SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Jumat, 25 Februari 2011

Air Es Lancarkan Metabolisme



segarnya air es ini... (c)xtremefatfighter.com
Air es yang katanya bikin gemuk ternyata memudahkan metabolisme tubuh...
Ingatkah dulu saat masih remaja dan berusia sekitar 20an, Anda dapat mengonsumsi apa saja yang Anda mau tanpa takut berat badan naik. Sekarang dengan usia mendekati paruh baya, hal itu sulit terjadi lagi. Kemungkinan besar ini disebabkan oleh metabolisme tubuh yang kurang lancar karena faktor usia. Namun, jangan khawatir! Ada jalan keluar tepat untuk mengatasi masalah ini.

1. Minum air dingin atau air es ternyata dapat meningkatkan metabolisme tubuh lho. Penemuan kesehatan menyimpulkan bahwa Anda dapat membakar kalori hingga 70 kalori ekstra per hari jika meminum setidaknya 8 gelas air dingin dalam sehari.

2. Beri jeda saat berolahraga. Penelitian di Australia membuktikan bahwa wanita yang memberi jeda saat berolahraga kehilangan lemak 3 kali lebih banyak daripada mereka yang tidak beristirahat sama sekali.

3. Kafein ternyata dapat meningkatkan metabolisme. Sudah dibuktikan oleh sebuah penelitian bahwa peminum kopi memiliki 16% metabolisme yang lebih lancar. Kandungan kafein membuat kinerja jantung lebih baik serta menstimulasi syaraf pusat Anda.

4. Sarapan dengan makanan yang "berat". Telur atau daging bisa jadi pilihan tepat untuk memulai hari Anda. Penelitian terbaru menemukan bahwa sarapan makanan yang berlemak akan mempercepat metabolisme daripada makanan yang rendah lemak atau rendah kalori.

American Journal of Epidemiology juga mengemukakan bahwa orang yang mengonsumsi 22-55% dari total kalori saat sarapan, berat badannya hanya naik sekitar 0,7 kg saja dalam 4 tahun. Tidak terlalu buruk bukan, mengingat orang yang mengonsumsi 0-11% kalori di pagi hari mendapati berat badan mereka naik sebanyak 1,5kg.

5. Minum teh hijau secara rutin. Teh hijau tak hanya kaya akan antioksidan, namun melancarkan metabolisme Anda. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan konsumsi teh hijau rutin sebanyak 3-5 cangkir sehari selama 3 bulan akan kehilangan berat badan mereka sebanyak 5%.

6. Hindari mengonsumsi olahan susu terlalu banyak. Kalau bisa pilih yang rendah lemak saja.

Tidak khawatir lagi dengan metabolisme tubuh yang kurang lancar kan? Lakukan tips di atas dan musnahkan lemak yang mengganggu penampilan. (wo/meg)  
 
KapanLagi.com - Oleh: Ivana Okta Riyani

Angka Delapan

Angka delapan itu indah! Mengapa indah? karena angka 8 adalah satu-satunya angka yang tak berawal, tak berujung dan tetap konstan meski harus dibalik ke atas dan ke bawah. Jika kita lihat lebih jauh lagi, angka 8 itu ajaib, tanpa tahu ujung pangkalnya angka 8 memiliki fakta unik. Let's see:
  • 8 adalah salah satu dari 3 bilangan yang bila ditulis terbalik tapi bentuknya tetap sama. Angka yang lain adalah 0 dan 1.
  • 8 Mata angin. Hanya ada 8 arah mata angin yang berlaku universal, yang terdiri dari Utara, Selatan, Barat, Timur, Tenggara, Timur laut, Barat daya, Barat laut.
  • 8 tangga nada. Hanya ada 8 tangga nada yang berlaku universal (do, re, mi, fa, so, la, si, do)
  • 8 gelas setiap hari. Pakar kesehatan berujar minum air putih minimal 8 gelas setiap hari adalah anjuran yang ideal untuk agar terhindar dari dehidrasi, dan membantu metabolisme tubuh. 8 is great, isnt it? :)
  • 8 jenis vitamin B sangat berperan penting dalam metabolisme tubuh.
  • 8 kaki hanya dimiliki oleh laba-laba, kalajengking, dan gurita. Tentu bisa kurang/lebih dari 8 jika mereka mengalami rekayasa genetik atau cedera.
  • 8 adalah dasar sistem bilangan okta yang sangat terkait dengan komputer.
  • 8 sangat unik dalam matematika. Coba kita hitung penjumlahan dengan angka 8 berikut, dan hasilnya sungguh amazing: 1 x 8 + 1 = 9
    12 x 8 + 2 = 98
    123 x 8 + 3 = 987
    1234 x 8 + 4 = 9876
    12345 x 8 + 5 = 98765
    123456 x 8 + 6 = 987654
    1234567 x 8 + 7 = 9876543
    12345678 x 8 + 8 = 98765432
    123456789 x 8 + 9 = 987654321
  • 8 bagi orang China atau sebagian negara di Asia itu adalah angka hoki. Angka 8 tak pernah putus diyakini sebagai angka pembawa kebahagiaan, kemapanan dan kemakmuran yang tak pernah berakhir. 8 juga diyakini membawa keberuntungan ekstra di mana pun angka ini muncul. Thats why, banyak orang China memasukkan unsur 8 di hidup mereka.
sumber :  KapanLagi.com

VASALA SUTTA

Definisi Sang Buddha tentang manusia sampah (spiritual)

Demikian yang telah saya dengar: Pada saat itu Sang Buddha berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta di vihara Anathapindika. Ketika hari menjelang siang, setelah mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, Sang Buddha pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan. Pada waktu itu, di rumah brahmana pemuja-api yang bernama Aggika-Braradvaja, api dinyalakan dan benda-benda untuk kurban telah disiapkan.

Kemudian Sang Buddha, yang berjalan dari rumah ke rumah, sampai ke tempat tinggal brahmana itu. Melihat Sang Buddha mendekat, dia berteriak: ‘Berhentilah di situ, hai pertapa gundul. Berhentilah di situ, hai pertapa. Berhentilah di situ, hai manusia sampah!’

Sang Buddha [dengan tenang menjawab]: ‘O, brahmana, dapatkah engkau mengenali manusia sampah? Dapatkah engkau mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah?’

‘Memang tidak, O Tuan Gotama, saya tidak dapat mengenali manusia sampah, dan saya tidak mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah. Karena itu, Tuan Gotama, akan amat bagus bila engkau menjelaskan padaku mengenai hal ini.’

Sang Buddha [meneruskan]: ‘Baiklah, wahai brahmana, dengarkan baik-baik dan camkanlah kata-kataku ini:

1. Siapa pun yang marah, yang memiliki niat buruk, yang berpikiran jahat dan iri hati; yang berpandangan salah, yang penuh tipu muslihat, dialah yang disebut sampah.2

2. Siapa pun yang menghancurkan kehidupan, baik burung atau binatang, serangga atau ikan, yang tidak memiliki kasih sayang terhadap kehidupan ….

3. Siapa pun yang merusak atau agresif (suka menyerang) di kota dan di desa dan dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam ….

4. Siapapun yang mencuri apa yang dianggap milik orang lain, baik yang ada di desa atau hutan ….

5. Siapapun yang setelah berhutang lalu menyangkal ketika ditagih, dan menjawab pedas: ‘Aku tidak berhutang padamu!’ ….

6. Siapa pun yang berkeinginan mencuri walaupun benda tidak berharga, lalu mengambil barang itu setelah membunuh orang di jalan ….

7. Siapapun yang memberikan sumpah palsu untuk kepentingannya sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk mendapat keuntungan ….

8. Siapapun yang mempunyai hubungan gelap dengan istri famili atau temannya, baik dengan paksaan atau karena suka sama suka ….

9. Siapapun yang tidak menyokong ayah atau ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan ….

10. Siapa pun yang menyerang atau mencaci-maki ayah, ibu, saudara kandung, atau ibu mertua ….

11. Siapapun yang dimintai nasihat yang baik tetapi malahan mengajarkan apa yang menyesatkan atau berbicara dengan tidak jelas ….

12. Siapapun yang munafik, yang setelah melakukan pelanggaran kemudian ingin menyembunyikannya dari orang-orang lain ….

13. Siapapun yang setelah berkunjung ke rumah orang lain dan menerima keramah-tamahan di sana, tidak membalasnya dengan sikap serupa ….

14. Siapapun yang menipu pertapa, bhikkhu atau guru spiritual lain ….

15. Siapapun yang mencaci-maki dan tidak melayani pertapa atau bhikkhu yang datang untuk makan ….

16. Siapapun, yang karena terperangkap di dalam kebodohan, memberikan ramalan yang tidak benar demi keuntungan yang sebenarnya tak berharga ….

17. Siapapun yang meninggikan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain, pongah dalam kesombongannya ….

18. Siapapun yang suka memicu pertengkaran, yang kikir, memiliki keinginan-keinginan jahat, iri hati, tidak tahu malu dan tidak menyesal kalau melakukan kejahatan ….

19. Siapa pun yang menghina Sang Buddha atau siswa-siswanya, baik yang telah meninggalkan keduniawian maupun perumah-tangga biasa ….

20. Siapa pun yang berpura-pura Arahat padahal sebenarnya bukan, dia benar-benar penipu hina terbesar di dunia ini, sampah terendah dari semuanya. Demikian telah kujelaskan siapa yang merupakan sampah.

21. Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi brahmana.

22. Kini dengarkanlah, akan kuberikan suatu contoh. Ada seorang anak laki-laki dari kasta rendah yang bernama Matanga dari kasta Sopaka.

23. Dia mencapai puncak kejayaan. Dan sesudah itu, para ksatria, brahmana, dan orang-orang lain datang untuk melayaninya.

24. Setelah menghancurkan nafsu-nafsu duniawi, dia memasuki Jalan Mulia dan mencapai alam Brahma. Kasta tidak dapat mencegahnya terlahir di alam surgawi.

25. Para brahmana yang mengenal Veda dengan baik dan terlahir di keluarga yang hafal Kitab Veda, jika mereka kecanduan melakukan perbuatan-perbuatan jahat.

26. Mereka bukan hanya ternoda di dalam kehidupan ini saja; di dalam kehidupan yang akan datang pun mereka akan terlahir di dalam keadaan yang menderita. Kasta tidak dapat mencegah mereka ternoda atau terlahir di dalam keadaan yang menderita.’

27. (Di sini, bait 21 diulang)

Setelah Sang Buddha berbicara, brahmana Aggika Braradvaja berseru : ‘Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama, sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama! Sebagaimana orang menegakkan apa yang telah terjungkir balik, atau mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau memberikan sinar penerangan di dalam kegelapan, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat benda-benda, demikian pula Kebenaran telah dijelaskan oleh Yang Mulia Gotama dengan berbagai cara.
‘Oleh karena itu, saya berlindung pada Beliau, pada Dhamma-Nya, dan Sangha-Nya. Saya mohon Yang Mulia Gotama berkenan menerima saya sebagai siswa awam yang sejak saat ini telah menyatakan berlindung pada-Nya seumur hidup!’
Catatan

1. Juga disebut Aggika-Braradvaja Sutta
2. Dari no. 2 sampai 19 setiap bait berakhir dengan pengulangan: ‘dialah yang disebut sampah.’
3. Acuan awal ‘membegal’

http://www.dhammacakka.org/forum/showthread.php?t=5347&goto=nextnewest

Tirokuddha Sutta

Pelimpahan jasa tentunya sudah tidak asing lagi bagi umat Buddha yang
selalu melakukannya setelah melakukan perbuatan baik. Bahkan di zaman
kehidupan Sang Buddha, pelimpahan jasa ini sudah sering dilakukan karena
selain dapat membantu orang lain, juga dapat membawa manfaat bagi diri
kita sendiri.

Sewaktu Raja Bimbisara meminta agar jasa kebajikan pemberian dana kepada anggota Sangha itu dilimpahkan kepada leluhurnya (baca lebih lengkap di post dibawah ini), Sang Buddha mengucapkan syair Tirokudda Sutta sebagai berikut:

Diluar dinding mereka berdiri dan menanti,
dipersimpangan-persimpangan jalan,
mereka kembali kerumah yang dulu dihuninnya,
dan menanti di muka pintu,
tetapi bila diadakan pesta yang meriah,
dengan makanan dan minuman yang berlimpah,
ternyata tidak seorangpun yang ingat,
kepada makhluk-makhluk itu,
yang merupakan leluhur mereka.

Hanya mereka yang hatinya welas asih,

memberikan persembahan kepada sanak keluargannya,
berupa makanan dan minumanyang lezat,
baik dan disukai pad waktu mereka masih hidup

Semoga buah jasa-jasa baik kita,

melimpah kepada sanak keluarga yang telah meninggal,
semoga mereka bahagia.
Sanak keluarga kita yang sedang berkumpul ditempat ini,
dengan gembira akan memberikan restu mereka,
karena diberi makanan dan minuman yang berlimpah.

Semoga sanak keluargaku berusia panjang,

sebab karena merekalah kami memperoleh sesajian yang lezat ini

Karena kami diberi perhormatan yang tulus,

maka yang memberinya pasti akan memperoleh,
buah jasa yang setimpal,
karena disini tidak ada pertanian,
dan juga tidak ada peternakan,
tidak ada perdagangan,
juga tidak ada peredaran uang dan emas.
Sanak keluarga kita yang telah meninggal,
hidup disana dari pemberian kita disini.

Bagaikan air mengalir dari atas bukit,

turun kebawah untuk mencapai lembah yang kosong,
demikian pula sesajian yang diberikan,
dapat menolong sanak keluarga kita yang telah meninggal

Bagaikan sungai, bila airnya penuh,

akan mengalirkan airnya kelaut,
demikian pula sesajian yang diberikan,
dapat menolong sanak keluarga kita yang telah meninggal

“Ia memberikan kepadaku, ia bekerja untukku,

ia sanak keluargaku, ia sahabatku, kerabatku,
memberikan sesajian kepada mereka yang telah meninggal dunia,
dan mengingat kembali kepada apa yang biasa mereka lakukan,
bukan ratap tangis, bukan kesedihan hati,
bukan berkabung dengan cara apapun juga,
untuk menolong mereka yang telah meninggal dunia,
yang dilakukan sanak keluarga yang telah ditinggalkan

Tetapi bila persembahan ini dengan penuih bakti,

diberikan kepada sangha atas nama mereka,
dapat menolong mereka untuk waktu yang panjang,
dikemudian hari maupun pada saat ini

Telah diperlihatkan hakikat sesungguhnya,

Sesajian bagi sanak keluarga,
dan bagaimana penghormatan yang telah bernilai dapat diberikan kepada
mereka,
serta bagaimana para bhikkhu mendapatkan kekuatan,
dan bagaimana anda sendiri dapat menimbun,
buah karma yang baik


Demikian syair dari Tirokudda Sutta yang pernah diucapkan oleh Sang
Buddha. Setelah membaca Sutta ini dengan teliti, kita tentu dapat memetik
manfaat yang besar, yaitu kita tidak seharusnya meratap-tangis, sedih,
berkabung, membakar emas dan perak ataupun memberikan sesajian kepada sanak keluarga atau teman kita yang telah meninggal, tetapi yang dapat membantu mereka hanyalah persembahan yang diberikan kepada Sangha atas nama alm.

''Pada suatu hari, Raja Bimbisara berdana makanan kepada Sang Buddha dan siswa-siswa Beliau. Tapi setelah berdana makan kepada Sang Buddha dan siswa-siswa Beliau, raja lupa melakukan pelimpahan jasa. Raja lupa melimpahkan jasa kebajikannya kepada sanak saudaranya yang terlahir di alam peta, menjadi mahkluk peta selama 92 kalpa. Pada waktu itu raja sibuk memikirkan ”tempat” untuk Sang Buddha dan siswa-siswa-Nya, tempat untuk bervassa.

Malam harinya, Raja Bimbisara tidak bisa tidur, beliau mendengar suara-suara jeritan yang mengerikan, teriakan-teriakan putus asa yang mengerikan. Sepanjang malam raja tidak bisa tidur hingga pagi hari.

Pagi harinya, karena tidak bisa tidur semalam suntuk, maka wajah raja menjadi pucat pasi, beliau terganggu oleh jeritan-jeritan putus asa yang mengerikan, suara-suara jeritan dari alam peta.

Raja pergi menemui Sang Buddha, raja menceritakan pengalamannya mendengarkan suara-suara jeritan putus asa dan bertanya kepada Sang Buddha: ”Bhante, apakah yang akan terjadi pada diri saya dan ciri-ciri apakah itu, yang mengganggu saya sepanjang malam? Apakah ini suatu pertanda yang buruk bagi saya sebagai raja, Bhante?”

Sang Buddha dengan tenang memberi jawaban kepada raja: ”Raja yang agung, tidak akan terjadi apapun pada dirimu raja! Yang terjadi sebenarnya adalah: sanak saudaramu yang terlahir di alam peta menjadi mahkluk peta, selama sembilan puluh dua kalpa, mereka telah lama menunggu dan menurut kamma mereka, sudah waktunya mereka mendapatkan pelimpahan jasa.”

”Kalau demikian halnya, apakah mereka bisa mendapatkan pelimpahan jasa hari ini?” Raja bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha memberikan jawaban bahwa: ”Hal itu bisa dilakukan hari ini.”

Raja Bimbisara menjadi semangat dan mengundang Sang Buddha serta bhikkhu Saïgha untuk menerima dana makan di istana raja, Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri.

Raja kembali ke istana, memberi instruksi kepada pelayan istana untuk mempersiapkan dana makanan yang besar dan meriah kepada Sang Buddha dan siswa-siswa Beliau. Beraneka makanan dan minuman dipersiapkan oleh raja, juga kain jubah serta tempat tinggal untuk murid-murid-Nya. Setelah semuanya siap, raja mempersilahkan Sang Buddha dan siswa-siswa-Nya memasuki ruang istana.

Ketika sampai di ruang istana raja, Sang Buddha dengan menggunakan kekuatan batin-Nya, mampu membuka tabir sehingga raja bisa melihat mahkluk peta yang jumlahnya ribuan, mereka berdiri berderet-deret dengan tubuh kurus kering tinggal kulit pembalut tulang, urat-urat nadinya menonjol keluar, rambut kusut seperti ijuk – sungguh suatu pemandangan yang mengerikan. Raja merasa kasihan dengan mahkluk-mahkluk peta tersebut.

Oleh karena itu, raja mulai melayani Sang Buddha dengan mempersembahkan air, dengan pikeran: ”Semoga jasa dari mempersembahkan air ini, jasanya melimpah pada sanak saudaraku yang terlahir di alam peta. Ketika air itu disentuh dan diterima oleh Sang Buddha, saat itu juga muncul keajaiban: di alam peta muncul kolam-kolam air yang dalam, persegi empat, airnya jernih, dan di sana juga tumbuh bunga teratai. Raja bisa melihat semua kejadian di alam peta – sekarang mahkluk peta bisa minum sepuasnya dan mandi sepuasnya. Tubuh mahkluk peta sekarang menjadi segar.

Raja menjadi semakin bersemangat, raja kemudian mempersembahkan bubur beras kepada Sang Buddha, ketika bubur beras itu disentuh dan diterima oleh Sang Buddha, maka di alam peta seketika muncul makanan-makanan surgawi yang lezat-lezat. Sehingga tubuh mahkluk peta berubah menjadi segar, sehat dan padat, berisi dan bercahaya. Mahkluk peta telah berubah menjadi mahkluk surgawi, oleh karena itu, raja semakin bersemangat mempersembahkan kain jubah dan tempat tinggal.

Sekarang mahkluk peta berubah menjadi mahkluk dewa dan dewi dengan istana yang megah. Raja merasa puas dengan kemuliaan yang telah dialami oleh sanak saudaranya menjadi dewa-dewi yang cemerlang".
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
 

Ambaṭṭha Sutta Tentang Ambattha Merendahkan Kesombongan

[87] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang mengunjungi Kosala disertai oleh lima ratus bhikkhu, dan ia datang ke suatu desa Brahmana Kosala bernama Icchānankala. Dan Beliau menetap di hutan belantara Icchānankala. Pada waktu itu, Brahmana Pokkharasāti sedang menetap di Ukkhaṭṭha, suatu tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.1

1.2. Dan Pokkharasāti mendengar bahwa: ‘Petapa Gotama, putra suku Sakya, yang telah meninggalkan suku Sakya, ... sedang menetap di hutan belantara Icchānankala. Dan sehubungan dengan Yang Terberkahi, telah menyebar berita: ”Yang Terberkahi adalah seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, seorang Buddha, Bhagavā Yang Terberkahi.” Beliau menyatakan kepada dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, para petapa dan Brahmana bersama dengan para raja dan umat manusia, telah mengetahui dengan pengetahuan-Nya sendiri. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan Beliau memperlihatkan kehidupan suci yang sempurna, murni sepenuhnya. Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahat demikian.’

1.3. Sekarang, pada masa itu Pokkharasāti memiliki seorang murid, pemuda Ambaṭṭha, yang adalah seorang murid Veda, yang mengetahui mantra-mantra, sempurna dalam Tiga Veda, pembabar terampil dari peraturan-peraturan dan ritual-ritual, pengetahuan suara-suara dan makna-makna dan, ke lima, tradisi oral, lengkap dalam filosofi2 dan dalam tanda-tanda3 Manusia Luar Biasa, diakui dan diterima oleh gurunya dalam Tiga Veda dengan kata-kata: ‘Apa yang kuketahui, engkau juga mengetahuinya; apa yang engkau ketahui, aku juga mengetahuinya.’

1.4. Dan Pokkharasāti berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Ambaṭṭha, anakku, Petapa Gotama ... sedang menetap di hutan belantara Icchānankala. Dan sehubungan dengan Yang Terberkahi, suatu berita baik telah menyebar .... Sekarang pergilah engkau menemui petapa Gotama dan cari tahu apakah berita ini benar atau tidak, dan apakah Yang Mulia Gotama adalah seperti apa yang mereka katakan atau tidak. Untuk itu, kita akan menguji Yang Mulia Gotama.’

1.5. ‘Guru, bagaimanakah aku mencari tahu apakah berita itu benar atau tidak, atau apakah Yang Mulia Gotama adalah seperti yang mereka katakan atau tidak?’ ‘Menurut tradisi dari mantra kita, Ambaṭṭha, Manusia Luar Biasa yang memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa hanya memiliki dua kemungkinan. Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, ia akan menjadi seorang penguasa, seorang Raja pemutar-roda hukum kebaikan,4 penakluk empat penjuru, yang menegakkan keamanan negerinya, dan memiliki tujuh pusaka,5 yaitu: Pusaka-Roda, Pusaka-Gajah, Pusaka-Kuda, Pusaka-Permata, Pusaka-Perempuan, Pusaka-Perumah tangga, dan yang ke tujuh, Pusaka-Penasihat. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang adalah pahlawan-pahlawan, bersosok kuat, penakluk bala tentara musuh. Ia berdiam setelah menaklukkan tanah yang dikelilingi oleh lautan tanpa menggunakan tongkat atau pedang, melainkan dengan hukum. Tetapi jika ia meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi seorang Arahat, seorang Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna, seorang yang menarik selubung dunia.6 Dan, Ambaṭṭha, aku adalah pemberi mantra, dan engkau adalah penerima.’

1.6. ‘Baiklah, Guru.’ Ambaṭṭha menjawab Pokkharasāti, dan ia bangkit, berjalan dengan sisi kanannya menghadap Pokkharasāti, naik ke atas keretanya yang ditarik oleh seekor kuda betina dan, disertai sejumlah pemuda, pergi menuju hutan belantara Icchānankala. Ia berkendara sejauh yang dimungkinkan oleh keretanya, kemudian turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki.

1.7. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Ambaṭṭha mendekati mereka dan berkata: ‘Di manakah Yang Mulia Gotama sekarang? Kami datang untuk bertemu dengan Yang Mulia Gotama.’

1.8. Para bhikkhu berpikir: ‘Ini adalah Ambaṭṭha, seorang pemuda dari keluarga yang baik dan seorang murid dari seorang Brahmana termasyhur, Pokkharasāti. Bhagavā tidak akan keberatan berbincang-bincang dengan seorang pemuda seperti ini.’ Dan mereka berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Itu adalah tempat tinggal Beliau, yang pintunya tertutup. Pergilah dengan tenang ke sana, naiklah ke terasnya tanpa terburu-buru, berdehemlah, dan ketuklah gerendel pintunya. Bhagavā akan membuka pintu untukmu.’

1.9. Ambaṭṭha pergi ke tempat tinggal Sang Bhagavā dan naik ke teras, berdehem, dan mengetuk. Sang Bhagavā membuka pintu, dan Ambaṭṭha masuk. Para pemuda itu masuk, saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan duduk di satu sisi. Tetapi Ambaṭṭha berjalan mondar-mandir sementara Sang Bhagavā duduk di sana, [90] mengucapkan kata-kata sopan yang tidak jelas, dan kemudian berdiri sambil berbicara di hadapan Sang Bhagavā.

1.10. Dan Sang Bhagavā berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Baiklah, Ambaṭṭha, apakah engkau juga bersikap seperti ini ketika engkau berbicara kepada para Brahmana yang terhormat dan terpelajar, guru dari para guru, seperti sikapmu pada-Ku, berjalan dan berdiri sementara Aku duduk, dan mengucapkan kata-kata sopan yang tidak jelas?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama. Seorang Brahmana harus berjalan dengan Brahmana yang berjalan, berdiri dengan Brahmana yang berdiri, duduk dengan Brahmana yang duduk, dan berbaring dengan Brahmana yang berbaring. Tetapi sehubungan dengan para petapa kecil gundul, rendah, kotoran dari kaki Brahma, kepada mereka adalah cukup untuk berbicara seperti yang kulakukan kepada Yang Mulia Gotama.’

1.11. ‘Tetapi, Ambaṭṭha, engkau datang ke sini mencari sesuatu. Apa pun itu yang membuatmu datang ke sini, engkau harus mendengarkan dengan penuh perhatian untuk mengetahuinya. Ambaṭṭha, engkau belum menyempurnakan latihanmu. Keangkuhanmu yang merasa terlatih, bukanlah apa-apa, melainkan hanyalah kurangnya pengalaman.’

1.12. Tetapi Ambaṭṭha marah dan tidak senang disebut tidak terlatih, dan ia memancing kemarahan Sang Bhagavā dengan kutukan dan hinaan. Berpikir: ‘Petapa Gotama membangkitkan kebencianku’, ia berkata: ‘Yang Mulia Gotama, Para orang Sakya adalah orang yang galak, berbicara kasar, mudah marah, [91] dan kejam. Sebagai orang yang berasal rendah, sebagai orang rendah, mereka tidak menghormati, memuliakan, menghargai, memuji, atau memberi hormat kepada para Brahmana. Sehubungan dengan hal ini, adalah tidak pantas ... bahwa mereka tidak memberi hormat kepada para Brahmana.’ Ini adalah pertama kalinya Ambaṭṭha menuduh orang Sakya sebagai orang rendah.

1.13. ‘Tetapi, Ambaṭṭha, apakah yang telah dilakukan orang-orang Sakya kepadamu?’

‘Yang Mulia Gotama, suatu ketika aku pergi ke Kapilavatthu untuk suatu urusan mewakili guruku, Brahmana Pokkharasāti, dan aku datang ke aula pertemuan orang-orang Sakya. Dan pada saat itu, banyak orang-orang Sakya yang duduk di tempat duduk yang tinggi di dalam aula pertemuan mereka itu, saling menepuk satu sama lain dengan jari mereka, tertawa dan bermain-main bersama, dan sepertinya mereka mempermainkan aku, dan tidak ada seorang pun yang mempersilakan aku duduk. Sehubungan dengan hal ini, adalah tidak pantas bahwa mereka tidak memberi hormat kepada para Brahmana.’ Ini adalah ke dua kalinya Ambaṭṭha menuduh orang-orang Sakya sebagai orang rendah.

1.14. ‘Tetapi Ambaṭṭha, bahkan burung puyuh, burung kecil itu, boleh mengatakan apa pun di sarangnya sendiri. Kapilavatthu adalah wilayah Sakya, Ambattha. Mereka tidak pantas menerima penghinaan karena persoalan kecil itu.’

‘Yang Mulia Gotama, ada empat kasta:7 Khattiya, Brahmana, pedagang, dan pekerja. Dan dari empat kasta ini, tiga – Khattiya, pedagang, dan pekerja – semuanya tunduk pada Brahmana. Sehubungan dengan hal ini, [92] adalah tidak pantas bahwa mereka tidak memberi hormat kepada para Brahmana.’ Ini adalah ke tiga kalinya Ambaṭṭha menuduh orang-orang Sakya sebagai orang rendah.

1.15. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: ‘Anak muda ini terlalu jauh menghina suku Sakya. Bagaimana jika aku menanyakan nama sukunya?’ Maka Beliau berkata: ‘Ambaṭṭha, dari suku apakah engkau?’ ‘Aku adalah seorang Kaṇhāyanā, Yang Mulia Gotama.’

‘Ambaṭṭha, di masa lalu, menurut orang-orang yang mengingat silsilah para leluhur, suku Sakya adalah majikan, dan engkau adalah keturunan dari seorang budak perempuan dari orang-orang Sakya. Karena orang-orang Sakya menganggap Raja Okkāka sebagai leluhurnya. Pada suatu ketika, Raja Okkāka, yang sangat mencintai permaisurinya, yang ingin mengalihkan kerajaannya kepada putranya, mengusir putra-putranya yang lebih tua dari kerajaan – Okkāmukha, Karaṇḍu, Hatthinīya, dan Sīnipura. Dan orang-orang ini, karena terusir, membangun rumah mereka di lereng Himālaya, di sebelah kolam teratai di mana terdapat hutan pohon ek.8 Khawatir akan mencemari keturunan, mereka menikahi saudara-saudara perempuan mereka sendiri. Kemudian Raja Okkāka bertanya kepada para menteri dan penasihatnya: “Di manakah para pangeran menetap sekarang?” dan mereka memberitahunya. Mendengar berita ini, Raja Okkāka berseru: [93] “Mereka kuat bagaikan kayu jati (sāka), para pangeran ini, mereka adalah Sakya sejati!”9 dan demikianlah bagaimana suku Sakya memperoleh namanya yang termasyhur. Dan Raja itu adalah leluhur dari orang-orang Sakya.’
1.16. ‘Raja Okkāka memiliki seorang budak perempuan yang bernama Dīsa, yang melahirkan seorang bayi hitam. Makhluk hitam, ketika ia lahir, ia berseru: “Cuci aku, ibu! Mandikan aku, ibu! Bebaskan aku dari kotoran ini, dan aku akan memberimu keuntungan!” Karena, Ambaṭṭha, seperti halnya orang-orang sekarang menggunakan istilah hantu (pisāca) sebagai istilah hinaan, demikian pula pada masa itu, mereka mengatakan hitam (kaṇha). Dan mereka berkata: “Segera setelah ia lahir, ia berbicara. Ia terlahir sebagai kaṇha, hantu!” demikianlah di masa lalu ... para Sakya adalah majikan, dan engkau adalah keturunan dari gadis budak orang Sakya.’

1.17. Mendengar hal ini, seorang pemuda berkata: “Yang Mulia Gotama, jangan keterlaluan menghina Ambaṭṭha dengan cerita tentang keturunan seorang gadis-budak: Ambaṭṭha terlahir mulia, seorang dari keluarga terhormat, ia sangat terpelajar, ia sopan, seorang pelajar, mampu mempertahankan pendapatnya sendiri dalam diskusi ini dengan Yang Mulia Gotama!”

1.18. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada pemuda itu: ‘Jika engkau menganggap Ambaṭṭha terlahir rendah, tidak berasal dari keluarga terhormat, tidak terpelajar, [94] tidak sopan, bukan pelajar, tidak mampu mempertahankan pendapatnya sendiri dalam diskusi ini dengan petapa Gotama, maka biarlah Ambaṭṭha tetap diam, dan engkau melanjutkan diskusi ini dengan-Ku. Tetapi jika engkau menganggap ia ... mampu mempertahankan pendapatnya sendiri, maka engkau diamlah, dan biarkan ia berdiskusi dengan-Ku.’

1.19. ‘Ambaṭṭha terlahir-mulia, Yang Mulia Gotama ... kami akan diam, ia akan melanjutkan.’

1.20. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Ambaṭṭha, aku mempunyai satu pertanyaan mendasar untukmu, yang tidak akan suka engkau jawab. Jika engkau tidak menjawab, atau menghindari pertanyaan, jika engkau berdiam diri atau pergi, maka kepalamu akan pecah menjadi tujuh keping. Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Pernahkah engkau mendengar dari para Brahmana tua dan terhormat, guru dari para guru, dari mana asalnya suku Kaṇhāyanā, atau siapakah leluhurnya?’ atas pertanyaan ini, Ambaṭṭha berdiam diri. Sang Bhagavā bertanya untuk ke dua kalinya. [95] Ambaṭṭha masih berdiam diri. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Jawab pertanyaan-Ku sekarang, Ambaṭṭha, ini bukan waktunya untuk berdiam diri. Siapa pun, Ambaṭṭha, yang tidak menjawab pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Sang Tathāgata untuk ke tiga kalinya, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping.’10

1.21. Dan pada saat itu, yakkha Vajirapāni,11 memegang pentungan besi besar, menyala dan berkilauan, melayang di angkasa tepat di atas Ambaṭṭha, berpikir: ‘Jika pemuda Ambaṭṭha ini tidak menjawab pertanyaan wajar yang diajukan oleh Yang Terberkahi untuk ke tiga kalinya, aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping!’ Sang Tathāgata melihat Vajirapāni, demikian pula Ambaṭṭha. Dan melihat pemandangan itu, Ambaṭṭha ketakutan dan kehilangan akal, bulu badannya berdiri, dan ia mencari perlindungan, tempat bernaung, dan keselamatan dari Sang Bhagavā. Merangkak mendekati Sang Bhagavā, ia berkata: ‘Apakah yang Yang Mulia Gotama tanyakan? Sudilah Yang Mulia Gotama mengulangi pertanyaannya!’ ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Pernahkah engkau mendengar tentang siapakah leluhur dari suku Kaṇhayana?’ ‘Ya, aku pernah mendengarnya, seperti yang Yang Mulia Gotama katakan, itulah asal mula suku Kaṇhāyanā, ia adalah leluhur kami.’

1.22. Mendengar hal itu, para pemuda itu berteriak riuh: ‘Jadi Ambaṭṭha terlahir rendah, bukan berasal dari keluarga yang mulia, terlahir dari seorang gadis-budak dari orang-orang Sakya, dan orang-orang Sakya adalah majikan Ambaṭṭha! Kami telah menghina Petapa Gotama, menganggap Beliau tidak mengatakan kebenaran!’

1.23. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: ‘Ini keterlaluan, [96] cara para pemuda ini menghina Ambaṭṭha sebagai putra dari seorang gadis-budak. Aku harus mengeluarkannya dari situasi ini.’ Maka Beliau berkata kepada para pemuda itu: ‘Jangan keterlaluan menghina Ambaṭṭha sebagai putra seorang gadis-budak! Kaṇha itu adalah seorang bijaksana yang sakti.12 Ia pergi ke negeri selatan,13 mempelajari mantra dari para Brahmana di sana, dan kemudian mendatangi Raja Okkāka dan meminta putrinya, Maddarūpi. Dan Raja Okkāka, marah dan berseru: “Jadi, orang ini, putra dari seorang gadis-budak, menginginkan putriku!” dan ia memasang anak panah pada busurnya. Tetapi ia tidak mampu menembakkan anak panah itu maupun melepaskannya.14 Kemudian para menteri dan penasihat mendatangi sang bijaksana Kaṇha dan berkata: “Ampuni Raja, Tuan, ampuni Raja!”

‘“Raja akan selamat, tetapi jika ia melepaskan anak panahnya ke bawah, bumi ini akan gempa sejauh batas kerajaan ini!”’

‘“Tuan, Ampuni Raja, ampuni tanah ini!”’

‘“Raja dan tanah akan selamat, tetapi jika ia melepaskan anak panah itu ke atas, hingga batas kerajaannya, dewa tidak akan menurunkan hujan selama tujuh tahun.”15’

‘“Tuan, Ampuni Raja, ampuni tanah ini, dan semoga dewa memberikan hujan!”’

‘“Raja dan tanah akan selamat, dan dewa akan memberikan hujan, tetapi jika raja mengarahkan anak panah ini ke pangeran mahkota, pangeran akan baik-baik saja.”’

‘Maka para menteri berseru: “Biarkan Raja Okkāka membidikkan anak panahnya kepada Pangeran mahkota, pangeran akan baik-baik saja!” Raja melakukannya, dan pangeran tidak terluka, kemudian Raja Okkāka, takut akan hukuman dari para dewa!,16 memberikan putrinya, Maddarūpi. Karena itu, anak-anak muda, jangan keterlaluan menghina Ambaṭṭha sebagai putra seorang gadis-budak. Kaṇha itu adalah seorang bijaksana sakti.’

1.24. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Ambaṭṭha, bagaimana menurutmu? Seandainya seorang pemuda Khattiya menikah dengan seorang gadis Brahmana, dan lahir seorang anak dari pasangan itu. Apakah putra dari pemuda Khattiya dan gadis Brahmana itu akan menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Ya, ia akan menerimanya, Yang Mulia Gotama.’

‘Apakah mereka akan mengizinkannya makan pada ritual pemakaman, pada upacara persembahan nasi, pada upacara pengorbanan, atau sebagai seorang tamu?’ ‘Ya, mereka akan mengizinkannya, Yang Mulia Gotama.’

‘Apakah mereka akan menutupi atau tidak menutupi para perempuan mereka?’ ‘Tidak menutupi, Yang Mulia Gotama.’

‘Tetapi apakah para Khattiya akan memercikkannya dengan penahbisan Khattiya?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotana.’

‘Mengapa tidak?’ ‘Karena, Yang Mulia Gotama, ia tidak terlahir-mulia dari pihak ibunya.’

1.25. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Seandainya seorang pemuda Brahmana menikah dengan seorang gadis Khattiya, dan lahir seorang anak dari pasangan itu. Apakah putra dari pemuda Brahmana dan gadis Khattiya itu menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Ya, ia akan menerimanya, Yang Mulia Gotama.’ .... (seperti pada paragraf 1.24) [98] ‘Tetapi apakah para Khattiya akan memercikkannya dengan penahbisan Khattiya?’

‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’ ‘Mengapa tidak?’ ‘Karena, Yang Mulia Gotama, ia tidak terlahir-mulia dari pihak ayahnya.’

1.26. ‘Maka, Ambaṭṭha, para Khattiya, melalui seorang laki-laki menikahi seorang perempuan atau seorang perempuan menikahi seorang laki-laki, adalah lebih tinggi daripada para Brahmana. Bagaimanakah menurutmu, Ambaṭṭha? Ambil kasus seorang Brahmana yang, karena alasan tertentu, dicukur rambutnya oleh para Brahmana, dihukum dengan sekantung debu dan diusir dari suatu negeri atau kota. Apakah ia menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Apakah mereka mengizinkannya untuk makan ... sebagai tamu?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Apakah mereka akan mengajarinya mantra, atau tidak?’ ‘Mereka tidak akan mengajarinya, Yang Mulia Gotama.’

1.27. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Ambil kasus seorang Khattiya yang, ... dicukur rambutnya oleh para Khattiya, ... dan diusir dari suatu negeri atau kota. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Ia akan menerimanya, Yang Mulia Gotama.’ .... (seperti paragraf 24) ‘Apakah mereka akan menutupi atau tidak menutupi para perempuan mereka?’ ‘Tidak menutupi, Yang Mulia Gotama.’

‘Tetapi Khattiya itu telah mencapai penghinaan yang paling berat [99] hingga ... ia diusir dari negeri atau kotanya. Jadi, bahkan jika seorang Khattiya menderita penghinaan berat, ia lebih tinggi dan para Brahmana lebih rendah.’

1.28. ‘Ambaṭṭha, syair ini dinyanyikan oleh Brahmā Sanankumāra:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta; Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para Dewa dan manusia.”

‘Syair ini dinyanyikan dengan benar, tidak salah, diucapkan dengan benar, tidak salah, berhubungan dengan manfaat, bukan tidak berhubungan. Dan Ambaṭṭha, Aku juga mengatakan hal ini:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta; Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para Dewa dan manusia.”’

2.1. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, apakah perilaku, apakah pengetahuan?’

‘Ambaṭṭha, bukan dari sudut pandang pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan, suatu reputasi yang berdasarkan kelahiran dan suku dinyatakan, juga bukan dari kesombongan yang mengatakan: “Engkau berharga bagiku, engkau tidak berharga bagiku!” Karena di mana ada memberi, menerima, atau memberi dan menerima dalam pernikahan, di sana selalu ada pembicaraan dan keangkuhan ini .... Tetapi mereka yang diperbudak oleh hal-hal demikian adalah jauh dari pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan, [100] yang dicapai dengan meninggalkan semua hal tersebut!’

2.2. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, apakah perilaku, apakah pengetahuan?’

‘Ambaṭṭha, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, māra dan Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma yang indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.17 Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41-62); ia menjaga pintu-pintu indrianya, dan seterusnya (Sutta 2, paragraf 64-75); mencapai empat jhāna (Sutta 2, paragraf 75-82). Demikianlah ia mengembangkan perilaku. Ia mencapai berbagai pandangan terang (Sutta 2, paragraf 83-95), dan lenyapnya kekotoran (Sutta 2, paragraf 97) ... dan lebih dari ini, tidak ada lagi pengembangan yang lebih jauh dari pengetahuan dan perilaku yang lebih tinggi atau lebih sempurna.’

2.3. ‘Tetapi, Ambaṭṭha, dalam mengejar pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan [101] terdapat empat jalan kegagalan.18 Apakah itu? Pertama, seorang petapa atau Brahmana yang belum berhasil mendapatkan19 pencapaian tanpa tandingan ini, membawa pikulannya20 dan masuk ke hutan dan berpikir: “Aku akan hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin.” Tetapi dengan cara ini, ia hanya menjadi seorang pelayan dari ia yang telah mencapai. Ini adalah jalan kegagalan pertama. Kemudian, seorang petapa atau Brahmana ..., karena tidak mampu hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin, mengambil sekop dan keranjang, dan berpikir: “Aku akan hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran.”21 .... Ini adalah jalan kegagalan ke dua. Kemudian lagi, seorang petapa atau Brahmana, karena tidak mampu hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran, membuat api di perbatasan desa atau kota dan duduk memerhatikan kobaran api22 .... Ini adalah jalan kegagalan ke tiga. Kemudian lagi, seorang petapa atau Brahmana, karena tidak mampu memerhatikan kobaran api, [102] mendirikan rumah dengan empat pintu di persimpangan jalan dan berpikir: “Petapa atau Brahmana mana pun yang datang dari empat penjuru, aku akan menghormatinya dengan segenap tenaga dan kemampuanku.” Tetapi dengan cara ini, ia hanya menjadi seorang pelayan dari ia yang telah mencapai pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan. Ini adalah jalan kegagalan ke empat.’

2.4. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Apakah engkau dan gurumu hidup sesuai dengan pengetahun dan perilaku yang tanpa tandingan?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama! Siapakah guruku dan aku dibandingkan dengan mereka itu? Kami jauh dari sana!’ ‘Baiklah, Ambaṭṭha, dapatkah engkau dan gurumu, karena tidak mampu mencapai ini ..., pergi dengan membawa pikulanmu masuk ke dalam hutan, bermaksud untuk hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Baiklah, Ambaṭṭha, dapatkah engkau dan gurumu, karena tidak mampu mencapai ini ..., hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran, ... duduk memerhatikan api, [103] ... mendirikan rumah ...?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

2.5. ‘Jadi, Ambaṭṭha, bukan saja engkau dan gurumu tidak mampu mencapai pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan, tetapi bahkan empat jalan kegagalan pun masih diluar jangkauan kalian. Namun engkau dan gurumu, Brahmana Pokkharasāti, berani mengucapkan kata-kata ini: “Para petapa kecil gundul ini, rendah, kotoran dari kaki Brahma, pembicaraan apakah yang dapat mereka sampaikan kepada para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda?” – bahkan engkau tidak mampu melakukan tugas-tugas dari seorang yang gagal. Lihat, Ambaṭṭha, betapa gurumu telah mengecewakan engkau!’

2.6. ‘Ambaṭṭha, Brahmana Pokkharasāti hidup dari belas kasihan dan bantuan Raja Pasenadi dari Kosala. Tetapi Raja tidak mengizinkannya untuk menghadap secara langsung. Ketika ia berbicara dengan Raja, mereka dipisahkan oleh sehelai tirai. Mengapa Raja tidak mengizinkan pertemuan langsung dengan seorang yang telah ia anugerahi sumber penghasilan yang layak? Lihat bagaimana gurumu telah mengecewakan engkau!’

2.7. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Misalkan Raja Pasenadi sedang duduk di punggung seekor gajah atau kuda, atau sedang berdiri di atas keretanya, berdiskusi dengan para menterinya dan para pangeran mengenai sesuatu. [104] Dan misalkan ia harus menyingkir karena beberapa pekerja atau pembantu pekerja datang dan berdiri di tempatnya. Dan sambil berdiri di sana, ia berkata: “Ini adalah apa yang dikatakan oleh Raja Pasenadi dari Kosala!” Apakah ia mengucapkan kata-kata Raja, seolah-olah ia sama dengan Raja?’ ‘Tentu tidak, Yang Mulia Gotama.’

2.8. ‘Baiklah, Ambaṭṭha, ini adalah hal yang serupa. Mereka yang, seperti engkau katakan, para Brahmana kelas satu, pencipta dan pembabar mantra-mantra, yang syair-syair kunonya dibacakan, diucapkan, dan dikumpulkan oleh para Brahmana masa kini – Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, Bhagu23 - yang mantranya dikatakan telah diwariskan kepadamu dan gurumu; namun engkau tidak serta merta menjadi seorang bijaksana atau seorang yang menjalankan praktik dari seorang bijaksana – hal demikian adalah mustahil.’

2.9. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Apa yang engkau dengar dari yang dikatakan oleh para Brahmana yang terhormat, tua, guru dari para guru? Para bijaksana kelas satu ..., Aṭṭhaka, ... Bhagu – apakah mereka bersenang-senang, mandi dengan baik, menggunakan wangi-wangian, rambut dan janggutnya terpotong rapi, berhiaskan karangan bunga dan kalung bunga, berpakaian jubah putih, menikmati lima kenikmatan-indria dan menyukainya, seperti yang dilakukan oleh engkau dan gurumu?’ [105] ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

2.10. ‘Atau apakah mereka memakan nasi khusus yang baik dengan noda-noda hitam yang telah dibersihkan, dengan berbagai sup dan kari, seperti yang dimakan oleh engkau dan gurumu?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Atau apakah mereka menghibur diri dengan para perempuan dengan pakaian berlipat dan berumbai, seperti yang engkau dan gurumu lakukan?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Atau apakah mereka berkeliling naik kereta yang ditarik oleh kuda betina dengan ekor dikepang, yang mereka kendalikan dengan tongkat-kendali panjang?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Atau apakah mereka di kota-kota yang dibentengi dengan pagar dan barikade, dikawal oleh orang-orang berpedang panjang ...?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’

‘Jadi, Ambaṭṭha, engkau dan gurumu bukanlah orang bijaksana atau orang yang berlatih di jalan seorang bijaksana. Dan sekarang, sehubungan dengan keraguan dan kebingunganmu sehubungan dengan-Ku, kita akan menjernihkan permasalahan ini dengan pertanyaanmu dan jawaban-Ku.’

2.11. Kemudian, turun dari tempat tinggalnya, Sang Bhagavā mulai berjalan mondar-mandir, dan Ambaṭṭha melakukan hal yang sama. Dan sewaktu ia berjalan bersama dengan Sang Bhagavā, Ambaṭṭha memerhatikan tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Dan ia dapat melihat seluruhnya kecuali [106] dua. Ia ragu-ragu dan bingung sehubungan dengan dua tanda ini; ia tidak dapat memutuskan atau yakin akan alat kelamin yang terselubung dan lidah yang panjang.

2.12. Dan Sang Bhagavā, menyadari keragu-raguannya, mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga Ambaṭṭha dapat melihat alat kelamin-Nya yang terselubung, dan kemudian, menjulurkan lidah-Nya, ia menjulurkan keluar untuk menjilat kedua telinga-Nya dan kedua cuping hidung-Nya, dan kemudian menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya. Kemudian Ambaṭṭha berpikir: ‘Petapa Gotama ini memiliki seluruh tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa, lengkap dan tidak ada yang kurang.’ Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, bolehkah aku pergi sekarang? Aku mempunyai banyak urusan, banyak yang harus dilakukan.’ ‘Ambaṭṭha, lakukanlah apa yang engkau anggap baik.’ Maka Ambaṭṭha naik ke atas keretanya yang ditarik oleh kuda-kuda betina dan pergi.

2.13. Sementara itu, Brahmana Pokkharasāti berada di luar rumahnya dan sedang duduk di tamannya bersama banyak Brahmana, menunggu Ambaṭṭha. Kemudian Ambaṭṭha datang ke taman itu. Ia berkendara sejauh yang dimungkinkan oleh keretanya, kemudian turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat di mana Pokkharasāti berada, memberikan salam hormat, dan duduk di satu sisi. Kemudian Pokkharasāti berkata:

2.14. ‘Baiklah, anakku, apakah engkau bertemu dengan Yang Mulia Gotama?’ ‘Aku bertemu dengan-Nya, Guru.’

‘Dan apakah Yang Mulia Gotama seperti [107] yang diberitakan, dan bukan sebaliknya? Dan apakah ia memiliki ciri-ciri demikian, dan bukan sebaliknya?’ ‘Guru, Beliau adalah seperti yag diberitakan, dan ia memiliki ciri-ciri demikian, dan bukan sebaliknya. Ia memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar biasa, semuanya lengkap, tidak ada yang kurang.’

‘Tetapi apakah terjadi pembicaraan antara engkau dengan petapa Gotama?’ ‘Ada, Guru.’

‘Dan tentang apakah pembicaraan itu?’ Maka Ambaṭṭha menceritakan kepada Pokkharasāti semua yang terjadi antara Sang Bhagavā dan dirinya.
2.15. Mendengar cerita ini Pokkharasāti berseru: ‘Baiklah, engkau murid kecil yang cerdas, seorang bijaksana yang pintar, seorang ahli dalam Tiga Veda! Siapa pun yang melakukan urusannya seperti itu akan, saat ia meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, pergi menuju alam bawah, menuju jalan jahat, menuju kehancuran, menuju neraka! Engkau telah menumpuk hinaan pada Yang Mulia Gotama, sebagai akibatnya, Beliau akan memberikan lebih banyak lagi hal-hal yang melawan kita! Engkau murid kecil yang cerdas ...!’ Ia begitu marah dan murka sehingga ia menendang Ambaṭṭha, dan ingin segera pergi menjumpai Sang Bhagavā. [108]

2.16. Tetapi para Brahmana berkata: ‘Sudah sangat larut, Tuan, untuk pergi menjumpai petapa Gotama hari ini. Yang Mulia Pokkharasāti dapat pergi menjumpai-Nya besok.’

Kemudian Pokkharasāti, setelah menyiapkan makanan-makanan yang keras dan lunak di rumahnya, pergi dengan diterangi oleh cahaya obor dari Ukkaṭṭha menuju hutan Icchānankala. Ia pergi dengan mengendarai kereta sejauh yang dimungkinkan, kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat Sang Bhagavā berada. Setelah saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan berkata:

2.17. ‘Yang Mulia Gotama, apakah murid kami, Ambaṭṭha, datang menjumpai-Mu? ‘Ya, ia menjumpai-Ku, Brahmana.’ ‘Dan apakah terjadi pembicaraan antara kalian?’ ‘Ya, kami berbicara.’ ‘Dan tentang apakah pembicaraan itu?’

Kemudian Sang Bhagavā menceritakan kepada Pokkharasāti semua yang terjadi antara Beliau dan Ambaṭṭha. Mendengar hal ini, Pokkharasāti berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, Ambaṭṭha hanyalah seorang pemuda bodoh. Sudilah Yang Mulia Gotama memaafkannya.’ ‘Brahmana, semoga Ambaṭṭha bahagia.’ [109]

2.18-19. Kemudian Pokkharasāti mencari tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā dan ia dapat melihat seluruhnya kecuali dua: alat kelamin yang terselubung dan lidah yang panjang, tetapi Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya. (seperti paragraf 11-12). Dan Pokkharasāti berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sudilah Yang Mulia Gotama menerima makanan dariku hari ini bersama para bhikkhu!’ dan Sang Bhagavā menerimanya dengan berdiam diri.’

2.20. Mengetahui penerimaan Sang Bhagavā, Pokkharasāti berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sudah waktunya, Yang Mulia Gotama, makanan telah siap.’ Dan Sang Bhagavā, setelah merapikan jubah-Nya di pagi hari itu dan membawa jubah serta mangkuk-Nya,24 pergi bersama para bhikkhu ke tempat kediaman Pokkharasāti, dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian Pokkharasāti sendiri yang melayani Sang Bhagavā dengan berbagai pilihan makanan keras dan lunak, dan para pemuda melayani para bhikkhu. Dan ketika Sang Bhagavā telah mengangkat tangan-Nya dari mangkuk, Pokkharasāti duduk di satu sisi di atas bangku kecil.

2.21 Dan ketika Pokkharasāti duduk di sana, [110] Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertingkat tentang kedermawanan, moralitas, dan tentang surga, menunjukkan bahaya, penurunan dan kerusakan dari kenikmatan-indria, dan manfaat dari meninggalkan keduniawian. Dan ketika Sang Bhagavā mengetahui bahwa batin Pokkharasāti telah siap, lunak, bebas dari rintangan, gembira, dan tenang, Beliau membabarkan khotbah Dhamma secara ringkas: tentang penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan Sang Jalan. Dan bagaikan sehelai kain bersih yang semua kotoran telah dihilangkan akan dapat diwarnai dengan baik, demikian pula dalam diri Brahmana Pokkharasāti, selagi masih duduk di sana, muncul Mata-Dhamma yang murni dan tanpa noda, dan ia mengetahui: ‘Segala sesuatu memiliki asal-mula, dan akan lenyap.’25

2.22. Dan Pokkharasāti, setelah melihat, mencapai, mengalami, dan menembus Dhamma, setelah melampaui keragu-raguan, melampaui ketidakpastian, setelah mencapai keyakinan sempurna dalam Ajaran Sang Guru tanpa bergantung pada yang lainnya, berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Bhagavā Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara ... aku bersama putraku, istriku, para menteri dan penasihatku berlindung kepada Yang Mulia Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sangha.26 Semoga Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai siswa awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidupku! Dan kapan saja Yang Mulia Gotama mengunjungi keluarga lain di Ukkaṭṭha, sudilah Beliau juga mengunjungi keluarga Pokkharasāti! Pemuda dan pemudi yang mana pun juga akan memuliakan Yang Mulia Gotama dan berdiri di hadapan Beliau, akan memberikan tempat duduk, dan air dan akan gembira dalam hati, dan itu adalah demi kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka.’
1. 1. Suatu frasa, seperti pada DN 4.1, 5.1, MN 95.1, dan lain-lain. RD menerjemahkan ‘pada wilayah kerajaan ... sebagai pemberian kerajaan (rajadāyaṁ), dengan kekuasaan atasnya seolah-olah ia adalah raja (brahmadeyyaṁ)’, brahmadeyyaṁ = ‘anugerah tertinggi’, yang tidak dapat ditarik kembali.
2. 2. Penjelasan lain untuk Brahmana terpelajar.
3. 3. Untuk penjelasan selengkapnya dari tanda-tanda ini (sebelum masa Sang Buddha), baca DN 30. Tanda-tanda ini sangat penting bagi para Brahmana untuk menetapkan kredensial ‘Petapa Gotama’.
4. 4. Baca DN 17.
5. 5. Baca DN 17.
6. 6. Loke vivattacchado: sebuah ungkapan yang sulit, saya mengikuti DA. ‘Selubung’ yang dimaksud adalah kebodohan, dan seterusnya.
7. 7. Pembagian ini dalam empat kelompok menunjukkan tingkatan kasta pada masa-masa sebelumnya. Pada masa Sang Buddha dan di negeri asal-Nya, Khattiya (‘Ksatria-mulia’), yang adalah Kasta-Nya, merupakan kasta pertama, dengan Brahmana menempati urutan ke dua, walaupun Brahmana telah mengokohkan dirinya sebagai Kasta tertinggi jauh di wilayah Barat, dan jelas memperjuangkan posisi itu di sini. Sang Buddha sendiri lebih sering merujuk pada empat urutan berbeda: Khattiya, Brahmana, perumah tangga dan petapa.
8. 8. Sākasaṇḍa: kata sāka juga dapat berarti ‘tanaman’ (RD), tetapi di sini tentu saja bermakna lain, yaitu ‘jati’. RD secara keliru menerjemahkan sebagai ‘ek’ demi menjaga agar tidak terlalu banyak permainan kata. Ada permainan kata yang sesungguhnya pada kata sakāhi ‘(saudara-saudara perempuan) sendiri’ persis sebelumnya.
9. 9. Sehubungan dengan catatan sebelumnya, RD di sini menerjemahkan ‘jantung ek’ (!).
10. 10. Suatu ancaman yang aneh yang (seperti yang dipelajari oleh RD) tidak pernah terjadi, dan tentu saja berasal dari masa sebelum Buddhisme.
11. 11. Yakkha ini, oleh DA disamakan dengan Indra, siap, seperti dalam MN 35.14, untuk mengambil tindakan. Demikianlah satu dari dewa yang mendukung agama baru. Dalam kitab-kitab Mahayāna, belakangan kita menemukan satu Bodhisatva dengan nama yang sama. Baca D.L. Snellgrove, Buddhist Himālaya (Oxford 1957), p. 62 dan catatan I.B. Horner, MLS I, p. 185.
12. 12. Isi (Sanskrit rsi, di-inggris-kan menjadi ‘rishi’. Apakah ia disamakan dengan Krishna (Skt. Krsṇa< = Pali Kaṇha)?
13. 13. Dakkhiṇa janapada: di-inggris-kan seperti pada Deccan.
14. 14. Menurut DA, ini disebut ‘Mantra Ambaṭṭha’.
15. 15. Hanya gertakan, menurut DA: dalam kenyataannya, mantra itu hanya dapat mencegah anak panah itu ditembakkan.
16. 16. Brahmadaṇḍa: ‘hukuman berat sekali’ (dalam pengertian lain pada DN 16.5.4).
17. 17. Di sini, dan di beberapa tempat yang berhubungan dalam Sutta-sutta lain dari bagian ini, MSS meringkas dan mengatakan ‘seperti dalam Sāmaññaphala Sutta’. Tetapi dengan ‘bagian ulangan’ berbeda, dan ini tidak selalu jelas seberapa banyak yang DN 2 maksudkan untuk dimasukkan.
18. 18. Upāya-mukhāni: secara harfiah, ‘jalan keluar dari kehilangan’ (‘kebocoran’, RD). digunakan dalam makna lain, DN 31.3.
19. 19. Anabhisambhūṇamāno: secara harfiah, ‘bukan terserah padanya’.
20. 20. Sebuah galah atau gandar untuk membawa barang-barang miliknya.
21. 21. Yaitu, menggalinya, yang tidak dilakukan oleh kelompok pertama.
22. 22. Api suci, atau mungkin Aggi (agni) sang dewa-api.
23. 23. Para petapa masa lampau berhubungan dengan syair-syair Veda (cf. DN 13.13). Untuk selanjutnya, baca juga DN 27.22ff.
24. 24. Suatu formula yang sering digunakan, dijelaskan oleh RD dalam DN 16.5.19. ‘Para pengembara ... hidup hanya dengan mengenakan satu jubah, yaitu yang dari pinggang hingga kaki. Ketika mereka pergi ke desa ... mereka mengenakan jubah ke dua dan ... membawa yang ke tiga. Di tempat yang sesuai di dekat desa, mereka akan mengenakannya juga, dan memasuki – yaitu – secara resmi.
25. 25. Kalimat ini muncul dalam DB 5.29, DN 14.11, dan di tempat lain. Untuk Mata-Dhamma, baca DN 2.102 dan catatan 130. Kalimat Pali-nya adalah Yaṁ kiñci samudaya-dhammaṁ taṁ nirodha-dhammaṁ.
26. 26. Pokkharasāti tidak secara jelas berkonsultasi dengan istri, keluarga, dan anak-anaknya. Ketika Uruvela-Kassapa ingin bergabung dengan Sangha, Sang Buddha memintanya untuk berkonsultasi dengan para pengikutnya terlebih dahulu (Mv 1.20.18). Tentu saja, suatu perbedaan besar antara menjadi seorang pengikut awam dan bergabung dalam Sangha.


Hak Cipta: ©2009 DhammaCitta Press. Edisi DhammaCitta Pedia © 2009-2010 DhammaCitta
Sumber: Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha, Dīgha Nikāya. ©2009 DhammaCitta Press.
Penerjemah ke Bahasa Indonesia: Indra Anggara.
Aturan Penggunaan: Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.

Saran Penulisan Kutipan: "DN 3: Ambaṭṭha Sutta - Tentang Ambattha", Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh Maurice O'Connell Walshe. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Indra Anggara. DhammaCitta Pedia, 23 Mei 2010, "http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_3_Ambattha_Sutta_Walshe" atau "http://dhct.ws/d42"