SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Kamis, 19 Mei 2011

Usai Operasi, Pantat Pasien Malah Ditato


YUNNAN - Seorang pasien menolak meninggalkan rumah sakit karena mengaku pantatnya telah ditato selesai operasi pengangkatan batu empedu.

Sheng Xianhui (34), dari Kunming, propinsi Yunan, China, mengaku bahwa pantatnya bagian kanan telah di tato dengan dua huruf karakter China.

Dia mengklaim bahwa tato yang artinya adalah "Penyakit Batu" dilakukan oleh staf Rumah Sakit Penyakit Batu di Yunnan saat operasi pengangkatan batu empedu yang dideritanya.

Pihak rumah sakit pun memanggil polisi untuk mengusir Sheng, namun dia malah menyambut kedatangan polisi dengan harapan bahwa polisi mau menyelidikinya.

"Saya tidak akan pergi. Saya khawatir begitu saya keluar dari rumah sakit walaupun satu menit, rumah sakit nanti akan mengatakan bahwa tato saya dibuat di luar," ujar Sheng seperti dilansir Orange, Rabu (18/5/2011).

"Meskipun saya ingin ditato, saya sudah pasti tidak akan menggunakan kata-kata tersebut dan tidak dibagian tubuh itu," lanjutnya.

Sheng tidak menyadari adanya tato tersebut hingga istrinya melihatnya saat ia selesai mandi di rumah sakit, satu minggu selesai operasi.

"Setelah operasi, saya memang merasakan pantat sebelah kanan saya memang sakit. Tapi saya pikir itu hal yang normal setelah operasi," imbuhnya.

Rumah sakit sendiri membantah telah membuat tato tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut bisa saja disebabkan alergi karena tempat tidur di rumah sakit.(rhs).^__^

http://international.okezone.com/read/2011/05/18/214/458210/usai-operasi-pantat-pasien-malah-ditato


Politik Kerakyatan

Posted by Bhikkhu Dhammaraja pada Maret 8, 2011

Suatu kali Sang Buddha berkata, “Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik”. (Anguttara Nikaya)
Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tapi menghapus kejahatan malalui kekuatan, takkan berhasil.
Dalam Kuradanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan 10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai “Dasa Raja Dhamma”. Kesepuiuh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut:
1. Sering memberi.
2. Mempraktekkan pancasila Buddhist.
3. Peduli terhadap kepentingan perkembangan masyarakat.
4. Bebas kolusi korupsi nepotism.
5. Memperlakukan setiap orang dengan baik dan menjaga kehormatannya.
6. Hidup seperti apadanya.
7. Tak punya benci atau niatjahat terhadap siapapun.
8. Tanpa kekerasan.
9. Tak mendendam.
10. Tak menghalangi setiap kehendak rakyat selama itu baik.
Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasehatkan:
* Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tak berat sebelah terhadap rakyatnya.
* Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.
* Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apa pun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.
* Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan.dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta).
http://neobuddhist.wordpress.com/

Perbedaan Mahayana dan Theravada


Kekosongan
Mahayana: makhluk-makhluk dianggap ilusi dan tak nyata, karena yang ada cuma kosong.
Theradava: makhluk-makhluk tetap nyata dan bukan ilusi, karena dianggap kosong cuma karena tak ada intinya.
Pencapaian tertinggi
Mahayana: Menolong orang baru menolong diri sendiri.
Theravada: Menolong diri sendiri baru menolong orang.
Interpretasi
Mahayana: Cenderung tak seimbang dan hasil pemikiran tak terlatih.
Theravada: Selalu seimbang dan hasil pemikiran terlatih.
Dasar asli manusia
Mahayana: Zat Buddha.
Theravada: Bodoh, tamak, benci.
Vegetarian
Mahayana: Mengatakan Buddha menyuruh menjadi vegetarian.
Theravada: Mengatakan Buddha tak menyuruh menjadi vegetarian.
Kebahagiaan
Mahayana: Banyak ceria dan menolong orang.
Theravada: Ketaktergangguan.
Diri
Mahayana: Dibagi menjadi diri kecil, yang diartikan “pikiran yang mementingkan kepentingan sendiri” (sama seperti filsafat psikology barat) dan diri besar yaitu zat Buddha.
Theravada: Tak ada, selain kebenaran yang bersifat duniawi tentang panggilan terhadap lima aggregat. Selain itu tak ada lagi Diri Besar.
Kosmos
Mahayana: Ada tiga tubuh.
Theravada: Tak ada pembagian tubuh. Sang Buddha cuma pernah menyebut dirinya sebagai tubuh Dhamma.
Perbuatan tertinggi
Mahayana: Kasih.
Theravada: Vipassana.
Buddha sesudah Nibbana
Mahayana: Masih ada entah dimana.
Theravada: Tak ada lagi, selain kekosongan itu sendiri.
Buah latihan
Mahayana: Filsuf dan bhikku-bhikkuan.
Theravada: Bhikku dan Buddha.
Dalam rangka berat sebelah pada ide akan kebaikan (berhubung ketiadaan upekkha) para bhikku keduabelah pihak lalu bersama-sama berkumpul mencari kesamaan. Misalnya, sama-sama punya dua mata, dua telinga, dst.
http://bharadvaja.wordpress.com/category/sosial/

Apakah Agama Buddha Termasuk Nihilism?

Posted by Lord Bharadvaja pada Januari 10, 2011


Anatta adalah salah satu doktrin yang sangat penting dalam ajaran Buddha. Anatta adalah ajaran yang paling unik, yang diakui oleh banyak cendekiawan, membedakan ajaran Buddha terhadap agama-agama lainnya. Para cendekiawan menyatakan bahwa semua agama selain ajaran Buddha menerima adanya sesuatu atau makhluk yang bersifat spiritual, metafisik, atau psikologis, di dalam atau di luar makhluk hidup. Kebanyakan agama mengakui keberadaan jiwa atau diri.
Donald Watson menulis, Di antara agama-agama besar di dunia, hanya ajaran Buddha yang tidak mengakui keberadaan jiwa. Pelajar lainnya, Richard Kennedy menyatakan,Menurut ajaran Kristiani, Islam, dan Yahudi, setiap jiwa akan dihakimi pada akhir zaman. Jiwa itulah yang menentukan apakah seseorang akan dihukum dalam neraka atau dihadiahi kehidupan abadi di dalam surga. Ajaran Buddha mengajarkan bahwa jiwa atau diri yang kekal itu tidak ada.
Sekalipun doktrin anatta adalah begitu penting, unik, dan semestinya dipahami oleh umat Buddha, namun sampai saat ini dari seluruh ajaran Sang Buddha, doktrin inilah yang paling banyak disalahpahami, paling disalahtafsirkan, dan paling menyimpang. Beberapa cendekiawan besar yang memelajari ajaran Buddha, sangat menghormati Sang Buddha dan mengagumi ajaran-Nya, namun mereka tidak dapat mengerti kenapa seorang pemikir besar seperti Beliau menolak keberadaan jiwa.
Kontroversi mengenai doktrin anatta sepertinya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya jiwa. Manusia pada umumnya sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi di dalam dirinya. Bila ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya,mereka akan merasa ketakutan.
Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di masa mendatang mereka takut jadi musnah! Sang Buddha memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang Vacchagotta, yang seperti orang pada umumnya, takut dan bingung terhadap doktrin anatta.
Vacchagotta adalah seorang pertapa yang pada suatu hari mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, Apakah atta itu ada? Sang Buddha diam. Kemudian, dia bertanya kembali, Apakah atta itu tidak ada? Namun Sang Buddha tetap diam. Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang kekal, yang tidak Ia setujui. Namun, bila Ia menjawab bahwa atta itu tiada, maka Vacchagotta akan berpikir Sang Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian.
Sang Buddha tidak setuju dengan paham nihilistik karena paham ini menolak kamma, tumimbal lahir, dan hukum keberasalan yang saling bergantungan. Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan patisandhi, kesadaran yang berkesinambungan, kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya, misalnya kondisi seperti kamma. Jadi orang yang terlahir kembali bukanlah orang yang sama dengan yang telah meninggal, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal. Yang paling penting, dalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya tubuh metafisik, jiwa, atau roh yang sama yang berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.
Namun ajaran ini terlalu sulit bagi Vacchagotta, dan Sang Buddha ingin menunggu sampai Vacchagotta telah matang secara intelektual. Sang Buddha bukanlah seperti komputer yang akan menjawab setiap pertanyaan secara otomatis. Demi kebaikan para penanya, Ia mengajar sesuai dengan kesiapan dan perangai seseorang. Cerita selanjutnya, melalui meditasi Vipassana, Vacchagotta mampu mencapai kematangan spiritual, memahami sifat segala sesuatu yang tidak memuaskan, fana, dan tiada inti diri; dan akhirnya dia menjadi seorang Arahat.
Namun sayang sutta ini disalahgunakan oleh beberapa cendekiawan Hindu seperti Ananda K. Coosmaraswamy dan I.B. Horner yang mencoba membuktikan bahwa Sang Buddha mengakui adanya roh. Adapun gagasan yang terkandung dalam istilah atta sebagai berikut. Sebelum Sang Buddha muncul di dunia, Brahmanisme,yang kemudian hari disebut Hinduisme,adalah ajaran utama yang dianut di India. Brahmanisme mengajarkan doktrin keberadaan atta (atau atman, dalam Sansekerta), yang pada umumnya diterjemahkan sebagai jiwa atau diri. Kemunculan Sang Buddha yang merupakan ex-Hindu dengan ajarannya yang lain dari yang lain sudah membuat para cendekiawan hindu kebakaran jenggot.

http://bharadvaja.wordpress.com/category/ehipassiko/

7 Hal Yang Dimiliki Orang Bijak

Satta Sappurisadhamma (7 hal yang dimiliki oleh orang bijak):
1. Dharmannutta: Memaklumi kebenaran yang muncul.
Di dalam kehidupan yang nyata ini, setiap makhluk hidup tidaklah akan terlepas dari apa yang namanya “sukkha dan dukkha” yang datangnya silih berganti dan timbul serta tenggelam. Si A, bisa saja hari ini tampil dengan penuh keceriaan karena keinginannya telah terpenuhi, tetapi bebarapa saat kemudian, setelah mengetahui dompetnya hilang maka keceriaan tersebut, segera sirna dan berubah menjadi kesedihan. Peristiwa suka dan duka, yang datangnya silih berganti ini, tidaklah dapat ditolak atau dihindari, terutama sekali bagi orang orang yg demikian pekatnya, dibelenggu oleh nikmatnya keduniawian. Agar duka tidak begitu kuat membelenggu bathin kita, maka yang pertama sekali harus disadari adalah kebenaran – kebenaran yang pasti terjadi di alam semesta ini, misalnya ketidak kekalan. Benda dan keadaan apapun yg tgerdapat di alam semesta ini, tidaklah kekal keberadaanya. Cepat maupun lambat, pasti akan mengalami proses kehancuran. Dengan menyadari kesunyataan ( kebenaran – kebenaran ) ini, hendaknya kemelekatan akan apapun juga, haruslah sesegera mungkin disingkirkan. Siapapun yang berhasil menjauhi belenggu – belenggu keduniawian maka kebahagiaan akan selalu berada di pihaknya.
2. Atthannuta: memiliki pengertian yang benar akan Dhamma.
Dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dhamma bahwa segala sesuatu yang timbul, suatu hari kelak pasti akan tenggelam (ketidakkekalan), maka yang namanya derita keluh kesah maupun frustasi, tak akan berpeluang menyerang diri kita.
Seandainya kemalangan atau kekurang- beruntungan masih juga menimpa diri kita, sadarilah dengan sebaik bainya bahwa hal ini, adalah hal yang lumrah dan pasti (pantas) terjadi, cepat maupun lambat. Di dalam kitab suci Dhammapada Pandita Vagga VI: 83, Sang Buddha menyabdakan :”Lepaskanlah segala hal yang menimbulkan ikata, seperti halnya orang bijaksana yang tak pernah membicarakan segala nafsu dan kesenangan hidup duniawi. Karena itu tidak diganggu oleh kegembiraan dan kesedihan, tidak pernah memperlihatkan rasa senang dan tidak senang”. Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran) akan menimbulkan kebahagiaan yang luhur dan permanen. Mengapa…….? Karena akan terlindung oleh kebajikan – kebajikan yang telah diperbuat dan semua kondisi yang membahagiakan ini, bukanlah sebagai hasil dari belas kasihan (berkahan) dari makhluk lainnya. Didalam sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwa jasa kebajikanlah yang menjadi pelindung, bagi setiap insan manusia, kapan dan dimanapun berada. Itulah perlindungan yang sesungguhnya…!
3. Attannuta: mampu mengontrol diri sesuai dengan Dhamma.
Kelebihan maupun kekurangan yang telah dimiliki, hendaknya tidaklah menimbulkan masalah maupun kedukaan, bagi masyarakat yang ada di lingkungan kita. Hal positif yang seyogianya disadari adalah tidak satu makhluk pun yang logis (pantas ditunding) atas kelebihan maupun kemalangan yang dialami. Semuanya bisa terjadi, tidaklah terlepas daripada hasil/akibat dari karma (perbuatan), yang sudah seharusnya diterima. Hidup yang senantiasa berpedoman pada sila (moral) yang baik dan selalu berkreasi demi keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan semua makhluk, adalah hidup yg sesungguhnya.
4. Mattannutta: hidup sesuai dengan kebutuhan.
Salah satu noda bathin yang seharusnya dihentikan adalah keserakahan. “Luddho Dhamam na Passati : Apabila kelobaan telah merasuk , seseorang tidak melihat Dharma (kebenaran) lagi “. Orang serakah dalam hal ini, akan menempuh berbagai macam cara, hanya demi pemuasan akan kehausannya, yang tiada henti – hentinya. Dia tidak akan segan – segannya, menghalalkan segala tindakan negatif, hanya untuk memenuhi ambisinya. Oleh karena itu, agar terlepaskan dari jeratan belenggu bathin, berusahalah terus menerus menyadari akan hakekat dari kehidupan ini. Hidup yang hanya disesuaikan dengan kebutuhan adalah yang sesungguhnya (bahagia), dimana akan terbebas dari keruwetan, kepusingan maupun kekecewaan. Renungkanlah, sabda Sang Buddha ini : “Kamehi Lokamhi Na Hatthi Tuti : Di dunia ini tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu indrawi “.
5. Kalannuta: mengatur waktu dengan bijaksana.
Orang yang selalu berkomentar sibuk dan tiadanya waktu luang, untuk ini dan itu adalah ciri khas orang yang diperbudak oleh waktu. Tipe manusia ini adalah tipe manusia yang belum memiliki pengertian benar, akan pemanfaatan waktu yang sesungguhnya. Tipe manusia ini, pasti akan menderita di dalam aktivitasnya sehari hari. Kalau dia seorang kepala rumah tangga maka kehampaanlah yg akan dijumpai. Dan jika seorang pimpinan maka penyakitlah yg akan didapatkan. Tetapi jika dia bisa mengatur dan menggunakan waktu sebijaksana mungkin, maka semua masalah yg tidak seharusnya muncul akan bisa dihapuskan. Orang bijaksana akan makan dikala makan, istirahat dikala istirahat, rekreasi dikala rekreasi dan tidur dikala tidur. Hidup baginya sangat berarti dan nikmat. Tetapi bagi yg diperbudak oleh waktu, hidupnya bagaikan robot dan telah terprogram sedemikian rupa, sehingga tidak berpeluang sama sekali, untuk meresapi maupun menikmati kehidupan ini, sebagaimana adanya. Bukankah ini yang disebut dengan kebodohan…..?
6. Parisannuta: bisa mengerti kenyataan kenyataan yang ada di lingkungannya.
Pada dasarnya, tidak satu makhlukpun yang berkenan terlahirkan dengan kondisi – kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya : miskin, bodoh, cacat, jelek dan lain sebagainya. Dimasyarakat jika diketemukan ketimpangan ketimpangan ini, hendaknya memperlakukan mereka dengan sepantasnya. Janganlah hanya dikarenakan kemiskinan, kita sampai tega nian, menghina dan menyelepekan mereka. Dan jangan pula dikarenakan oleh kebodohan, kita mengejek dan mempermalukan mereka. Sadarilah dengan sebaik baiknya, bahwa setiap makhluk, tidaklah terlepas oleh karma ( perbuatan ) nya masing masing. Apapun yang perbuatan maka itulah yang disuatu hari kelak, yang akan diterima. Senantiasalah, bertutur kata yang lemah lembut dan bimbinglah, siapapun demi pencapaian kebahagiaan bersama. Dalam hal ini, kita hendaknya selalu memiliki “positive thinking” disamping menghindari keangkuhan.
7. Puggalaparopannuta: mengerti akan Dhamma menimbulkan kebijaksanaan
Dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma maka akan memperjelas diri kita, mana yang pantas dilaksanakan dan mana yang harus dihindari, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana sahabat dan mana musuh. Dalam hal ini, kita bisa memaklumi kelebihan kelebihan maupun kekurangan kekurangan orang lain, sehingga yang namanya emosional dan aneka tindakan tercela lainnya, akan bisa disingkirkan. Disamping itu, tindakan dan jalur kehidupan yang dilalui, akan senantiasa dipenuhi oleh cinta kasih serta kewelasasihan.
http://bharadvaja.wordpress.com/category/dhamma/

Dana dan Kammanya

Dana dan Kammanya
Oleh: Y.M. Mahasi Sayadaw
Saat ini saya akan membabarkan tentang dakkhinavisuddhi, hadiah atau pemberian yang murni. Terdapat empat jenis pemberian:
1. Ketika seseorang yang mempraktekkan sila, moralitas, berdana kepada seseorang yang tidak mempraktekkan sila, si pemberi memperoleh manfaat. Pemberian itu murni.
2. Dana yang dipersembahkan oleh seseorang yang tidak mempraktekkan sila kepada pihak yang mempraktekkan sila. Pemberian itu tetap murni dari sudut pandang si penerima. Si pemberi memperoleh manfaat yang sama pula. Dan, buah kamma baik yang diperoleh jauh lebih besar.
3. Bila di antara keduanya, baik pemberi dan penerima, tidak memiliki moral yang baik, pemberian jenis ini tidak murni. Juga, tindakan memberi itu tidak berfaedah. Meski si pemberi kemudian melimpahkan jasa baiknya kepada mahkluk lain, misalnya kepada para peta, pihak terakhir ini tidak bisa menerima
pemberian itu sehingga ia tak akan terbebas dari alam peta.
4. Bila keduanya, baik pemberi maupun penerima dana memiliki sila yang baik, maka kamma baik yang timbul dari pemberian semacam ini akan memberi manfaat jasa tertinggi. Disinilah penjelasan ulang tentang jenis-jenis pemberian baik yang dilakukan oleh individu awam maupun anggota Sangha.
Jumlah jasa yang diperoleh dari pemberian kepada individu:
1. Pemberian kepada binatang, kamma baiknya 10.
2. Pemberian kepada orang-orang yang tidak mempraktekkan sila, membuahkan kamma baiknya 1000.
3. Pemberian kepada individu yang mempraktekkan sila (moralitas) meski ia bukan pengikut Buddha, akan membuahkan kamma baik 1000 sepanjang seribu kali kelahiran
4. Pemberian kepada seseorang yang memiliki abinna meski orang tersebut berada di luar Buddha Sasana dapat membuahkan kamma baik sebanyak berjuta-juta lingkaran kehidupan.
5. Pemberian yang diberikan kepada seseorang yang berpotensi meraih tingkat sotāpanna, akan memperoleh kamma baik sebanyak tak berhingga lingkaran kehidupan.
Jenis pemberian ini digolongkan menurut status penerimanya. Juga, jasa atau buah kamma baiknya berbeda-beda menurut tingkatan moral penerimanya. Sebagai contoh, pemberian kepada individu yang mempraktekkan pancasila (lima sila) bisa mendatangkan banyak kamma baik dibanding pemberian kepada orang-orang yang hanya berlindung kepada Tiratana (perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha).
Urutan penerima pemberian di bawah ini dibuat berdasar urutan kamma baik yang ditimbulkan, mulai dari yang terkecil:
* berdana kepada umat Buddha yang mempraktekkan sila
* berdana kepada orang yang melaksanakan delapan sila.
* berdana kepada orang yang melaksanakan sepuluh sila.
* berdana kepada orang yang mempraktekkan samatha.
* berdana kepada orang yang mempraktekkan vipassanā.
* berdana kepada bhikkhu yang mempraktekkan sila.
* berdana kepada bhikkhu yang mempraktekkan samatha dan vipassanā dengan penuh kewaspadaan dan awas setiap saat.
* berdana kepada orang-orang yang berhasil meraih pengetahuan batin dalam vipassanā menurut tingkat-tingkat pengetahuan batin yang dicapainya.
* berdana kepada orang-orang yang berhasil meraih tingkat sotāpatti, dan seterusnya.
Secara teori, jasa tertinggi bisa diperoleh jika seseorang memberi persembahan kepada yogi yang telah memasuki tingkat kesucian. Tapi, rentang waktu inspirasi tingkat kesucian muncul dan lenyap sangat singkat. Karenanya merupakan hal yang amat sulit untuk berdana pada saat tersebut agar dana itu bisa membuahkan jasa tertinggi. Meski demikian, adalah sesuatu yang mungkin untuk memperoleh keberuntungan tertinggi diluar pemberian kepada seorang kalyana putthujana, orang biasa yang memiliki kebajikan tertentu, yang telah memperoleh tingkat pengetahuan keseimbangan batin setelah melengkapi ke-9 tingkat-tingkat pengertian dalam latihan meditasi pandangan terang, yang dinamakan sankhara upekkha nana.
Lebih jauh, jasa yang diperoleh dari pemberian kepada seorang sotāpatti, sakadāgāmi, anāgāmi dan arahat sangat sulit untuk digambarkan. Jasa-jasa ini hanya berakhir dalam hitungan asankheyya lingkaran kehidupan (bila ditulis dengan angka, satu ditambah 14 nol, tahun).
Sedikit tambahan tentang peranan “kehendak” yang mempengaruhi hasil dari kegiatan berdana yang dilakukan berdasarkan keterangan dari Abhidhammattasangaha. Di sana dikatakan bahwa “kehendak sebelum berdana (pubba cetanā), kehendak ketika berdana (muñca cetanā), dan kehendak setelah berdana (apara cetanā)” harus baik.
Alih Bahasa Inggris-Indonesia : Chandasili Nunuk Y. Kusmiana.
Editor: Samuel B. Harsojo; Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Medio Pebruari 2004.

http://bharadvaja.wordpress.com/category/ajaran/

5 Harta Mulia

Posted by Lord Bharadvaja


Seorang buddhist tak seharusnya melekat pada harta materi. Di Anguttara Nikaya III: 262, Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat 5 harta mulia, yang jika dikembangkan dengan baik akan menyebabkan makhluk–makhluk hidup bahagia:
1. Silava: Mempunyai Moral Yang Baik.
Moralitas yang baik itu adalah meliputi:
1. Menghindari segala bentuk dari pembunuhan. Dalam konsep Buddhis ditegaskan bahwa tiada suatu makhluk hiduppun yang dibenarkan atau pantas disakiti dan apalagi dibunuh. Sang Buddha menyabdakakan : “Ia yang membunuh akan mendapatkan seorang pembunuh. Ia yang merebut akan menjumpai seorang perebut. Ia yang mencaci maki akan memperoleh cacian. Jadi, sebagai akibat dari tindakannya sendiri, si pengganggu pada saatnya akan di ganggu pula.”
2.Menghindari segala bentuk dari pencurian. Hukum karma itu adil adanya, siapa yang berbuat maka dialah yang akan menerima hasil dari akibatnya.
3. Menghindari segala bentuk dari perzinahan. Sang Buddha menyabdakan : “Barang siapa membunuh makhluk hidup, berdusta, mencuri, berzina dan suka mabuk mabukan; orang semacam ini seakan menggali liang kubur bagi dirinya sendiri, di dunia sekarang ini juga.”
4. Menghindari segala bentuk dari kata – kata dusta. Sang Buddha menyabdakan : “Santo na te ye vadanti dhammam : orang yang berbicara yang tidak sesuai dengan Dharma (kebenaran), bukanlah orang Bijak.”
5. Menghindari segala bentuk minuman / makanan yang mana bisa menyebabkan hilangnya kesadaran (mabuk). Sang Buddha menyabdakan : “Apabila mencintai diri sendiri, seseorang tidak selayaknya melibatkan dirinya dalam kejahatan.”
2. Bahusutta: Berpengetahuan Dharma dan Vinaya Yang Baik
Dharma adalah ajaran Sang Buddha dan Vinaya adalah peraturan – peraturan yang seharusnya dipedomani agar tidak sampai melanggar rambu – rambu ketidakbenaran. “Memahami Dharma (kebenaran) dengan sepenuhnya akan terbebas dari kerinduan karena memiliki pandangan terang. Orang Bijak tersebut akan bebas dari semua nafsu keinginan dan tenang bagaikan kolam yang tidak terkacaukan oleh angin.” ITIVUTTAKA 91.
3. Kalyanavaca: Bicara terpuji.
“Seseorang seharusnya hanya mengucapkan kata – kata yang tidak membahayakan diri sendiri dan tidak menyebabkan bahaya bagi orang – orang lain. Itulah sesungguhnya ucapan yang indah.” SUTTA NIPATA 451. Berpikirlah terlebih dahulu sebelum berucap. Itulah ciri khas dari orang yang Bijaksana. “Sang Buddha mengucapkan kata-kata yang membawa kepada pencapaian rasa aman, kepada akhir penderitaan dan pencapaian Nibbana. Sungguh, inilah ucapan yang utama.” SUTTA NIPATA 454
4. Dhammikathaya Sandassana:
Mampu Menerangkan Dharma Vinaya Secara Jelas Dan Terperinci Sehingga Membangkitkan Semangat dan Memuaskan Umat Dharma yang dipelajari, bukanlah semata – mata untuk diketahui tetapi yang terpenting adalah dipraktekkan dalam bentuk yang nyata. Ibarat obat, apakah akan memberikan hasil atau tidak, sangatlah ditentukan oleh, ada tidaknya kita mencoba atau memakannya.
Demikian pula halnya dengan Dharma. Sang Buddha menyabdakan : “Dari semua obat di dunia, yang banyak dan beraneka jenis, tidak ada satupun yang menyamai obat Dharma (kebenaran). Karena itu, O para bhikkhu, minumlah obat ini. Setelah meminum obat Dharma ini, engkau tidak akan tua dan akan dapat mengatasi kematian. Setelah mengembangkan dan memahami kebenaran, engkau akan damai dan bebas dari nafsu keinginan.”
5. Jhanalabhi:
Melaksanakan Samatha Bhavana Sehingga Mencapai Jhana. Keberhasilan di dalam pelaksanaan meditasi, dimana pikiran terpusat erat pada suatu objek (sasaran) yang dituju, itulah yang disebut dengan telah mencapai jhana. Indikator dari keberhasilan meditasi adalah berhasil mencapai jhana.

 http://bharadvaja.wordpress.com/category/dhamma/

Pencerahan Sang Buddha

Posted by Lord Bharadvaja pada Maret 22, 2011

Pada mulanya pertapa Gotama berguru kepada Âïâra Kâlâma. Tak berapa lama, Beliau berhasil mencapai meditasi lv 7: Kekosongan.  Tak puas dengan pencapaian ini, Beliau pun pergi berguru kepada Uddaka Râmaputta. Pertapa ini hanya mampu menghantarkan Beliau pada pencapaian meditasi lv 8:  Bukan Persepsi Bukan Pula Non-Persepsi.
Karena semua petunjuk yang diperoleh dari guru-guru lain tidak mampu membawa pada pembebasan mutlak dari penderitaan, Beliau selanjutnya pergi dan bertinggal di Hutan Uruvelâ. Di sinilah, dengan ditemani oleh lima orang pertapa lainnya (pañcavaggiya), Beliau melakukan praktek penyiksaan diri (attakilamathânuyoga) selama bertahun-tahun. Ini bukan saja tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, malah hampir mematikan Beliau.
Akhirnya Beliau menempuh Jalan Tengah (Majjhimâ Paöipadâ) yang terbebas dari ekstrim, dan menembus lv10 Nibbana saat mencapai meditasi lv9: Lenyapnya Persepsi dan Harapan.
Berikut ini adalah peristiwa saat-saat pencerahan Siddharta menjadi Buddha:
“Saya berpikir: Apa yang ada ketika ketuaan dan kematian muncul?  Apa yang menjadi kondisi atau sebab ketergantungan (paccaya)?”
Dengan pengarahan batin yang benar, Beliau memahami secara arif bahwa: “Manakala ada kelahiran (jâti), ketuaan dan kematian muncul. Ketuaan dan kematian muncul karena adanya kelahiran sebagai sebab ketergantungan.”
Selanjutnya Beliau merenungkan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paöiccasamuppâda) dalam rangkaian teringkas berikut:
“Manakala ada perwujudan (bhava), kelahiran muncul. Kelahiran muncul karena adanya perwujudan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada kemelekatan (upâdâna), perwujudan muncul. Perwujudan muncul karena adanya kemelekatan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada keinginan (taóhâ), kemelekatan muncul.
Kemelekatan muncul karena adanya keinginan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada perasaan (vedanâ), keinginan muncul. Keinginan muncul karena adanya perasaan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada sentuhan (phassa), perasaan muncul. Perasaan muncul karena adanya sentuhan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada enam landasan indera (saïâyatana), sentuhan muncul. Sentuhan muncul karena adanya enam landasan indera sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada batin dan jasmani (nâma-rûpa), enam landasan indera muncul. Enam landasan indera muncul karena adanya batin dan jasmani sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada kesadaran [bertumimbal lahir] (viññâóa), batin dan jasmani muncul. Batin dan jasmani muncul karena adanya kesadaran [bertumimbal lahir] sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada perpaduan berkehendak (saõkhâra), kesadaran [bertumimbal lahir] muncul. Kesadaran [bertumimbal lahir] muncul karena adanya perpaduan berkehendak sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada ketaktahuan (avijjâ), perpaduan berkehendak muncul. Perpaduan berkehendak muncul karena adanya ketaktahuan sebagai sebab ketergantungan.”
“Jika tidak ada ketaktahuan, tak ada pula perpaduan berkehendak. Jika tidak ada perpaduan berkehendak, tak ada pula kesadaran bertumimbal lahir. Jika tidak ada kesadaran bertumimbal lahir, tak ada pula batin dan jasmani. Jika tidak ada batin dan jasmani, tak ada pula enam landasan indera. Jika tidak ada enam landasan indera, tak ada pula sentuhan. Jika tidak ada sentuhan, tak ada pula perasaan. Jika tidak ada perasaan, tak ada pula keinginan. Jika tidak ada keinginan, tak ada pula kemelekatan. Jika tidak ada kemelekatan, tak ada pula perwujudan. Jika tidak ada perwujudan, tak ada pula kelahiran. Jika tidak ada kelahiran, tak ada pula ketuaan dan kematian; tak ada pula kesedihan (soka), keluhkesah (parideva), penderitaan (dukkha), kekecewaan (domanassa), keputus-asaan (upâyâsa).”
“Timbullah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, ketahuan dan penerangan yang belum pernah Saya dengar sebelumnya… Saya berpikir: ‘Inilah jalan menuju Pencerahan yang telah Saya raih…’ Apakah jalan itu? Yakni Jalan Mulia Berfaktor Delapan: 1. Pandangan Benar (Sammâdiööhi), 2. Pikiran Benar (Sammâsaõkappa), 3. Ucapan Benar (Sammâvâcâ), 4. Tindakan Benar (Sammakammanta), 5. Penghidupan Benar (Sammââjiva), 6. Upaya Benar (Sammâvâyâma), 7. Penyadaran Benar (Sammâsati), 8. Pemusatan Benar (Sammâsamâdhi).”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, suci, cemerlang, tanpa kekotoran, bebas dari noda-noda halus, lunak [cocok untuk dipergunakan], mantap, takbergeming; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan dalam menelusuri kehidupan-kehidupan lampau (pubbenivâsânusatiñâóa).
Saya mengingat banyak kehidupan lampau, yakni satu kelahiran, dua, tiga, … seratus, seribu, seratus ribu, banyak masa penyusutan dunia, pengembangan dunia, penyusutan dan pengembangan dunia: ‘Pada kehidupan itu Saya mempunyai nama, keturunan, penampilan, makanan, pengalaman suka duka, rentang usia; dan setelah meninggal dari sana, Saya terlahirkan kembali di tempat lain, dan di situ Saya mempunyai nama, … ; –demikianlah secara terinci dan khusus Saya menelusuri banyak kehidupan lampau Saya. Inilah pengetahuan pertama yang Saya raih pada waktu permulaan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas kematian dan kelahiran kembali makhluk hidup (cutûpapâtañâóa). Dengan mata kedewaan yang suci dan melampaui mata manusia biasa, Saya melihat makhluk-makhluk hidup yang sedang mati, lahir kembali, yang hina, yang luhur, yang cantik, yang buruk, yang sejahtera, yang sengsara. Saya memahami secara jelas bahwa kehidupan semua makhluk berlangsung sesuai dengan perbuatan (kamma) masing-masing: ‘Makhluk-makhluk yang jahat dalam tindakan, ucapan, pikiran, yang melecehkan orang-orang suci, yang berpandangan sesat, yang melakukan perbuatan berdasarkan pandangan sesat itu, setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam kemerosotan, alam kesengsaraan, alam kejatuhan, atau alam neraka. Sementara itu, makhluk-makhluk yang baik dalam tindakan, … , setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam bahagia, alam surga.’ Inilah pengetahuan kedua yang Saya raih pada waktu pertengahan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin (âsavakkhayañâóa).
Saya memahami berdasarkan kenyataan sesungguhnya bahwa: ‘Ini adalah penderitaan, ini adalah sebab penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan; ini adalah noda batin, ini adalah sebab noda batin, ini adalah lenyapnya noda batin, ini adalah jalan menuju lenyapnya noda batin.’ Dengan pemahaman demikian, batin Saya terbebaskan dari noda batin berupa nafsu inderawi, perwujudan, ketaktahuan. Tatkala batin terbebaskan, timbullah pengetahuan bahwa: ‘Saya telah terbebaskan. Saya memahami bahwa kelahiran telah terputuskan, kehidupan suci telah tertamatkan, tugas yang layak dikerjakan telah tertunaikan, tidak ada tugas lain lagi demi pencapaian ini. Inilah pengetahuan ketiga yang Saya raih pada waktu pengakhiran malam hari.
Ketaktahuan telah tersingkirkan, pengetahuan telah terbangkitkan; kegelapan telah tersingkirkan, pencerahan telah terbangkitkan; ini terjadi tatkala Saya berada dalam kewaspadaan, bersemangat, dan penuh pengendalian diri. Namun Saya tidak membiarkan perasaan bahagia yang timbul dalam diri Saya menguasai batin Saya.’”
“Meski Saya sendiri mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin, [setelah] menyadari bahaya dari semua itu dan kemudian mencari Nibbâna yang tiada taranya, yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin; Saya [akhirnya berhasil] meraihnya. Timbullah pengetahuan serta pandangan terang (ñâóadassana) dalam diri Saya: ‘Tercapailah Pembebasan (Vimutti) bagi diri Saya. Inilah kelahiran Saya yang terakhir; tidak ada lagi kelahiran bagi Saya.’”
“Karena belum menemukan Pencipta rumah [tubuh] ini, Saya mengembara dalam daur Saæsara [kelahiran dan kematian] yang tak terhitung jumlahnya. Kelahiran yang berulang-ulang adalah suatu penderitaan. O Pencipta rumah, Engkau sekarang telah Saya temukan. Engkau tak akan dapat menciptakan rumah lagi. Seluruh kerangkamu [noda batin] telah Saya patahkan, dan atapmu [ketaktahuan] telah Saya bongkar. Mental Saya telah menembus Nibbâna, dan mencapai akhir dari semua keinginan.”
Sewaktu sendirian dalam penyepian, timbullah pikiran dalam diri Buddha Gotama: “Kebenaran (Dhamma) yang telah Saya raih ini bersifat mendalam, sukar ditembus serta dipahami, penuh kedamaian dan merupakan tujuan terluhur bagi semua [makhluk], tak terjangkau oleh pemikiran biasa (spekulasi), halus, hanya dapat dimengerti oleh orang bijak. Namun, masyarakat umumnya bergembira serta terpukau dalam kerinduan. Sukar bagi mereka untuk dapat melihat Sebab Musabab yang Saling Bergantungan dari semua ini. Amatlah sulit untuk dapat memahami kebenaran yang merupakan kepadaman dari segala perpaduan, penanggalan dari sifat-sifat pokok kehidupan, yang merupakan akhir dari keinginan; kejenuhan, pelenyapan dan pembebasan dari nafsu, Nibbâna. Apabila Saya mengajarkan Kebenaran tetapi orang-orang lain tidak memahami sesuai dengannya; ini niscaya menimbulkan kesukaran serta kelelahan pada diri Saya semata. Duhai Para Bhikkhu, syair menakjubkan yang tidak pernah Saya dengar sebelumnya menjadi jelas bagi Saya sebagai berikut: ‘Kebenaran yang sulit Saya tembus ini tidaklah layak untuk dibabarkan. Sebab, ini bukanlah suatu kebenaran yang dapat dipahami oleh orang-orang yang dipenuhi oleh nafsu dan kebencian. Orang yang bernafsu besar, yang diliputi oleh kegelapan batin, niscaya tidak dapat menembus kebenaran yang menghantarkan makhluk hidup pada tujuan yang melawan arus dunia, yang halus, yang mendalam, yang pelik (abstruse).’”
1. Jika seseorang kaya ia tak mau menjadi buddhist, karena ia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan ia merasa itu cukup.
Jika seseorang miskin ia tak mau menjadi buddhist, karena ia ingin kaya dulu.
2. Jika seseorang terkenal ia tak mau menjadi buddhist, karena lebih memilih aktifitas-aktifitas yang meningkatkan popularitasnya sebagai icon masyarakat.
Jika seseorang tak terkenal ia tak mau menjadi buddhist, karena ia merasa masih belum menemukan tujuan hidupnya.
3. Jika seseorang tak punya teman ia tak mau menjadi buddhist, karena tak punya kenalan untuk menyampaikan ucapan, pikiran, dan pandangannya.
Jika seseorang punya teman ia tak mau menjadi buddhist, karena merasa jika sakit pasti ada yang merawat, jika sepi ada yang mengajak bermain, jika tua ada yang menjaga.
4. Jika seseorang nyaman ia tak mau menjadi buddhist, karena segalanya sudah tersedia.
Jika seseorang tak nyaman ia tak mau menjadi buddhist, karena untuk duduk nyaman saja belum bisa, bagaimana mau meditasi.
Mengetahui keengganan Buddha Gotama dalam membabarkan Dhamma yang sulit dipahami, Brahmâ Sahampati segera pergi mengunjungi Beliau untuk mengundang Beliau membabarkan Kebenaran demi kebahagiaan banyak orang:
“Sejak dahulu kala hingga sekarang ini, di daerah Magadha terdapat ajaran yang tidak murni, yang digagasi oleh orang-orang yang masih terliputi oleh noda. Bukalah pintu gerbang Kekekalan. Berilah makhluk-makhluk hidup kesempatan untuk mendengarkan Kebenaran yang ditembus oleh orang yang terbebas dari segala noda. Ibarat orang yang berada di puncak bukit, yang dapat melihat orang-orang yang berada di sekeliling; demikian pula Yang Mulia, yang memiliki pengetahuan serta mata kebijaksanaan yang menyeluruh, hendaknya sudi menaiki istana kebijaksanaan yang terbentuk dari Kebenaran. Jelajahilah masyarakat yang diliputi oleh kesedihan, yang dicengkeram oleh kelahiran dan ketuaan. O Sang Penakluk yang penuh semangat, yang memimpin para makhluk hidup, yang terbebas dari kekotoran batin; mohon sudi kiranya pergi berkelana mengasihani orang-orang di dunia ini. Babarkanlah Kebenaran Dhamma, O Sang Bhagavâ, karena akan ada yang memahaminya.”
Setelah mempertimbangkan permohonan Brahmâ Sahampati dan karena perasaan Welas Asih terhadap makhluk-makhluk hidup, Sang Buddha kemudian menjelajahi dunia ini dengan kewaskitaan-Nya. Beliau menyadari bahwa ada makhluk yang diliputi oleh banyak debu kekotoran batin tetapi ada pula yang hanya sedikit; ada yang lemah kemampuannya tetapi ada pula yang kuat; ada yang memiliki kecenderungan jahat tetapi ada pula yang baik; ada yang sulit dibina tetapi ada pula yang mudah; ada yang tidak melihat noda serta bahaya dari dunia mendatang tetapi ada pula yang melihatnya –ibarat dalam rumpun teratai ada bunga yang muncul dalam air, berkembang dalam air, berada dan masih tenggelam dalam air, yang dihidupi oleh air; ada pula bunga yang berada di permukaan air, dan ada pula yang tegak menjulang di atas permukaan air sehingga tidak terbasahi oleh air. Karena alasan-alasan inilah, Saya menyanggupi permohonan Brahmâ Sahampati:
“Terbuka-lebarlah pintu gerbang [menuju] Kekekalan. Bagi mereka yang mau mendengar, yang memperlihatkan keyakinan.”
Lalu diadakanlah Vinaya/peraturan bhikku yang sifatnya mengkondisikan mental orang-orang untuk bisa menjadi bhikku dengan baik dan mencapai Kebuddhaan.
Ketika mengetahui bahwa dua pertapa yang pernah menjadi guru-Nya telah meninggal dunia dan berada di alam nirbentuk, Beliau berniat untuk membabarkan Dhamma kepada lima pertapa yang pernah bersama-sama melakukan praktek penyiksaan diri. Di tengah perjalanan menuju Bârâóasî, Sang Buddha berjumpa dengan pertapa telanjang Upaka Âjîvaka. Menjawab pertanyaan Upaka, Beliau menguncarkan syair berikut:
Saya adalah penguasa segala Dhamma, penembus segala Dhamma, yang tidak melekat pada keinginan atas segala sesuatu, yang telah menanggalkan segala sesuatu, yang terbebas, yang telah sampai pada kepadaman keinginan. Karena menembus dengan kebijaksanaan sendiri, siapa pula yang patut Saya akui sebagai guru? Tidak ada guru bagi diri Saya. Tidak ada orang baik yang menyamai Saya. Tidak ada orang yang menyetarai Saya di seluruh dunia, termasuk dunia kedewaan. Sebab, Saya adalah Arahanta Sammâsambuddha –yang Mahasuci, yang telah meraih Pencerahan Agung secara mandiri–, guru yang paling unggul, yang telah memadamkan seluruh kekotoran batin. Saya akan berangkat menuju Kota Kâsî untuk memutar roda Dhamma, untuk menabuh genderang Kekekalan dalam dunia yang diliputi oleh kegelapan ini.”
Selanjutnya Buddha memaparkan kebenaran pada dunia.

http://bharadvaja.wordpress.com/category/dhamma/

Menjadi Buddha

 Ada 8 kondisi dunia menutup hati makhluk:

1. Malang (alabha).
2. Beruntung (labha).
3. Pecundang (ayasa).
4. Terkenal (yasa).
5. Terhina (ninda).
6. Terpuji (pasamsa).
7. Susah (dukkha).
8. Senang (sukkha).
Untuk membuka hati seseorang harus:
1. Tak malang juga tak beruntung.
2. Tak pecundang juga bukan berkuasa.
3. Tak terhina juga tak terpuji.
4. Tak susah juga tak senang.
Kenapa begitu, karena jika tak maka ia sulit untuk bisa memahami ajaran kebenaran atau dharma dengan sempurna – seutuhnya – sepahamnya. Ia cuma akan menggunakan ajaran itu sebagai tempelan belaka, sebagai pelengkap kehidupan, dan ia akan beranggapan sudah bijak untuk berpikir “hidup saya sudah lengkap, karena saya sudah beragama” padahal belum, karena agama baru jalan, apa orang itu akan menggunakannya untuk melengkapi kesadarannya itu hal lain.
Jika ia masih berada dalam satu dari delapan kondisi dunia yang mengguncang itu, maka ia masih menempatkan pikirannya pada dunia daripada pada ajaram benar. Contoh, jika masih kaya maka ia tak terlalu mau untuk sepenuhnya melatih diri, karena kesadarannya masih punya ekspansi untuk terus hidup di dunia ini, yaitu hartanya. Contoh lain, jika ia sering susah maka ia tak bisa sepenuhnya melatih diri, karena kesadarannya masih punya ekspansi untuk terus hidup di dunia ini, yaitu niat untuk jadi benar dan bebas susah.
Pada prinsipnya, selama masih ada satu hal yang membuat seseorang perlu untuk tinggal di dunia, seperti anak, ilmu, kekasih, maka ia tak pernah bebas dari penderitaan dan disaat bersamaan ia masih belum dekat dengan ajaran yang benar. Ajaran yang benar adalah ajaran yang membebaskan makhluk dari penderitaan, bukan ajaran yang menimbun hal-hal baik untuk menutupi hal-hal buruk yang bersembunyi dilapis terdalam pikiran yaitu bawahsadar.
Karena itu:
- Jika seseorang beruntung, maka ia perlu keluar dari keberuntungannya.
Misal orang yang terlalu kaya, maka ia perlu mengurangi sedikit kekayaannya dengan banyak memberi hartanya pada yang membutuhkan. Ia harus terus melakukannya sampai ia tak merasa lagi bahwa ia kaya.
- Jika seseorang malang, maka ia perlu keluar dari kemalangannya.
Melalui media seperti buku-buku motivasi atau agama, ia perlu berusaha mendapatkan keberuntunganya, tapi sambil menunggu keberuntungannya datang, ia kembali menekuni ajaran yang benar, karena jika ia menunggu beruntung dulu, maka ia tetap harus mengurangi lagi keberuntungannya agar bisa kembali belajar. Perlunya seseorang menjadi beruntung adalah agar ia tak beralasan, “nanti saja, aku masih capek, aku masih miskin” dan perlunya seseorang menjadi tak beruntung adalah agar ia tak beralasan “nanti saja, biar kunikmati dunia dulu”.
Bisa kita simpulkan, orang yang bukan tak beruntung bukan pula tak beruntung (level 8 kesaktian meditasi) adalah orang malang yang sedang dalam masa belajar menjadi beruntung dan orang beruntung yang banyak memberi pada yang lain. Dua jenis orang inilah yang sudah mendapatkan Kosong dalam hal “bukan beruntung bukanpula tak beruntung”.
- Jika seseorang berkuasa, maka ia perlu keluar dari kekuasaannya.
Dengan cara mengangkat beberapa orang dan memberi jabatan-jabatan sehingga kekuasaannya terbagi-bagi ke orang lain.
Orang berkuasa cenderung memandang balasan adalah sesuatu yang pas untuk setiap kesalahan, orang tak berkuasa cenderung memandang balasan yang diatas pasti akan datang meski dirisendiri tak membalas. Jadi kekuasaan selalu diikuti oleh kekerasan, sekalipun yang berkuasa itu baik dan tak mungkar, ia tetap akan menindak kesalahan dengan kekerasan.
- Jika seseorang lahir atau besar sebagai pecundang maka ia perlu sedikit berkuasa, agar ia merasa berharga untuk mengerjakan sesuatu yang berharga seperti ajaran benar. Contoh seorang pelacur atau preman cenderung malas untuk berbuat baik dengan alasan, “ah aku sudah memang orang yang seperti ini, yang seperti itu bukan untukku” atau orang kecil yang malas membangun dayakritis terhadap keadaan karena “kita kan orang kecil”.
- Jika seseorang merasa terhina, maka ia perlu keluar dari kehinaannya.
Menurut pendapat saya, seseorang yang dihina padahal tak bersalah adalah karena auranya masih menyimpan perbuatan-perbuatan masalalu yang suka berbuat ricuh dan masih belum mendapat ganjarannya. Karena itu seseorang yang seperti itu perlu mulai membangun reputasi pikiran ucapan perbuatan baik agar tumbuh kepercayaan lingkungan pada dirinya, sehingga ia pun mudah untuk belajar dan mengajar ajaran yang benar. Jika tak, maka perkembangan mentalnya macet karena pandangan yang diyakini tak bisa diaplikasikannya karena kurang apresiasi dari masyarakat.
- Jika seseorang merasa terpuji, maka ia perlu keluar dari reputasinya.
Sudah sering kita dengar berbagai petuah orang bijak masalalu bahwa pujian itu perlu disikapi dengan tenang, jangan bergirang karena pujian, karena dalam pujian itu tak ada obyektifitas lagi, karena itu seseorang yang sedang dipuji tetap harus mengembalikan obyektifitas pikirannya, agar ia masih mampu untuk berkata benar. Jika tidak maka ia cuma berkata yang disenangi orang untuk dikatakan.
- Jika seseorang sedang susah, maka ia perlu keluar dari kesusahannya.
Orang yang masih suka pegal atau sakit saat duduk lama belum mampu untuk memasuki meditasi. Karena ada tingkat-tingkat meditasi yang mesyaratkan lepasnya sang meditator dari pengaruh-pengaruh lapisan fisik dan mental.
- Jika seseorang sedang senang, maka ia perlu keluar dari kesenangannya.
Orang yang hidup bermewah-mewahan, pikirannya adalah pikiran manja, bukan pikiran berdisiplin. Karena itu sering kita temukan orang yang malas sholat, mengaji, tapi lebih suka nonton TV kabel, meski ada segelintir mutiara di tengah-tengah lumpur. Orang-orang yang bangun dari ketaksadarannya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Inilah yang saya maksud jika senang perlu tak senang.
Singkat kata, dari seluruh uraian saya, orang yang hatinya terbuka adalah orang yang tak terkena polusi kesadaran yang berjumlah 8 itu. Orang seperti ini akan mampu meniti tangga-tangga pencerahan.

 

Menjadi Buddha (Part 2): Menjadi Bhikkhu  

Posted by Lord Bharadvaja pada Februari 13, 2011

Lanjutan tulisan “Menjadi Buddha (Part 1): Menjadi Upasaka“.
3 Precepts:
Avoid evil, do good, purify the mind
5 precepts:
1. I undertake the training rule to abstain from taking life
2. I undertake the training rule to abstain from taking what is not given.
3. I undertake the training rule to abstain from sexual misconduct.
4. I undertake the training rule to abstain from false speech.
5. I undertake the training rule to abstain from fermented drink that causes heedlessness.
8 precepts:
The Eight Precepts are the precepts for Buddhist lay men and women who wish to practice a bit more strictly than the usual five precepts for Buddhists. The eight precepts focus both on avoiding morally bad behaviour, as do the five precepts, and on leading a more ascetic lifestyle.
1. I undertake to abstain from causing harm and taking life (both human and non-human).
2. I undertake to abstain from taking what is not given (stealing).
3. I undertake to abstain from sexual activity.
4. I undertake to abstain from wrong speech: telling lies, deceiving others, manipulating others, using hurtful words.
5. I undertake to abstain from using intoxicating drinks and drugs, which lead to carelessness.
6. I undertake to abstain from eating at the wrong time (the right time is after sunrise, before noon).
7. I undertake to abstain from singing, dancing, playing music, attending entertainment performances, wearing perfume, and using cosmetics and garlands (decorative accessories).
8. I undertake to abstain from luxurious places for sitting or sleeping, and overindulging in sleep.
10 precepts:
The Ten Precepts (Pali: dasasila or samanerasikkha) refer to the precepts (training rules) for Buddhist samaneras (novice monks) and samaneris (novice nuns). They are used in most Buddhist schools.
1. Refrain from killing living things.
2. Refrain from stealing.
3. Refrain from un-chastity (sensuality, sexuality, lust).
4. Refrain from lying.
5. Refrain from taking intoxicants.
6. Refrain from taking food at inappropriate times (after noon).
7. Refrain from singing, dancing, playing music or attending entertainment programs (performances).
8. Refrain from wearing perfume, cosmetics and garland (decorative accessories).
9. Refrain fromusing high or large beds.
10. Refrain from accepting gold and silver.


“Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci (kebhikkhuan) dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun. Ananda dalam agama manapun ketika kaum wanitanya ditahbiskan, maka agama tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama. Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.” (Vin. II, 256)
8 Peraturan itu adalah:
1. Bhikkhuni, walau telah upasampada selama seratus tahun, harus menghormat (namakkara), bangun menyambut dengan hormat pada seorang bhikkhu walau baru upasampada pada hari itu. Bhikkhuni harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
2. Bhikkhuni, tidak boleh bervassa di suatu tempat yang tidak ada bhikkhunya. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
3. Bhikkhuni, harus menanyakan hari uposatha dan mendengar ajaran Dhamma dari Sangha bhikkhu setiap tengah bulan. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
4. Bhikkhuni, setelah melaksanakan vassa, harus melakukan pavarana dalam Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
5. Bhikkhuni, yang melakukan pelanggaran berat harus melakukan manata (pembersihan diri) pada Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
6. Bhikkhuni, harus diupasampada dalam Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, setelah dua tahun sebagai sikkhamana. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
7. Bhikkhuni, tidak boleh berkata kasar pada seorang bhikkhu. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
8. Bhikkhuni, tidak boleh mengajar bhikkhu. Tapi, bhikkhu boleh mengajar bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
Jadi, karena Sang Buddha memenuhi permintaan para wanita untuk mendirikan sangha bhikkhuni, kemurnian ajaran Buddha cuma berlangsung selama 500 tahun. Tapi Buddha mengatakan bahwa wanita pun bisa menjadi Arahat saat ia meninggalkan kehidupanrumahtangga dan mengembangkan pikirannya. (Vin. VII, 513)
Sesudah Sang Buddha Gautama Maha Parinibbana para Bhikkhu dan Bhikkhuni pergi menyebarkan Dhamma ke seluruh penjuru dunia. Para Bhikkhuni rentan terhadap kekerasan dari para penjahat (penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan) sehingga para wanita menjadi takut untuk menjadi Bhikkhuni karena dayatahan wanita lebih lemah. Dengan tidak adanya yang mau menjadi Bhikkhuni maka tidak ada regenerasi dalam Sangha Bhikkhuni. Sangha Bhikkhuni pun habis/punah, sejak dalam aturan Vinaya Bhikkhuni (Bhikkhuni vibhanga) jika ingin upasampada harus ada minimal 1 Bhikkhuni Mahathera dan 4 Bhikkhuni. Karena Bhikkhuni sudah habis maka tak bisa menghasilkan upasampada Bhikkhuni baru.
Dalam Theravada tidak di ijinkan adanya Sangha Bhikkhuni karena tidak dapat melanjutkan aturan Sangha Bhikkhuni. Tak ada lagi Sangha Bhikkhuni dalam Theravada tapi Theravada mempersilahkan para wanita untuk menjadi Anagarini/Silacarini kalau dalam Bhikkhu di sebut Samanera (calon Bhikkhu) Anagarini/Silacarini melaksanakan 10 sila (Dasasila) dan 75 Sekkhiya (aturan Samanera).

Satu Tanggapan to “Sangha Bhikkhuni”

Tri Budi Dharma berkata

Bila kita cermati sejarah munculnya Sangha bhikkhuni, maka bisa diambil kesimpulan, ada beberapa tahap perubahan cara upasampada bhikkhuni. Pertama, dilakukan sendiri oleh Sang Buddha dengan memberikan garudhamma kepada Putri
Mahapajapati Gotami. Upasampada ini dilakukan secara khusus hanya pada Putri Mahapajapati Gotami. Upasampada ini disebut Atthagarudhammapatiggahanupasampada. Sang Buddha tidak pernah lagi melakukannya pada wanita lain.
Kedua, dilakukan oleh para bhikkhu atas perintah Sang Buddha. Upasampada ini dilakukan hanya pada para wanita pengikut Putri Mahapajapati Gotami. Tidak dilakukan pada wanita lain sesudahnya.
Ketiga, setelah Sangha bhikkhuni terbentuk (dipimpin oleh Bhikkhuni Mahapajapati Gotami), upasampada yang dinamakan Atthavacikaupasampada dilakukan pada dua Sangha yaitu, Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, sesuai dengan garudhamma yang harus dipatuhi oleh bhikkhuni seumur hidup.
Upasampada ini dilakukan semasa Sang Buddha masih hidup hingga Sang Buddha Parinibbana dan sesudahnya. Sang Buddha tak pernah mengijinkan upasampada dengan cara lain.
Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti telah melanggar ketentuan yang telah Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya. Hasilnya, tentu saja bukanlah sebagai bhikkhuni seperti yang diterangkan dalam
Tipitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka, Culavagga.
Begitupun Sangha Bhikkhu. Dalam perjalanannya, sejak kemunculannya, Sangha Bhikkhu mengalami beberapa tahap perubahan cara upasampada.
Pada awalnya, diupasampada oleh Sang Buddha sendiri dengan mengucapkan ” Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo cara brahmacariyam sammadukkhassa antakiriyaya”.
‘Datanglah wahai bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna,
laksanakan kehidupan suci untuk mengakhiri dukkha’.
Disebut Ehi bhikkhu upasampada dan hanya dilakukan oleh Sang Buddha sendiri.
Tidak oleh bhikkhu lainnya.
Kedua, upasampada yang dilakukan oleh seorang upajjhaya dengan menguncarkan
Tisarana. Upasampada ini disebut “Tisaranagaman-upasampada”.
Ketiga, upasampada yang dilakukan oleh Sangha (dengan seorang upajjhaya,
kammavacacariya dan anusavanacariya) dengan natticatutthakammavaca.
Upasampada ini disebut “natticatutthakamma upasampada”.
Cara ini dilakukan hingga saat ini. Sang Buddha tak mengijinkan upasampada
dengan cara lain. Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti
telah melanggar ketentuan yang Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya.
Hasilnya, tentu saja tidak bisa disebut sebagai ‘bhikkhu’ seperti yang telah
diterangkan dalam TiPitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka.
Vinaya (kedisiplinan) bagi para bhikkhu maupun bhikkhuni diberlakukan oleh
Sang Buddha seiring dengan perjalanan sejarah dan hukum ketidak-kekalan.
Kemunculan seorang Buddha di dunia ini bukanlah secara kebetulan.
Seorang Bodhisatta harus menunggu cukup lama di sorga Tusita hingga keadaan
di dunia ini memenuhi syarat bagi kemunculan seorang Buddha, terutama
kualitas batin manusia-manusianya.
Pada saat itulah Bodhisatta turun (terlahir) di dunia. Dan “dengan mudahnya”
mencapai penerangan sempurna sebagai Samma-sambuddha dan ‘mentahbiskan’
dirinya sendiri menjadi seorang pertapa (bhikkhu) pertama dalam Buddha
Sasana.
‘Dengan mudahnya’ Beliau mengupasampada murid-murid-Nya dengan hanya
mengucapkan: “Ehi bhikkhu” yang artinya “datanglah wahai bhikkhu”.
Para savaka (murid) itu ‘dengan mudahnya’ mencapai kesucian arahat, anagami,
sakadagami ataupun sotapanna. Bahkan, tidak sedikit yang mampu mencapai
kesucian arahat sebelum diupasampada menjadi bhikkhu.
Begitupun savaka-savaka perumah tangga. Cukup banyak yang ‘dengan mudahnya’
mencapai kesucian.
Semua berlangsung ‘dengan mudahnya’! Karena, saat itu manusia-manusia
berjenis batin sempurna (ugghatitanna dan vipacitanna) bermunculan bertemu
‘nasib’ dengan seorang Sammasambuddha, diiringi oleh manusia-manusia
berjenis batin neyya (masih mampu menerima ajaran) dan tentu saja oleh
manusia-manusia padaparama (tak mampu menerima ajaran) sebagai bagian yang
terbesar / terbanyak.
Saat itu, belum diberlakukan kedisiplinan (vinaya) terhadap para bhikkhu.
Mereka boleh saja berbuat sesuka hatinya. Namun, tentu saja perbuatan mereka
itu sesuai dengan kualitas batinnya yang luhur. Mereka memang tidak perlu
dikenai pembatasan-pembatasan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu;
bagaikan musim buah yang ‘pasti’ tak akan berlangsung lama (terus menerus),
karena masuknya orang-orang yang berjenis batin neyya dan padaparama ke
dalam jajaran Sangha, serta lain-lain alasan sesuai dengan keperluan yang
diketahui melalui mata Kebuddhaan-Nya, maka Sang Buddha mulai memberlakukan
kedisiplinan kebhikkhuan (vinaya). Vinaya inipun mengalami
perubahan-perubahan hingga mencapai titik sempurna, dan diberlakukan hingga
kini dan selanjutnya.
Bagi para Arahat melaksanakan vinaya adalah sebagai penghormatan terhadap
Dhamma dan memberi contoh pada yang lain. Bagi yang lain, melaksanakan
vinaya adalah sebagai kelengkapan wajib untuk mencapai tingkat batin yang
lebih tinggi, disamping samadhi dan panna. Begitupun terhadap upasampada
bhikkhu dan bhikkhuni yang memang termasuk dalam vinaya, mengalami
perubahan-perubahan sesuai dengan keperluan yang dilihat melalui mata
Kebuddhaan-Nya (bukan mata para siswa Arahat lainnya, apalagi mata siswa
puthujjana). Sang Buddha ‘terpaksa repot-repot’ merubah cara upasampada.
Yang lama (yang sederhana dan mudah) tidak diberlakukan lagi, diganti dengan
yang baru (yang bertele-tele tapi relevan bagi masanya).
Dan akhirnya, tersimpulkan, natticatuttakammaupasampada sebagai upasampada
bhikkhu, dan atthavacikaupasampada sebagai upasampada bhikkhuni. Kedua
upasampada inilah yang relevan dilakukan hingga punahnya Buddha Sasana dari
muka bumi ini kelak.
Sangha bhikkhuni telah punah mendahului Sangha bhikkhu. Tak mungkin lagi
dilakukan upasampada terhadap wanita untuk menjadi bhikkhuni. Kalau hanya
berdasarkan kejadian-kejadian pada awal munculnya Buddha Sasana saja, tanpa
mengindahkan perubahan-perubahan yang diberlakukan oleh Sang Buddha,
seseorang boleh saja mengupasampada diri sendiri menjadi bhikkhu. Karena,
Pangeran Siddhatta pun mengupasampada diri-Nya sendiri.
Atau setiap bhikkhu boleh melakukan upasampada dengan Tisaranagamanupasampada. Atau menciptakan
tata cara upasampada sendiri.
Dan, seorang wanita pun boleh saja menemui bhikkhu (hasil upasampada Sangha
maupun yang mengupasampada dirinya sendiri), minta diupasampada menjadi
bhikkhuni. Atau, lebih mudahnya lagi, dengan menyatakan diri menerima
garudhamma seperti Puteri Mahapajapati Gotami. Atau menciptakan tata cara
upasampada sendiri.
Untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni, seseorang tak perlu ‘repot-repot’ melalui
tata cara upasampada yang ‘bertele-tele’. Dan tak perlu lagi mengindahkan
kata Sang Guru. Maka, bertebaranlah bhikkhu dan bhikkhuni ‘swasta’ menghiasi
Buddha Sasana ‘swasta’ di dunia ini.
Pada saat Asoka Maharaja berjaya, ia mengirim Dhammaduta ke Sri Lanka juga
ke Asia Tenggara dan daerah-daerah lain. Dhammaduta yang pergi ke Asia
Tenggara dan daerah lain tidak disertai oleh Sangha bhikkhuni. Karenanya,
tidak pernah terdapat bhikkhuni di sana.
Mahinda Thera beserta Sangha Bhikkhu dan Sanghamitta Theri beserta Sangha
Bhikkhuni mengupasampada pria dan wanita Sri Lanka yang berminat.
Sangha Bhikkhuni sempat berjaya di sana. Namun, kemudian memudar dan
akhirnya punah karena tak ada lagi wanita yang berminat upasampada menjadi
bhikkhuni. Itulah saat terakhir keberadaan Sangha Bhikkhuni di muka bumi
ini. Itu pula kenyataan yang terjadi. Sangha Bhikkhuni telah punah dari muka
bumi ini

 

Menjadi Buddha (Part 3): Menjadi Ariya

I. Memperkuat pikiran (tahap Sotapanna)
- Anapanasati
“Dalam hal ini, seorang bhikkhu menetapkan perhatian murni di hadapannya (artinya ia memperhatikan dengan waspada obyek meditasinya, yaitu pernapasan).
Dengan penuh perhatian ia menarik nafas.
Dengan penuh perhatian ia menghembus nafas.
Saat menarik nafas panjang ia tahu ia sedang menarik nafas panjang.
Saat menghembus nafas panjang ia tahu ia sedang menghembus nafas panjang.
Saat menarik nafas pendek ia tahu ia sedang menarik nafas pendek.
Saat menghembus nafas pendek ia tahu ia sedang menghembus nafas pendek.”
- Iriyapatha dan Satisampajana
“Selanjutnya, seorang bhikku, saat ia berjalan ia tahu sedang berjalan, saat berdiri, ia tahu sedang berdiri, saat duduk ia tahu sedang duduk, saat ia berbaring ia tahu sedang berbaring.”
“Selanjutnya, seorang bhikku,
Saat berjalan ke depan atau belakang, tahu yang ia lakukan.
Saat melihat ke depan atau belakang, tahu yang ia lakukan.
Saat menekuk atau mengulur, tahu yang ia lakukan.
Saat membawa perlengkapan bajunya dan peralatannya, tahu yang ia lakukan.
Saat makan, minum, kunyah, kecap, tahu yang ia lakukan.
Saat kencing atau berak, tahu yang ia lakukan.
Saat berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, atau saat bicara atau diam, tahu yang ia lakukan.
Pokoknya sadar semua gerakan yang ia lakukan.
- Kayagatasati
“Selain itu, para bhikkhu, seorang bhikkhu terhadap fisik, dari tapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang terselubung kulit dan penuh kekotoran, ia mengamati begini:
‘Di fisik ini ada rambut,
Di fisik ini ada bulu,
Di fisik ini ada kuku,
Di fisik ini ada gigi,
Di fisik ini ada kulit,
Di fisik ini ada daging,
Di fisik ini ada otot,
Di fisik ini ada tulang,
Di fisik ini ada sumsum,
Di fisik ini ada ginjal,
Di fisik ini ada jantung,
Di fisik ini ada hati,
Di fisik ini ada diafragma,
Di fisik ini ada limpa,
Di fisik ini ada paru-paru,
Di fisik ini ada usus kecil,
Di fisik ini ada usus besar,
Di fisik ini ada makanan dalam lambung,
Di fisik ini ada tinja,
Di fisik ini ada otak,
Di fisik ini ada empedu,
Di fisik ini ada lendir,
Di fisik ini ada nanah,
Di fisik ini ada darah,
Di fisik ini ada keringat,
Di fisik ini ada lemak,
Di fisik ini ada airmata,
Di fisik ini ada minyak tubuh,
Di fisik ini ada ludah,
Di fisik ini ada kotoran hidung,
Di fisik ini ada minyak sendi,
Di fisik ini ada urin.’”
- Dhatuvavatthana
“Selanjutnya, seorang bhikku, mengamati:
‘Di fisik ini ada 5 unsur: air, tanah, ruang, udara, api‘.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur air (apo) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur tanah (pathavi) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur ruang (akasha) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur udara (vayo) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur api (teja) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Jika sesuatu yang mengandung unsur-unsur itu datang ke dirinya, ia harus membuat benda itu lolos menembus kesadarannya dan tak berdiam di kesadaran, dengan rasa netral.”
- Sivathika
Lv 1 Mayat Busuk:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang membengkak dan membusuk, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Ulat Sutra
Lv 2 Mayat Pecah:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang dagingnya terkoyak-koyak, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu’. Ilmu Cakar Tulang Putih
Lv 3 Mayat Merana:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang dagingnya terkuliti, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Penyedot Bintang
Lv 4 Mayat Hancur:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang dagingnya tercabik, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Bajubesi lv5
Lv 5 Mayat Kalah :  Seorang bhikku yang melihat mayat yang hampir tinggal kerangka, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Silat Tulang Putih
Lv 6 Putus Tulang:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang tinggal kerangka patah, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Tenagadalam … Bulan
Lv 7 Tulang Putih:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang kerangkanya memutih, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Iblis Darah
Lv 8 1000 Tulang:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang berupa tumpukan tulang, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ravirontek
Final lv Debu Tulang Mayat:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang tulangnya menjadi debu, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘.” Debu Tulang Putih
- Cittanupassana
“Dalam hal ini, seorang bhikkhu tahu
Pikiran yang muncul sebagai pikiran bernafsu, sebagai pikiran bernafsu.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran suci, sebagai pikiran suci.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran membenci, sebagai pikiran membenci.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mencinta, sebagai pikiran mencinta.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran sesat, sebagai pikiran sesat.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran pas, sebagai pikiran pas.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran ragu, sebagai pikiran ragu.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran teguh, sebagai pikiran teguh.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mandeg, sebagai pikiran mandeg.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran maju, sebagai pikiran maju.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran picik, sebagai pikiran picik.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mulia, sebagai pikiran mulia.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mengambang, sebagai pikiran mengambang.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran terpusat, sebagai pikiran terpusat.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran buntu, sebagai pikiran buntu.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran bebas, sebagai pikiran bebas.”
II. Menemukan Jalan Tengah (tahap Sakadagami)
- Vedananupassana
“Saat mengalami perasaan menyenangkan, ia sadar ‘ini menyenangkan‘.
Saat mengalami perasaan mengganggu, ia sadar ‘ini mengganggu‘.
Saat mengalami perasaan fisik menyenangkan, ia sadar ‘ini menyenangkan‘.
Saat mengalami perasaan fisik mengganggu, ia sadar ‘ini mengganggu‘.
Saat mengalami perasaan bukan tak menyenangkan dan bukan tak mengganggu, ia sadar ‘ini bukan tak menyenangkan dan bukan tak mengganggu‘.”
III. Hidup di Jalan Tengah (tahap Anagami)
- Dhammanupassana
“Seorang bhikkhu mengetahui dengan jelas
Saat obyek ada.
Saat obyek tak ada.
Saat obyek muncul.
Saat obyek lenyap.
Saat obyek tak akan muncul lagi untuk selamanya.“

 

Menjadi Buddha (Part 4): Menjadi Anagami

Anagami magga adalah mutant yang sudah selesai bekerja menghancurkan 5 rintangan kesucian, tinggal menunggu perubahan dirinya.
* Kepercayaan akan adanya diri yang abadi (Sakkāya-diṭṭhi)
* Meragukan ajaran buddha dhamma (Vicikicchā)
* Melekat pada sila dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)
* Nafsu 6 indra (Kāma-rāga)
* kebencian dan niat jahat (Vyāpāda)
Anagami phala adalah seseorang yang sudah mendapat buahkamma dari prakteknya sehingga mengubah dirinya menjadi seorang Anagami.
Inilah cara:
I. Mencapai anagami magga: Jangan mencari kebahagiaan dari upadhi (perolehan 6 indra).
2. Mencapai anagami phala: Berdhammanupassanasatipatthana atas point:
- nafsu berpikir hal-hal yang merosotkan batin.
- nafsu melihat yang indah-indah.
- nafsu mendengar suara yang merdu.
- nafsu mencium aroma yang harum.
- nafsu mengecap rasa enak.
- nafsu menyentuh tekstur bagus.
Berdhammanupassanasatipatthana (Sadar saat obyek ada. Saat obyek tak ada. Saat obyek muncul. Saat obyek lenyap. Saat obyek tak akan muncul lagi untuk selamanya) terus sampai membentuk putaran energy hingga akhirnya jadi Anagami.
2 Tanggapan to “Menjadi Buddha (Part 4): Menjadi Anagami”
  
Bicara soal lain, inilah 10 Belenggu Mental yang terkait dengan soal menjadi makhluk suci tingkat Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat:
10 Belenggu mental:
1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).
2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan lalu dan kehidupan mendatang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicch).
3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parmsa).
4. Nafsu indriya (kama-raga).
5. Dendam atau dengki (vyapada).
6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rupa-raga).
7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arupa-rga).
8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mana).
9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
10. Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijj).
Lima samyojana (1 – 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhgiya-samyojana.
Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 – 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhgiya-samyojana.
Orambhgiya-samyojana dan Uddhambhgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.
  
Arahat, artinya: “Bhikkhu yang sempurna.”
Arahat Magga: Bhikkhu yang sudah selesai bekerja atas 10 belenggu batin.
Arahat Phala: Bhikkhu yang bertransformasi karena hancurnya 10 belenggu batin dan disebut Buddha (Yang Tercerahkan).

http://bharadvaja.wordpress.com/category/kesadaran/

Kiamat Menurut Agama Buddha



KIAMAT MENURUT BUDDHA-DHAMMA
Di dalam Buddha-Dhamma dikenal adanya dua siklus dunia tempat kita hidup :
1. Siklus naik.
2. Siklus turun.
Satu siklus kelahiran kembali dunia ( Mahakappa : Satu Kappa Besar ) dibagi menjadi 4 fase:
1. Fase Kekosongan,
2. Fase “ Penciptaan “ ,
3. Fase statis / kediaman ,
4. Fase Kerusakan ( Kiamat ).
Masing-masing fase tersebut disebut “Kappa-Menengah”. Kappa-menengah terdiri dari dua-puluh ( 20 ) kappa-kecil. Kappa-kecil pertama disebut kappa-turun, dan kappa-kecil terakhir ( yang ke-20 ) disebut kappa naik.
Delapan-belas ( 18 ) kappa-kecil di antara kappa-turun dan kappa-naik merupakan siklus yang terdiri atas paruh-pertama naik dan paruh-kedua turun.
Diperlukan waktu dua-puluh ( 20 ) kappa-kecil untuk fase kekosongan, dan 20 kappa kecil untuk fase “penciptaan” alam-semesta tempat kita hidup ini.
Waktu permulaan zaman dari fase kediaman, awal kemunculan manusia di bumi, jangka kehidupan mereka rata-rata adalah “tak-terhingga”,, lalu turun secara perlahan-lahan ( dimana sekarang ini rata-rata umur manusia adalah 70 tahun ) hingga suatu saat akan mencapai umur rata-rata hanya sepuluh ( 10 ) tahun, dan saat tercapainya ini adalah disebut dengan “utkarsa” : fase-turun, maka itu kappa-pertama disebut kappa-turun.
Setelah itu diikuti dengan delapan-belas ( 18 ) kappa-kecil dimana jangka kehidupan rata-rata manusia perlahan-lahan naik ke delapan-puluh-ribu ( 80.000 ) tahun , dan fase ini disebut “apakarsa” : fase-naik.
Lalu setelah apakarsa kemudian rata-rata kehidupan manusia akan turun lagi menjadi selama sepuluh ( 10 ) tahun ( kembali ke “utkarsa” ; fase-turun ). Maka dari itu delapan-belas ( 18 ) kappa kecil itu disebut kappa naik-turun.
Setelah jangka kehidupan rata-rata manusia mencapai sepuluh ( 10 ) tahun di akhir kappa kecil ke-19, jangka kehidupan manusia rata-rata naik kembali secara perlahan-lahan menjadi delapan-puluh-ribu ( 80.000 ) tahun , yaitu kembali pada “apakarsa” ; fase-naik.
Dalam beberapa teks Buddhis, kata “perlahan-lahan” artinya jangka kehidupan rata-rata manusia naik/turun 1 tahun setiap kurun waktu seratus ( 100 ) tahun, tergantung apakah zaman itu dalam fase naik atau fase turun.
Pada saat terjadi apakarsa ( fase-naik ), maka tidak akan ada kemunculan seorang BUDDHA, karena manusia hidup lebih lama di dunia yang relatif makmur sehingga mereka telah puas dan tak berminat mendengarkan ajaran Buddha.
Buddha hanya akan muncul pada fase turun, tapi tidak muncul saat jangka kehidupan manusia telah jatuh dibawah titik jangka kehidupan kritis, saat sikap dan mental manusia sangat inferior sehingga tidak bisa menerima ajaran Buddha. Jangka kehidupan kritis ditafsirkan beraneka ragam, ada yang menafsirkannya sebagai seratus ( 100 ) tahun, delapan-puluh ( 80 ) tahun, bahkan tiga-puluh ( 30 ) tahun. Zaman dibawah jangka kehidupan kritis disebut zaman kegelapan, yang dalam agama lain disebut “Akhir-Zaman”.
Tanda-Tanda Akhir Zaman
Tanda-tanda “Akhir-Zaman” menurut Buddha-Dhamma adalah saat timbulnya lima ( 5 ) macam kemerosotan ( kasaya ):
1. Kemerosotan pandangan ( ditthi-sakaya ) : aneka ragam gagasan dan pandangan terbalik muncul di seluruh pelosok dunia dan menjadi dominan di dalam benak manusia.
2. Kemerosotan hawa-nafsu ( kilesa-kasaya ) : manusia hanya mengejar kesenangan dengan menghalalkan segala cara. Segala jenis kejahatan merajalela dan perbuatan tercela ( dengan menggunakan standar hidup kita sekarang ) dianggapnya sebagai norma-norma. Orang-orang yang melakukan kejahatan bahkan disanjung sebagai pahlawan dan dihormati di masyarakat.
3. Kemerosotan kondisi manusia ( sattva-kasaya ) : mayoritas manusia tidak mendapatkan kepuasan batin dan kebahagiaan dalam kehidupan. Saat itu, fisik dan mental manusia jauh lebih inferior daripada saat kita hidup sekarang ini.
4. Kemerosotan jangka kehidupan manusia ( ayus-kasaya ) : jangka kehidupan rata-rata manusia secara makro menurun hingga ke titik kritis.
5. Kemerosotan zaman-dunia ( kalpa-kasaya ) : peperangan, bencana-alam, wabah-penyakit, gagal-panen, dan kelaparan melanda dunia. Saat mengalami ini, lingkungan hidup ( ekosistem dan ekologi ) semakin memburuk.
Salah satu ciri dari fase turun adalah kejadian yang disebut dengan “Tiga-Bencana-Besar” :
1. Peperangan,
2. Wabah penyakit.
3. Kelaparan.
Ada tiga teori mengenai ciri-ciri dari fase turun tersebut. Teori pertama , menyatakan bahwa pada saat jangka kehidupan manusia mencapai rata-rata sepuluh ( 10 ) tahun, peperangan berlangsung selama tujuh ( 7 ) hari, dilanjutkan dengan wabah penyakit yang berlangsung selama tujuh ( 7 ) bulan plus tujuh ( 7 ) hari, dilanjutkan dengan kelaparan selama tujuh ( 7 ) tahun, tujuh ( 7 ) bulan, dan tujuh ( 7 ) hari.
Teori kedua , menyatakan bahwa hanya satu jenis bencana yang akan terjadi di setiap akhir kappa-kecil. Saat jangka kehidupan manusia mencapai sepuluh ( 10 ) tahun di kappa pertama, wabah penyakit muncul ; di kappa kedua api peperangan terjadi ; dan di kappa ketiga, kelaparan melanda. Pola ini berlanjut sampai sepanjang enam-belas ( 16 ) kappa berikutnya, dan setiap bencana berlangsung selama tujuh ( 7 ) hari. Menurut teori ini, kita sekarang berada di kappa kesembilan ( ke-9 ), pada fase menurun, dimana bencana kelaparan akan terjadi saat jangka kehidupan manusia rata-rata mencapai sepuluh ( 10 ) tahun.
Teori ketiga , menyatakan bahwa kala jangka kehidupan manusia mencapai tiga-tuluh ( 30 ) tahun, ada periode kelaparan selama tujuh ( 7 ) tahun, tujuh ( 7 ) bulan, tujuh ( 7 ) hari ; dikala umur rata-rata kehidupan manusia mencapai dua-puluh ( 20 ) tahun, ada periode wabah penyakit selama tujuh ( 7 ) bulan dan tujuh ( 7 ) hari ; kala umur rata-rata kehidupan manusia mencapai sepuluh ( 10 ) tahun, ada periode bencana peperangan selama tujuh ( 7 ) hari.
Terjadinya Kiamat
Pada kappa kedua-puluh ( ke-20 ), kappa terakhir, merupakan fase naik dan jangka kehidupan manusia mencapai delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun. Setelah itulah, kiamat mulai datang dalam bentuk penghancuran bumi melalui salah satu dari tiga unsur alam-semesta : api, air, dan angin. Ini adalah akhir dari sebuah siklus “Mahakappa”.
Siklus mahakappa pertama diakhiri dengan kiamat dari unsur api, dimana tujuh matahari muncul [ melintasi orbit tata surya kita ] dan mengeringkan samudera.
Siklus mahakappa kedua ( ke-2 ) hingga ketujuh juga diakhiri dengan cara kiamat yang serupa. Siklus mahakappa kedelapan ( ke-8 ) diakhiri dengan kiamat dari unsur air.
Pola kiamat api dan satu kiamat air berulang selama tujuh ( 7 ) kali, totalnya lima-puluh-enam ( 56 ) Mahakappa.
Selanjutnya dilanjutkan dengan tujuh kali kiamat api dan satu kiamat angin, sehingga total menjadi enam-puluh-empat ( 64 ) Mahakappa.
Periode enam-puluh-empat ( 64 ) Mahakappa merupakan satu siklus besar dari satu sistem dunia. Kiamat api menghancurkan mulai dari neraka hingga surga kesembilan ( ke-9 ), yaitu surga tempat Maha-Brahma hidup. Kiamat air menghancurkan mulai dari neraka hingga surga kedua-belas ( ke-12 ), yaitu alam makhluk cahaya ( Abhassara ), dan kiamat angin menghancurkan dari alam neraka hingga surga kelima-belas ( ke-15 ), yaitu alam Subhakinha ( Jhana III ).
Penggambaran kiamat dari siklus Mahakappa pertama hingga ketujuh, yaitu kiamat dengan unsur api digambarkan dalam Anguttara Nikaya, Sattakanipata adalah sebagai berikut :
“ Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan.
Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati… .
Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada… .
Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu wakti di akhir yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Acirawati, Sarabhu dan Mahi, surut, kering dan tiada… .
Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu wakti di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada… .
Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lamai, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudera surut 100 Yojana, lalu surut 200 Yojana, 300 Yojana, 400 Yojana, 500 Yojana, 600 Yojana dan surut 700 Yojana. Air maha samudera tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam , lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudera tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua, dan hanya sedalam seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tiga mata kaki.
Para Bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha-samudera hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul, Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan , memuntahkan, dan menyemburkan asap. Para Bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah para Bhikkhu, semua bentuk ( sankhara ) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi, atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.
Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus Yojana terbakar menyala ditaklukkan oleh amukan nyala berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa.
Demikian pula bumi dengan gunung Sineru hangus terbakar hingga bara maupun debu tak tersisa sama sekali. “

MUNGKINKAH TERDAPAT TUJUH MATAHARI YANG AKAN MEMBAKAR BUMI?
Penjelasan Kiamat menurut Sang Buddha tersebut diatas tentunya akan mengerutkan alis mata anda, khususnya yang belum mengenal Buddha-Dhamma. Anda yang tidak mengenal Buddha-Dhamma akan bertanya-tanya, “ Mana mungkin ada matahari lebih dari satu ? Mana mungkin terdapat tata-surya lebih dari satu ? Mana mungkin ada galaksi selain galaksi ini ? Mana mungkin ada “Alam-Kembar” seperti alam yang kita huni ini ? “
Sekedar mengingatkan kembali, Sang Buddha menyebutkan adanya tiga sistem dunia :
1. Sahassi Culanika Lokadhatu , yaitu Seribu ( 1.000 ) tata-surya kecil. Didalam Sahassi Culanika Lokadhatu terdapat seribut ( 1.000 ) matahari, seribu ( 1.000 ) bulan, seribu ( 1.000 ) Sineru, seribu ( 1.000 ) Jambudipa, dll.
2. Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu, yaitu seribu kali Sahassi Culanika Lokadhatu. Dalam Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 tata surya kecil = 1.000.000 tata surya kecil. Terdapat 1.000 x 1.000 matahari = 1.000.000 matahari, terdapat pula 1.000 x 1.000 bulan = 1.000.000 bulan, dan seterusnya.
3. Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu terdapat 1.000.000 X 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Terdapat 1.000.000 x 1.000 matahari = 1.000.000.000 matahari, dan seterusnya.
Sesungguhnya, maksud dari Sabda Sang Buddha tersebut, jumlah tata-surya melampaui dari sekedar satu-milyar ( 1.000.000.000 ) tata-surya saja. Namun karena Sang Buddha mengajarkannya dengan menggunakan bahasa manusia ( saat Beliau hidup kala itu ), maka menggunakan kisaran angka ribuan, jutaan, milyaran. Ingat , seperti Sang Buddha sendiri pernah mengisyaratkan, bahwa bahasa manusia tidak mampu melukiskan sesuatu yang Transenden , “bagaikan jari menunjuk bulan, bukan bulan itu sendiri”.
Dalam kenyataannya, Sabda Sang Buddha mengenai Alam-Semesta, Awal Mula Terjadinya, hingga kelak “Kiamat”, mendapat dukungan dan mengundang decak-kagum fisikawan tersohor didunia, yaitu Dr.Albert Einstein, hingga dia mengeluarkan pernyataan ( seperti yang tertulis di awal artikel ini ) , bahwa “… Jika ada agama yang sejalan dengan kebutuhan Ilmu Pengetahuan Modern, maka itu adalah Ajaran BUDDHA.”
Dalam salah satu penggalan surat yang dilayangkan ke salah seorang rekannya di tahun 1944, Albert Einstein, sang penggagas Teori Relativitas berkata, “Apa yang kulihat di alam ini adalah sebuah struktur yang maha besar, namun yang dapat kita pahami baru sebagian kecil saja. Begitu pun sudah cukup membuat pusing.”
Mengenai jumlah galaksi yang lebih dari satu, juga telah dibenarkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada dua-ratus milyar galaksi yang sudah dikenali oleh para ilmuwan, diantaranya ( selain Bima-Sakti ), adalah : Galaksi Major Dwarf, Virgo Stellar Stream, Sagitarius Elips Kerdil, Awan Magellanik Besar, dan lain-lainnya.
Beth Willman, dari Center for Cosmology and Particle Physics, Universitas New York, baru-baru ini juga menemukan “Galaksi-Kerdil” didekat Bima-Sakti, yang ia sebut “Globular-Cluster”. Willman berkata, “Yang kami dapatkan kemudian adalah objek yang 200 kali lebih tidak bercahaya bila dibandingkan dengan galaksi-galaksi lain yang terlihat sebelumnya. “
Berbagai penemuan baru juga terus bermunculan dalam penyelidikan planet di luar Tata Surya, atau yang lebih dikenal sebagai eksoplanet. Salah satu planet ini – Gliese 581 – disebut sebagai Bumi Super (ukuran besar), disebut Bumi karena berbagai parameternya memperlihatkan planet ini layak huni, dan disebut Super karena ukurannya lebih besar melampaui bumi tempat kita hidup ini.

Matahari Lebih dari Satu
Dalam tulisannya di Kompas (8 Desember 2006) alumnus astronomi Taufiq menyinggung tata surya dengan matahari lebih dari satu. Salah satu contohnya adalah tata-surya dengan tiga matahari seperti yang ada pada matahari “HD188753” yang berada di Rasi Angsa (Cygnus). Pada sistem yang berjarak 149 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 9.500 miliar km), matahari utama dikitari oleh dua matahari lain berukuran lebih kecil. Di luar itu masih ada sebuah planet gas berukuran lebih besar dari Yupiter mengorbit lebih dekat ke bintang induk dengan periode orbit 3,5 hari.
Pada sistem yang lain, ada pula planet yang ditemukan pada matahari ganda. Misalnya saja matahari ganda Gamma Cephei. Matahari utamanya yang bermassa 1,6 massa Matahari punya sebuah planet dengan massa 1,76 kali Yupiter yang mengorbit sejauh jarak Matahari-Mars (1,5 AU (Astronomical Unit) 1 AU = 150 juta km), dan punya matahari partner yang berukuran lebih kecil pada jarak sejauh Matahari-Uranus (19,2 AU).
Belum lama ini wahana teleskop antariksa Spitzer menemukan sistem yang memiliki “Empat Matahari Induk”. Spitzer dengan peralatan inframerahnya telah diarahkan untuk meneliti piringan debu yang mengelilingi sistem empat bintang HD 98800.
HD 98800 diperkirakan berumur 10 juta tahun, dan berada di Rasi TW Hydrae yang berjarak 150 tahun cahaya. Sebelum diteliti oleh Spitzer, astronom telah memiliki sejumlah informasi mengenai matahari ini dari pengamatan teleskop darat. Mereka sudah mengetahui, bahwa sistem ini punya empat matahari, dan keempat matahari yang ada berpasang-pasangan dalam sistem dua bintang (double, atau binary).
Matahari-matahari dalam sistem matahari ganda mengorbit satu terhadap yang lain, demikian pula dua pasang matahari ganda tersebut juga saling mengitari satu terhadap yang lain sebagaimana pasangan-pasangan penari balet. Salah satu pasangan matahari – yang disebut HD 98800B – memiliki piringan debu di sekelilingnnya, sementara pasangan satunya tidak.
Seperti dilaporkan oleh NASA, keempat matahari saling terikat oleh gravitasi dan jarak antara kedua pasang bintang tersebut adalah sekitar 50 AU, atau sedikit lebih jauh dibandingkan jarak Matahari -  Pluto yang sekitar 40 AU.
Dan temuan para ilmuwan tersebut diatas, baik mengenai matahari yang lebih dari satu, mengenai galaksi yang telah dikenali hingga 200 milyar banyaknya, serta “Parallel Universe” ( Alam-Kembar, yakni teori adanya alam-semesta lain selain tempat kita tinggal, akan kita bahas dalam topik selanjutnya ), merupakan suatu bentuk pengakuan terhadap ajaran Sang Buddha, yang menyatakan bahwa “Alam-Semesta” ini tidak hanya terdiri dari satu tata-surya saja, tidak hanya terdiri dari satu galaksi saja, bahkan jumlahnya sesungguhnya hingga milyaran tata-surya. Dan dengan demikian, pernyataan Sang Buddha mengenai terjadinya kiamat setelah berkumpulnya tujuh matahari menyinari bumi secara bersama-sama, sangatlah masuk akal, karena ternyata alam-semesta ini sungguh sangat luas tak terkira, dan terdiri dari ratusan milyar galaksi, serta juga milyaran matahari.
KESIMPULAN
Jadi, merujuk pada Sabda Sang Buddha, Sang Lokavidu – Pengenal Segenap Alam Semesta – , maka, kiamat dialam Bumi kita ini belum akan terjadi dalam waktu dekat ini, tidak dalam hitungan 1, 2, 3, 4, 5, 10, 100, 1.000, 10.000, 100.000 , 1.000.000, 10.000.000 tahun ini, karena :
1. Kita sekarang berada pada masa Kappa ke-9 ( sembilan ), fase turun dari masa / fase “Kediaman” / “Statis”, yaitu menuju turunnya jarak hidup / usia manusia, dimana nantinya manusia hanya akan berusia maksimal sepuluh ( 10 ) tahun. Untuk menyelesaikan masa/fase Kediaman / Statis, masih dibutuhkan 11 kappa lagi, baru kemudian bumi ini masuk pada fase “Kerusakan” / Kiamat. Padahal, Kiamat baru akan terjadi pada masa Kappa ke-20 ( dua-puluh ) kappa terakhir dari fase “Kerusakan” / “Kiamat”, yang merupakan fase naik dan jangka kehidupan manusia akan mencapai delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun. Sehingga, dari saat sekarang, masih dibutuhkan 11 + 20 Kappa = 31 Kappa lagi untuk mencapai masa “Kehancuran” / “kiamat”. Setelah kappa ke-20 dari fase Kehancuran itulah, kiamat baru mulai datang dalam bentuk penghancuran bumi melalui salah satu dari tiga unsur alam-semesta : api, air, dan angin. ( akhir dari sebuah siklus “Mahakappa” ). Dan kita ingat, 1 Kappa itu dilalui dalam waktu yang sangat panjang, lebih dari milyaran tahun. Sehingga, dari kappa ke-9 fase turun ini, untuk menuju kappa ke-20 fase naik dari fase “Kehancuran”, masih dibutuhkan waktu sangat panjang, melebihi trilyunan tahun lagi.
2. Kelima tanda akhir zaman belum muncul. Yang ada sekarang adalah bencana alam yang sangat wajar ( wajar, karena, bumi tidak akan pernah berlalu tanpa adanya bencana alam ) bila dibandingkan dengan apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda akhir zaman tersebut. Juga peperangan yang disebabkan egoisme SARA semata.
3. Kita belum mengalami dimana “ratusan ribu tahun” tidak ada hujan. Kita masih bisa menikmati musim dengan baik ( meskipun terjadi sedikit pergeseran musim, yang lebih disebabkan karena karma-karma buruk kita sendiri ( baca artikel Bencana Alam dalam Perspektif Buddha-Dhamma di weblog ini ) ).
4. Kita belum mengalami masa dimana matahari kedua munul dan menyinari bumi ini secara kontinyu. Kemudian belum mengalami kemunculan matahari ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh muncul secara bersamaan. Dan kemunculan matahari-matahari tersebut, sangatlah membutuhkan waktu yang lama sekali, masih jutaan tahun lagi, bahkan lebih ( ingat sekali lagi, bahasa manusia yang delusiv dan relatif tak bisa dengan tepat menggambarkan sesuatu yang “Transenden” ).
5. Dan karena matahari-matahari itu belum muncul, air masih bisa kita nikmati, sungai kita masih tetap ada, lautan tetap ada, belum ada gunung yang mulai hancur , dan lain-lain tanda seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha.
Demikian, sehingga kiamat bagi planet Bumi dan tata-surya kita ini sesungguhnya masih teramat sangat jauh. Usia bumi kita sekarang ini menurut beberapa ilmuwan baru lima ( 5 ) milyar tahun ( ini yang masih bisa diteliti, sesungguhnya, usia bumi sudah jauh lebih tua dari sekedar 5 milyar tahun ) , dan itu termasuk usia yang sangat muda bagi sebuah tata-surya di alam semesta.
http://bharadvaja.wordpress.com/