti tanaman Maluva yang menjalar. Ia melompat dari satu kehidupan ke kehidupan lain, bagaikan kera yang senang mencari buah-buahan di dalam hutan.
Dalam dunia ini, siapapun yang di kuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah seperti rumput Birama yang tumbuh dengan cepat karena di sirami dengan baik.
Tetapi barangsiapa dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan sukar di kalahkan itu, maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air yang jatuh dari daun teratai.
Kuberitahukan hal ini kepadamu : Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan ! Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut akar rumput Birama yang harum. Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu berulang kali, seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang yang tumbuh di tepi.
(Dhammapada Attakatha Bab XXIV : Syair 334,335,336, dan 337)
Kisah Upasaka Dhammika
Di Savatthi ada seorang yang bernama Dhammika. Ia seorang umat yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.
Dhammika mempunyai tujuh orang putra dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi luhur dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya ia membuat permohonan kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.
Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana Sutta" , enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada mereka menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka di suruh berhenti, maka mereka berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.
Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.
Demikianlah orang berbudi luhur berbahagia di dunia ini sama seperti di alam berikutnya.
Hal ini di babarkan Sang Buddha sebagai syair 16 berikut :
Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira; pelaku kebajikan bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka cita karena melihat perbuatannya sendiri yang bersih.
(Dhammapada Atthakatha Bab I Syair 16)
Dewi Mekkhala
Ada satu hal yang di terima oleh umat Buddha mengenai adanya mahluk dewa yang terlahir kembali sebagai manusia, yaitu : Guru Agung, Sang Buddha. Ia terlahir kembali dari surga Tusita ke alam manusia sebagai Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana dan Ratu Maya.
Kisah lain dalam literatur Buddhis yang cukup di kenal adalah kisah Dewa Mekkhala. Dewa ini ditunjuk sebagai pelindung suatu samudera dan orang-orang yang bernaung pada Tiga Permata (Tiratana), memegang teguh moral (silasampanna), dan menghormati orangtua mereka.
Tersebutlah Bodhisatta Brahmin yang menempuh perjalanan dengan kapal di samudera tersebut namun kapalnya hancur. Butuh 7 hari untuk berenang sampai ke tepi pantai.
Ia terlihat oleh Dewi Mekkhala yang kemudian menampakkan diri dihadapannya dan berkata bahwa ia akan memberikan apapun yang di butuhkan oleh Boddhisatta. Ia mewujudkan semua benda-benda tersebut untuk Bodhisatta, seperti kapal dan permata.
Bodhisatta pun terbebas dari samudera dan berlatih memberi (dana) dan memegang teguh moral (sila) sepanjang hidupnya. Setelah kehidupan sebagai manusia berakhir, ia pun terlahir kembali di alam surga.
Bodhisatta tersebutlah yang kelak kita kenal sebagai Sang Buddha Gotama.
Dewi tersebut, Mekkhala terlahir sebagai Bhikhuni Uppalavana.
"Dewa dapat terlahir kembali sebagai manusia dan manusia juga dapat terlahir sebagai dewa."
Ketika Guru Agung sedang berada di Vihara Jetavana, Beliau memberitahukan sebuah kisah di masa lampau. Jauh di masa kehidupannya yang lampau Beliau merupakan pimpinan dari sebuah kelompok pedagang keliling (berkelana dengan kereta angkut) yang membawa barang-barang dari Kota Baransi dengan tujuan pulang ke rumah. Mereka harus berjalan melalui daratan yang kering dan dalam perjalanan mereka menemukan sumur yang sudah kering. Mereka mencoba menggali untuk mendapatkan air minum tapi malahan menemukan banyak perhiasan, bukan air. Sang Bodhisatta memperingati mereka bahwa "Ketamakan adalah sebab dari kehancuran", namun tidak satupun orang mematuhinya. Mereka terus menggali untuk mengumpulkan lebih banyak perhiasan lagi. Sumur ini adalah tempat berdiam seekor Raja Naga. Ketika sumurnya di rusak, Raja Naga menjadi marah dan membunuh mereka semua dengan menyemburkan racun dari hidungnya kearah mereka semua. Bodhisatta sendiri terhindar dari kejadian itu karena tidak ikut dalam penggalian tersebut. Ia kemudian memenuhi ketujuh keretanya dengan perhiasan. Dan kemudian membagikan kekayaan tersebut untuk amal dan melaksanakan uposatha-sila sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam surga.
Ini membuktikan bahwa manusia dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani yang baik akan terlahir kembali di alam surga dala bermacam-macam tingkatan tergantung pada tingkatan prilaku mereka.
Perbuatan (Kamma) Simpanan
hal 4
bersambung ke hal 5
Seandainya tidak ada kamma berat dan kamma menjelang kematian, maka kamma kebiasaan umumnya akan mendorong kelahiran kembali.
Kamma kebiasaan adalah suatu perbuatan yang di lakukan seseorang sebagai kebiasaan ataupun rutinitas.
Beberapa kisahnya antara lain :
Kisah Cundasukarika
Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh; selama hidupnya dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya untuk merangkak seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan di lahirkan kembali ke Neraka Avici(Avici Niraya).
Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda berpikir, pasti Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.
Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat akibat penyakit yang di deritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di Alam Neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang di lakukannya; dia menderita dalam dunia ini sama seperti pada alam berikutnya".
Hal itu di wejangkan oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair 15 berikut ini:
Di dunia ini ia bersedih hati, di dunia sana ia bersedih hati; pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia itu. Ia bersedih hati dan meratap karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.
(Dhammapada Atthakatha Bab I Syair 15)
Kisah Kapila Dan Ikan
Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemashyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas, "Berapa banyak yang kau tahu?" Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.
Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang 'Peraturan Pokok' bagi para bhikkhu(Patimokkha), Kapila berkata, "Tidak ada apa yang dikatakan Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak," dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).
Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia di lahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti di sebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.
Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.
Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan "O Raja! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia di lahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan , ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Kebhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia di lahirkan di alam neraka (niraya) dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk."
Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui kemana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka(niraya) dan ia di penuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana di perkirakan pada saat kematiannya, ikan tersebut di lahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lainnya.
Semua yang hadir mendengar kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat meng-kombinasikan antara belajar dengan praktek.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini:
Bila seorang hidup lengah, maka nafsu keinginan tumbuh, seperti tanaman Maluva yang menjalar. Ia melompat dari satu kehidupan ke kehidupan lain, bagaikan kera yang senang mencari buah-buahan di dalam hutan.
Dalam dunia ini, siapapun yang di kuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah seperti rumput Birama yang tumbuh dengan cepat karena di sirami dengan baik.
Tetapi barangsiapa dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan sukar di kalahkan itu, maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air yang jatuh dari daun teratai.
Kuberitahukan hal ini kepadamu : Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan ! Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut akar rumput Birama yang harum. Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu berulang kali, seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang yang tumbuh di tepi.
(Dhammapada Attakatha Bab XXIV : Syair 334,335,336, dan 337)
Kisah Upasaka Dhammika
Di Savatthi ada seorang yang bernama Dhammika. Ia seorang umat yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.
Dhammika mempunyai tujuh orang putra dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi luhur dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya ia membuat permohonan kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.
Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana Sutta" , enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada mereka menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka di suruh berhenti, maka mereka berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.
Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.
Demikianlah orang berbudi luhur berbahagia di dunia ini sama seperti di alam berikutnya.
Hal ini di babarkan Sang Buddha sebagai syair 16 berikut :
Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira; pelaku kebajikan bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka cita karena melihat perbuatannya sendiri yang bersih.
(Dhammapada Atthakatha Bab I Syair 16)
Dewi Mekkhala
Ada satu hal yang di terima oleh umat Buddha mengenai adanya mahluk dewa yang terlahir kembali sebagai manusia, yaitu : Guru Agung, Sang Buddha. Ia terlahir kembali dari surga Tusita ke alam manusia sebagai Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana dan Ratu Maya.
Kisah lain dalam literatur Buddhis yang cukup di kenal adalah kisah Dewa Mekkhala. Dewa ini ditunjuk sebagai pelindung suatu samudera dan orang-orang yang bernaung pada Tiga Permata (Tiratana), memegang teguh moral (silasampanna), dan menghormati orangtua mereka.
Tersebutlah Bodhisatta Brahmin yang menempuh perjalanan dengan kapal di samudera tersebut namun kapalnya hancur. Butuh 7 hari untuk berenang sampai ke tepi pantai.
Ia terlihat oleh Dewi Mekkhala yang kemudian menampakkan diri dihadapannya dan berkata bahwa ia akan memberikan apapun yang di butuhkan oleh Boddhisatta. Ia mewujudkan semua benda-benda tersebut untuk Bodhisatta, seperti kapal dan permata.
Bodhisatta pun terbebas dari samudera dan berlatih memberi (dana) dan memegang teguh moral (sila) sepanjang hidupnya. Setelah kehidupan sebagai manusia berakhir, ia pun terlahir kembali di alam surga.
Bodhisatta tersebutlah yang kelak kita kenal sebagai Sang Buddha Gotama.
Dewi tersebut, Mekkhala terlahir sebagai Bhikhuni Uppalavana.
"Dewa dapat terlahir kembali sebagai manusia dan manusia juga dapat terlahir sebagai dewa."
Ketika Guru Agung sedang berada di Vihara Jetavana, Beliau memberitahukan sebuah kisah di masa lampau. Jauh di masa kehidupannya yang lampau Beliau merupakan pimpinan dari sebuah kelompok pedagang keliling (berkelana dengan kereta angkut) yang membawa barang-barang dari Kota Baransi dengan tujuan pulang ke rumah. Mereka harus berjalan melalui daratan yang kering dan dalam perjalanan mereka menemukan sumur yang sudah kering. Mereka mencoba menggali untuk mendapatkan air minum tapi malahan menemukan banyak perhiasan, bukan air. Sang Bodhisatta memperingati mereka bahwa "Ketamakan adalah sebab dari kehancuran", namun tidak satupun orang mematuhinya. Mereka terus menggali untuk mengumpulkan lebih banyak perhiasan lagi. Sumur ini adalah tempat berdiam seekor Raja Naga. Ketika sumurnya di rusak, Raja Naga menjadi marah dan membunuh mereka semua dengan menyemburkan racun dari hidungnya kearah mereka semua. Bodhisatta sendiri terhindar dari kejadian itu karena tidak ikut dalam penggalian tersebut. Ia kemudian memenuhi ketujuh keretanya dengan perhiasan. Dan kemudian membagikan kekayaan tersebut untuk amal dan melaksanakan uposatha-sila sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam surga.
Ini membuktikan bahwa manusia dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani yang baik akan terlahir kembali di alam surga dala bermacam-macam tingkatan tergantung pada tingkatan prilaku mereka.
Perbuatan (Kamma) Simpanan
hal 4
bersambung ke hal 5