Bab. III 8Jam Untuk Benar-Benar Lepas Dari Badan Jasmani?
Y.M. Bhikkhu Uttamo
Dalam masyarakat Buddhis, memang telah beredar buku yang menyebutkan bahwa jenasah tidak boleh di gerakkan dalam waktu 8 jam setelah kematiannya. Mengubah posisi jenasah sebelum waktu 8 jam di lewati, di percaya akan menimbulkan kesakitan bagi almarhum atau almarhumah bahkan dapat mempengaruhi alam kelahiran mereka.
Penjelasan dalam buku tersebut seolah-olah berasal dari kotbah Sang Buddha. Padahal, kemungkinan besar itu merupakan karya tulis seseorang yang tidak memahami konsep dasar Ajaran Sang Buddha. Bahwa seseorang yang meninggal dunia akan langsung terlahir dialam kehidupan yang sesuai dengan kamma pendukungnya. Ia yang meninggal dengan dukungan kamma baik akan terlahir di alam bahagia. Ia yang meninggal dengan dukungan kamma buruk akan terlahir di alam menderita.
Kiranya telah jelas di sini bahwa dalam konsep Buddhis, ketika seseorang meninggal, ia akan langsung terlahir kembali. Ia sudah tidak akan pernah merasakan apapun juga atas jasad yang telah di tinggalkannya. Ia tidak akan merasa sakit atau bahagia dengan apapun yang dilakukan pada jasadnya. Demikian pula, kelahiran seseorang di alam kehidupan selanjutnya sangat di tentukan oleh kamma atau perbuatan yang telah dilakukan seseorang semasa hidupnya, bukan akibat jenasah yang digerakkan ataupun di proses dengan cara tertentu.
Pemahaman ini bukan hanya dianut oleh kalangan Theravada saja, melainkan juga dalam Agama Buddha tradisi lain.
Dengan demikian, justru kebenaran buku itu jelas harus di sangsikan.
Kisah-Kisah Menyingkapi Kematian Kisagotami
Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang menetap di dekat Savathi di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika.
Muncul saat itu seorang wanita yang bernama Kisagotami, tubuhnya kurus, penampilannya sederhana, dia berasal dari keluarga miskin dan selalu di perlakukan dengan buruk. terutama oleh keluarga suaminya, setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki, orang-orang mulai menghargai dan menerimanya karena dia adalah ibu dari ahli waris keluarga. Sekarang ia benar-benar bahagia, Selain memberi kasih sayang seorang ibu sebagaimana layaknya, ia sangat melekat pada putranya karena putranya merupakan penjamin kebahagiaan pernikahan dan ketenangan batinnya.
Namun putranya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. Tragedi tersebut terasa sangat berat baginya, Ia khawatir jangan-jangan keluarga suaminya akan kembali memandang hina dengan mengatakan bahwa sudah merupakan kammanya bahwa ia tak mampu memiliki seorang putra. Ia juga khawatir kalau orang lain di kota berkata : "Kisagotami pasti telah melakukan perbuatan yang sangat keji sampai akhirnya menderita nasib seperti ini." Ia takut kalau-kalau suaminya akan menolak dirinya dan mencari istri lain. Semua khayalannya ini berputar-putar dalam batinnya.
Menolak menerima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal, ia mencoba menyakini dirinya bahwa anaknya hanya sakit dan akan sembuh jika ia bisa mencari obat yang tepat untuknya.
Sambil menggendong anaknya yang telah meninggal itu, ia berkeliling dari rumah-ke rumah, meminta obat bagi putranya. Di setiap rumah ia memohon : "Tolonglah, berikan obat bagi putraku!"
Kelakuannya sudah tidak masuk akal dan sikapnya sangat patut di kasihani, namun tidak ada yang mampu menolong, Sampai suatu ketika ia bertemu dengan seorang laki-laki yang bijak dan bajik, yang menyadari bahwa Kisagotami telah kehilangan akal sehatnya akibat kesedihannya ini. Ia menasihatinya; "Gadis kecil, Sang Budha, tabib terbaik, pasti mengetahui obat yang tepat. Ia tengah berdiam di Vihara Jetavana.Pergilah dan bertanya padaNya!"
Kisagotami langsung bergegas menuju Vihara Jetavana.
Ketika melihat Sang Tathagata Kisagotami langsung berlari mendekati Sang
Bhagava dengan menggendong putranya yang telah meninggal, laluberkata : "O Guru, berilah obat untuk putra saya!"
Sang Tathagata melihat bahwa buah kebajikan lampaunya telah cukup untuk mencapai Pencerahan. Dengan lembut Sang Bhagava menjawab : "Gotami, engkau telah melakukan hal yang tepat dengan datang kemari untuk meminta obat bagi putramu. Sekarang, pergilah kesetiap rumah di Savatthi dan mintalah sedikit biji lada dari rumah manapun yang di sana belum pernah ada keluarganya yang mati. Setelah ketemu bawalah biji lada itu kepada Saya!"
Kisagotami segera beranjak dari tempatnya setelah membersihkan kaki Sang Buddha dengan gembira.
Sore itu dia kembali.
"Gotami, apakah kamu sudah menemukan biji ladanya?" Tanya Sang Bhagava.
"Biji lada itu mestinya sudah saya dapatkan," jawabnya dan dia melanjutkan bahwa sewaktu ia meminta pada rumah pertama yang di kunjunginya, tuan rumah dengan senang hati memberikan biji ladanya karena kasihan melihat Kisagotami.
Kemudian
Kisagotami menambahkan, "Tetapi biji ini harus berasal dari keluarga yang belum pernah di timpa kematian."
Kemudian si pemilik rumah menjawab dengan halus, "Anggota keluarga kami telah banyak yang meninggal. Minggu lalu ibu saya meninggal. Yang meninggal lebih banyak daripada yang hidup."
"Biji lada ini tidak bisa di pakai'" jawabnya sedih sambil menuju rumah berikutnya, tetapi jawaban mereka semua sama, hingga sore dia baru sadar bahwa usahanya tak akan membawa hasil, sementara bayinya semakin terasa berat di pangkuannya.
Ketika dia menyadari bahwa berkat dengan belas kasih Sang Buddha menyuruhnya melakukan hal ini agar ia dapat menyadari sendiri kebenaran hidupyang utama bahwa semua adalah penderitaan. Dia menangis Karena Sang Bhagava masih mau menolongnya walaupun ia seorang yang buruk dan hina. Dia membawa mayat bayinya ke padang rumput dan menguburkannya di sana karena dia tidak memiliki uang untuk kremasi.
Sampai larut malam Sang Bhagava baru selesai memberi penjelasan kepada Kisagotami. Beliau memandang kerlip-kerlip lampu di kota yangsatu-persatu padam saat penghuninya beranjak tidur dan Beliau berkata, " Bagaikan kerlip lampu itulah hidup manusia, hidup untuk waktu tertentu dan akan padam pada suatu saat."
Pada akhirnya Kisagotami mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Setelah itu ia memohon untuk di izinkan masuk ke Persamuan Bhikkhuni. Sang Bhagava mengizinkannya dan menyuruhnya pergi ke tempat tinggal para bhikkhuni. di sana ia menerima penahbisan awal dan penahbisan lanjut sebagai bhikkhuni.
Kisah Patacara Theri
Patacara merupakan putri seorang saudagar kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik. dan di jaga dengan sangat ketat oleh orangtuanya. Oleh karena itu ketika Patacara menginjak umur 16 tahun, ia selalu dikelilingi oleh beberapa penjaga, untuk melindunginya dari gangguan para pemuda. Karena selalu dijaga oleh para penjaga dan dikelilingi para pelayan di rumahnya, Patacara terlibat hubungan asmara dengan salah seorang pelayan di rumahnya. Hubungan tersebut berlangsung tanpa diketahui oleh orangtua Patacara.Pada suatu hari, orangtua Patacara merencanakan pernikahannya dengan seorang pemuda dari golongan yang sederajat. Mengetahui hal tersebut, membuat Patacara menjadi sangat terkejut. Patacara tidak mau menikah dengan pemuda pilihan orangtuanya, karena itu ia melarikan diri meninggalkan kota bersama kekasihnya, pelayan orang tuanya, pergi melalui pintu gerbang utama, dan tinggal di sebuah desa kecil, jauh dari Savatthi.Patacara, kini menjadi isteri orang miskin.
Suaminya menjadi petani dan Patacara harus melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga sendiri, hal yang sebelumnya tidak pernah ia kerjakan.Tidak lama kemudian Patacara hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, Patacara minta ijin kepada suaminya untuk mengantarnya pulang ke rumah orangtuanya."Suamiku, di sini tidak ada orang yang merawatku apabila aku melahirkan anak kita, ijinkanlah aku pulang ke rumah orang tuaku", mohon Patacara. Namun suaminya tidak mengijinkannya, beberapa kali Patacara meminta izin namun jawabannya selalu sama, hingga pada suatu hari ketika suaminya sedang pergi bekerja di sawah, Patacara memutuskan untuk pergi ke rumah orangtuanya sendirian dan memberitahukan kepergiannya kepada tetangganya.
Sewaktu suaminya kembali dan diberitahukan oleh tetengganya tentang kepergian istrinya, maka dengan segera ia menyusul. Setelah menemukan Patacara, suaminya memohon kepada Patacarta untuk kembali ke rumah mereka tapi Patacara menolak, dan terus berjalan. Di tengah perjalanan, Patacara merasa kesakitan karena bayinya akan segera lahir. Akhirnya Patacara melahirkan anak laki-lakinya di semak-semak. Setelah Patacara melahirkan, suaminya membawanya pulang bersama bayi laki-lakinya, kembali ke rumah mereka.
Beberapa tahun kemudian, Patacara hamil anaknya yang kedua, pada saat akan melahirkan Patacara juga ingin pulang ke rumah orang tuanya. Patacara juga ingin melahirkan, anaknya di rumah orang tuanya. Dengan menuntun anaknya yang pertama Patacara berjalan pulang menuju rumah orang tuanya, suaminya terus mengikuti Patacara. Namun di tengah perjalanan menuju Savatthi, hujan badai menerpa mereka."Suamiku, carikanlah aku tempat berlindung!", teriak Patacara dengan muka yang pucat.
Dengan segera suami Patacara mencarikan tempat perlindungan untuk istrinya. Ketika suami Patacara sedang memotong dahan pohon, seekor ular berbisa keluar dari liangnya dan mematuknya, pada saat itu juga ia meninggal dunia.Patacara menantikan kedatangan suaminya dengan penuh rasa cemas, takut dan kesakitan, pada saat penantiannya itu, Patacara melahirkan anaknya yang kedua. Deru angin dan hujan badai terus berlangsung, kedua anaknya itu menangis karena ketakutan, kedinginan dan kelaparan.
Patacara dengan tubuh yang masih lemah karena melahirkan, melindungi kedua anaknya dengan posisi tubuh menelungkupi mereka di tanah, ia melewati malam itu dengan penuh rasa cemas, ketakutan dan kedinginan.Pada pagi harinya, ketika matahari sudah terbit, Patacara mencari suaminya sambil menggendong bayinya dan menuntun anak tertuanya. Ia berjalan menuju bukit kecil dan melihat tubuh suaminya sudah kaku di dekat gundukan rumah semut. Patacara sangat sedih dan berduka, ia menyalahkan dirinya atas kematian suaminya" Hu….Hu….karena kesalahan aku, maka suamiku mati". Tangisan tersedu-sedu.Patacara menangis dan meratap sepanjang hari, sambil meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.
Hujan yang tak henti-henti, membuat sungai Aciravati meluap dan airnya setinggi pinggang. Patacara yang masih lemah amat kebingungan, ia tidak mampu menyeberangi sungai dengan kedua anaknya. Lalu ia meninggalkan anak tertuanya di satu sisi sungai yang airnya mengalir dengan amat deras, dan ia menyeberang dengan menggendong bayinya. Sesampainya diseberang sungai, Patacara menebarkan ranting pohon yang telah dipatahkannya, dan membaringkan bayinya yang dibalut dengan kain penutup kepalanya diatas ranting-ranting itu.Kemudian Patacara menyeberang kembali untuk menjemput anak tertuanya. Ketika ia berada di tengah sungai seekor elang besar menyambar bayinya, bagaikan sepotong daging.
Melihat kejadian itu Patacara berteriak-teriak untuk mengusir burung elang itu, namun usahanya sia-sia, burung elang itu tidak memperdulikannya tetap membawa bayinya terbang tinggi. Anak tertuanya yang mengira ibunya memanggil, berjalan menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Karena arus sungai yang amat deras, anak itu hanyut terbawa arus sungai.Dalam sekejap Patacara kehilangan kedua anaknya dan juga kehilangan suaminya. Patacara lalu menangis dan meratap keras seperti orang gila, "Hu… hu… bayiku disambar elang, anak tertuaku hanyut, suamiku mati dipatuk ular berbisa….!"
Dengan perasaan sedih dan duka yang mendalam, Patacara berusaha pulang ke Savatthi menuju rumah orang tuanya.
Sesampainya di Savatthi, Patacara menjumpai seorang laki-laki di tengah jalan, dan menanyakan tentang keadaan orang tuanya."Saudari, tadi malam rumah saudagar kaya itu roboh dan menimpa mereka. Rumahnya terbakar, saudagar kaya, isteri dan anak laki-lakinya, mereka semua terbakar dalam satu tumpukan. Saudari, lihatlah kemari…! asapnya dapat terlihat dari sini", ucap lelaki itu sambil tangannya menunjuk pada kepulan asap.
Mendengan berita yang demikian tragis, Patacara tidak kuat lagi menerima kenyataan yang menyedihkan ini ia menjadi gila, ia merobek-robek pakaiannya dan hampir tidak berpakaian. Patacara berlari-lari, berteriak-teriak, meratap-ratap di sepanjang jalan. Orang-orang yang melihatnya mengusirnya, "Pergi… Pergilah… wanita gila…!"
Sang Buddha yang sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, melihat Patacara sedang berteriak-teriak di depan vihara. Seorang murid Sang Buddha berusaha mencegahnya masuk dan berkata kepada orang yang ada didepan vihara, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk."
"Jangan melarangnya, biarkan ia mendekat", kata Sang Buddha.
Ketika Patacara berada cukup dekap dengan Sang Buddha. Beliau berkata dengan penuh kelembutan,
"Anak-Ku Patacara, sadarlah."Setelah mendengarkan kata-kata dari Sang Buddha Patacara menjadi tenang, dan kesadarannya pulih kembali. Ia lalu sadar bahwa tubuhnya hampir tidak berpakaian, Patacara menjadi malu dan ia lalu bersimpuh di tanah. Lalu salah seorang murid Sang Buddha memberinya sehelai kain, dan Patacara membungkus dirinya dengan kain itu. Lalu ia mendekat pada Sang Buddha, bersujud di kaki-Nya dan berkata
"Yang Mulia, tolonglah saya. Salah satu anakku disambar burung elang, yang satunya lagi hanyut terbawa arus sungai, suamiku meninggal dipatuk ular berbisa, orang tua dan saudara laki-lakiku rumahnya roboh dan terbakar dalam satu tumpukan", ratap Patacara.
Sang Buddha berkata, "Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepadaKu yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu cucurkan atas kematian kedua anakmu, suami, orangtua, dan saudara laki-lakimu sudah sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra."
Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci 'Anamatagga Sutta', yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang dan damai. Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya berjuang keras menyucikan diri untuk mencapai Nibbana.
Mendengar nasihat Sang Buddha, Patacara mencapai Tingkat Kesucian Sotapatti. Kemudian Patacara menjadi bhikkhuni.
Pada suatu hari, Patacara sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap. Lalu ia menuangkan untuk kedua kalinya, air tersebut mengalir sedikit lebih jauh, tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, Patacara mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.
Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin-Nya dari Vihara Jetavana, mengirim seberkas sinar dan menampakkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khanda). Seseorang yang tidak mengerti karakteristik ketidak-kekalan, ketidak-puasan, tanpa inti dari khanda adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu ayng berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.
Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah kotbah Dhamma itu berakhir.
halaman 7
bersambung kehalaman 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar