Posted by Lord Bharadvaja pada Maret 22, 2011
Pada mulanya pertapa Gotama berguru kepada Âïâra Kâlâma. Tak berapa lama, Beliau berhasil mencapai meditasi lv 7: Kekosongan. Tak puas dengan pencapaian ini, Beliau pun pergi berguru kepada Uddaka Râmaputta. Pertapa ini hanya mampu menghantarkan Beliau pada pencapaian meditasi lv 8: Bukan Persepsi Bukan Pula Non-Persepsi.
Karena semua petunjuk yang diperoleh dari guru-guru lain tidak mampu membawa pada pembebasan mutlak dari penderitaan, Beliau selanjutnya pergi dan bertinggal di Hutan Uruvelâ. Di sinilah, dengan ditemani oleh lima orang pertapa lainnya (pañcavaggiya), Beliau melakukan praktek penyiksaan diri (attakilamathânuyoga) selama bertahun-tahun. Ini bukan saja tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, malah hampir mematikan Beliau.
Akhirnya Beliau menempuh Jalan Tengah (Majjhimâ Paöipadâ) yang terbebas dari ekstrim, dan menembus lv10 Nibbana saat mencapai meditasi lv9: Lenyapnya Persepsi dan Harapan.
Berikut ini adalah peristiwa saat-saat pencerahan Siddharta menjadi Buddha:
“Saya berpikir: Apa yang ada ketika ketuaan dan kematian muncul? Apa yang menjadi kondisi atau sebab ketergantungan (paccaya)?”
Dengan pengarahan batin yang benar, Beliau memahami secara arif bahwa: “Manakala ada kelahiran (jâti), ketuaan dan kematian muncul. Ketuaan dan kematian muncul karena adanya kelahiran sebagai sebab ketergantungan.”
Selanjutnya Beliau merenungkan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paöiccasamuppâda) dalam rangkaian teringkas berikut:
“Manakala ada perwujudan (bhava), kelahiran muncul. Kelahiran muncul karena adanya perwujudan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada kemelekatan (upâdâna), perwujudan muncul. Perwujudan muncul karena adanya kemelekatan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada keinginan (taóhâ), kemelekatan muncul.
Kemelekatan muncul karena adanya keinginan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada perasaan (vedanâ), keinginan muncul. Keinginan muncul karena adanya perasaan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada sentuhan (phassa), perasaan muncul. Perasaan muncul karena adanya sentuhan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada enam landasan indera (saïâyatana), sentuhan muncul. Sentuhan muncul karena adanya enam landasan indera sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada batin dan jasmani (nâma-rûpa), enam landasan indera muncul. Enam landasan indera muncul karena adanya batin dan jasmani sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada kesadaran [bertumimbal lahir] (viññâóa), batin dan jasmani muncul. Batin dan jasmani muncul karena adanya kesadaran [bertumimbal lahir] sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada perpaduan berkehendak (saõkhâra), kesadaran [bertumimbal lahir] muncul. Kesadaran [bertumimbal lahir] muncul karena adanya perpaduan berkehendak sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada ketaktahuan (avijjâ), perpaduan berkehendak muncul. Perpaduan berkehendak muncul karena adanya ketaktahuan sebagai sebab ketergantungan.”
“Jika tidak ada ketaktahuan, tak ada pula perpaduan berkehendak. Jika tidak ada perpaduan berkehendak, tak ada pula kesadaran bertumimbal lahir. Jika tidak ada kesadaran bertumimbal lahir, tak ada pula batin dan jasmani. Jika tidak ada batin dan jasmani, tak ada pula enam landasan indera. Jika tidak ada enam landasan indera, tak ada pula sentuhan. Jika tidak ada sentuhan, tak ada pula perasaan. Jika tidak ada perasaan, tak ada pula keinginan. Jika tidak ada keinginan, tak ada pula kemelekatan. Jika tidak ada kemelekatan, tak ada pula perwujudan. Jika tidak ada perwujudan, tak ada pula kelahiran. Jika tidak ada kelahiran, tak ada pula ketuaan dan kematian; tak ada pula kesedihan (soka), keluhkesah (parideva), penderitaan (dukkha), kekecewaan (domanassa), keputus-asaan (upâyâsa).”
“Timbullah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, ketahuan dan penerangan yang belum pernah Saya dengar sebelumnya… Saya berpikir: ‘Inilah jalan menuju Pencerahan yang telah Saya raih…’ Apakah jalan itu? Yakni Jalan Mulia Berfaktor Delapan: 1. Pandangan Benar (Sammâdiööhi), 2. Pikiran Benar (Sammâsaõkappa), 3. Ucapan Benar (Sammâvâcâ), 4. Tindakan Benar (Sammakammanta), 5. Penghidupan Benar (Sammââjiva), 6. Upaya Benar (Sammâvâyâma), 7. Penyadaran Benar (Sammâsati), 8. Pemusatan Benar (Sammâsamâdhi).”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, suci, cemerlang, tanpa kekotoran, bebas dari noda-noda halus, lunak [cocok untuk dipergunakan], mantap, takbergeming; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan dalam menelusuri kehidupan-kehidupan lampau (pubbenivâsânusatiñâóa).
Saya mengingat banyak kehidupan lampau, yakni satu kelahiran, dua, tiga, … seratus, seribu, seratus ribu, banyak masa penyusutan dunia, pengembangan dunia, penyusutan dan pengembangan dunia: ‘Pada kehidupan itu Saya mempunyai nama, keturunan, penampilan, makanan, pengalaman suka duka, rentang usia; dan setelah meninggal dari sana, Saya terlahirkan kembali di tempat lain, dan di situ Saya mempunyai nama, … ; –demikianlah secara terinci dan khusus Saya menelusuri banyak kehidupan lampau Saya. Inilah pengetahuan pertama yang Saya raih pada waktu permulaan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas kematian dan kelahiran kembali makhluk hidup (cutûpapâtañâóa). Dengan mata kedewaan yang suci dan melampaui mata manusia biasa, Saya melihat makhluk-makhluk hidup yang sedang mati, lahir kembali, yang hina, yang luhur, yang cantik, yang buruk, yang sejahtera, yang sengsara. Saya memahami secara jelas bahwa kehidupan semua makhluk berlangsung sesuai dengan perbuatan (kamma) masing-masing: ‘Makhluk-makhluk yang jahat dalam tindakan, ucapan, pikiran, yang melecehkan orang-orang suci, yang berpandangan sesat, yang melakukan perbuatan berdasarkan pandangan sesat itu, setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam kemerosotan, alam kesengsaraan, alam kejatuhan, atau alam neraka. Sementara itu, makhluk-makhluk yang baik dalam tindakan, … , setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam bahagia, alam surga.’ Inilah pengetahuan kedua yang Saya raih pada waktu pertengahan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin (âsavakkhayañâóa).
Saya memahami berdasarkan kenyataan sesungguhnya bahwa: ‘Ini adalah penderitaan, ini adalah sebab penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan; ini adalah noda batin, ini adalah sebab noda batin, ini adalah lenyapnya noda batin, ini adalah jalan menuju lenyapnya noda batin.’ Dengan pemahaman demikian, batin Saya terbebaskan dari noda batin berupa nafsu inderawi, perwujudan, ketaktahuan. Tatkala batin terbebaskan, timbullah pengetahuan bahwa: ‘Saya telah terbebaskan. Saya memahami bahwa kelahiran telah terputuskan, kehidupan suci telah tertamatkan, tugas yang layak dikerjakan telah tertunaikan, tidak ada tugas lain lagi demi pencapaian ini. Inilah pengetahuan ketiga yang Saya raih pada waktu pengakhiran malam hari.
Ketaktahuan telah tersingkirkan, pengetahuan telah terbangkitkan; kegelapan telah tersingkirkan, pencerahan telah terbangkitkan; ini terjadi tatkala Saya berada dalam kewaspadaan, bersemangat, dan penuh pengendalian diri. Namun Saya tidak membiarkan perasaan bahagia yang timbul dalam diri Saya menguasai batin Saya.’”
“Meski Saya sendiri mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin, [setelah] menyadari bahaya dari semua itu dan kemudian mencari Nibbâna yang tiada taranya, yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin; Saya [akhirnya berhasil] meraihnya. Timbullah pengetahuan serta pandangan terang (ñâóadassana) dalam diri Saya: ‘Tercapailah Pembebasan (Vimutti) bagi diri Saya. Inilah kelahiran Saya yang terakhir; tidak ada lagi kelahiran bagi Saya.’”
“Karena belum menemukan Pencipta rumah [tubuh] ini, Saya mengembara dalam daur Saæsara [kelahiran dan kematian] yang tak terhitung jumlahnya. Kelahiran yang berulang-ulang adalah suatu penderitaan. O Pencipta rumah, Engkau sekarang telah Saya temukan. Engkau tak akan dapat menciptakan rumah lagi. Seluruh kerangkamu [noda batin] telah Saya patahkan, dan atapmu [ketaktahuan] telah Saya bongkar. Mental Saya telah menembus Nibbâna, dan mencapai akhir dari semua keinginan.”
Sewaktu sendirian dalam penyepian, timbullah pikiran dalam diri Buddha Gotama: “Kebenaran (Dhamma) yang telah Saya raih ini bersifat mendalam, sukar ditembus serta dipahami, penuh kedamaian dan merupakan tujuan terluhur bagi semua [makhluk], tak terjangkau oleh pemikiran biasa (spekulasi), halus, hanya dapat dimengerti oleh orang bijak. Namun, masyarakat umumnya bergembira serta terpukau dalam kerinduan. Sukar bagi mereka untuk dapat melihat Sebab Musabab yang Saling Bergantungan dari semua ini. Amatlah sulit untuk dapat memahami kebenaran yang merupakan kepadaman dari segala perpaduan, penanggalan dari sifat-sifat pokok kehidupan, yang merupakan akhir dari keinginan; kejenuhan, pelenyapan dan pembebasan dari nafsu, Nibbâna. Apabila Saya mengajarkan Kebenaran tetapi orang-orang lain tidak memahami sesuai dengannya; ini niscaya menimbulkan kesukaran serta kelelahan pada diri Saya semata. Duhai Para Bhikkhu, syair menakjubkan yang tidak pernah Saya dengar sebelumnya menjadi jelas bagi Saya sebagai berikut: ‘Kebenaran yang sulit Saya tembus ini tidaklah layak untuk dibabarkan. Sebab, ini bukanlah suatu kebenaran yang dapat dipahami oleh orang-orang yang dipenuhi oleh nafsu dan kebencian. Orang yang bernafsu besar, yang diliputi oleh kegelapan batin, niscaya tidak dapat menembus kebenaran yang menghantarkan makhluk hidup pada tujuan yang melawan arus dunia, yang halus, yang mendalam, yang pelik (abstruse).’”
1. Jika seseorang kaya ia tak mau menjadi buddhist, karena ia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan ia merasa itu cukup.
Jika seseorang miskin ia tak mau menjadi buddhist, karena ia ingin kaya dulu.
2. Jika seseorang terkenal ia tak mau menjadi buddhist, karena lebih memilih aktifitas-aktifitas yang meningkatkan popularitasnya sebagai icon masyarakat.
Jika seseorang tak terkenal ia tak mau menjadi buddhist, karena ia merasa masih belum menemukan tujuan hidupnya.
3. Jika seseorang tak punya teman ia tak mau menjadi buddhist, karena tak punya kenalan untuk menyampaikan ucapan, pikiran, dan pandangannya.
Jika seseorang punya teman ia tak mau menjadi buddhist, karena merasa jika sakit pasti ada yang merawat, jika sepi ada yang mengajak bermain, jika tua ada yang menjaga.
4. Jika seseorang nyaman ia tak mau menjadi buddhist, karena segalanya sudah tersedia.
Jika seseorang tak nyaman ia tak mau menjadi buddhist, karena untuk duduk nyaman saja belum bisa, bagaimana mau meditasi.
Mengetahui keengganan Buddha Gotama dalam membabarkan Dhamma yang sulit dipahami, Brahmâ Sahampati segera pergi mengunjungi Beliau untuk mengundang Beliau membabarkan Kebenaran demi kebahagiaan banyak orang:
“Sejak dahulu kala hingga sekarang ini, di daerah Magadha terdapat ajaran yang tidak murni, yang digagasi oleh orang-orang yang masih terliputi oleh noda. Bukalah pintu gerbang Kekekalan. Berilah makhluk-makhluk hidup kesempatan untuk mendengarkan Kebenaran yang ditembus oleh orang yang terbebas dari segala noda. Ibarat orang yang berada di puncak bukit, yang dapat melihat orang-orang yang berada di sekeliling; demikian pula Yang Mulia, yang memiliki pengetahuan serta mata kebijaksanaan yang menyeluruh, hendaknya sudi menaiki istana kebijaksanaan yang terbentuk dari Kebenaran. Jelajahilah masyarakat yang diliputi oleh kesedihan, yang dicengkeram oleh kelahiran dan ketuaan. O Sang Penakluk yang penuh semangat, yang memimpin para makhluk hidup, yang terbebas dari kekotoran batin; mohon sudi kiranya pergi berkelana mengasihani orang-orang di dunia ini. Babarkanlah Kebenaran Dhamma, O Sang Bhagavâ, karena akan ada yang memahaminya.”
Setelah mempertimbangkan permohonan Brahmâ Sahampati dan karena perasaan Welas Asih terhadap makhluk-makhluk hidup, Sang Buddha kemudian menjelajahi dunia ini dengan kewaskitaan-Nya. Beliau menyadari bahwa ada makhluk yang diliputi oleh banyak debu kekotoran batin tetapi ada pula yang hanya sedikit; ada yang lemah kemampuannya tetapi ada pula yang kuat; ada yang memiliki kecenderungan jahat tetapi ada pula yang baik; ada yang sulit dibina tetapi ada pula yang mudah; ada yang tidak melihat noda serta bahaya dari dunia mendatang tetapi ada pula yang melihatnya –ibarat dalam rumpun teratai ada bunga yang muncul dalam air, berkembang dalam air, berada dan masih tenggelam dalam air, yang dihidupi oleh air; ada pula bunga yang berada di permukaan air, dan ada pula yang tegak menjulang di atas permukaan air sehingga tidak terbasahi oleh air. Karena alasan-alasan inilah, Saya menyanggupi permohonan Brahmâ Sahampati:
“Terbuka-lebarlah pintu gerbang [menuju] Kekekalan. Bagi mereka yang mau mendengar, yang memperlihatkan keyakinan.”
Lalu diadakanlah Vinaya/peraturan bhikku yang sifatnya mengkondisikan mental orang-orang untuk bisa menjadi bhikku dengan baik dan mencapai Kebuddhaan.
Ketika mengetahui bahwa dua pertapa yang pernah menjadi guru-Nya telah meninggal dunia dan berada di alam nirbentuk, Beliau berniat untuk membabarkan Dhamma kepada lima pertapa yang pernah bersama-sama melakukan praktek penyiksaan diri. Di tengah perjalanan menuju Bârâóasî, Sang Buddha berjumpa dengan pertapa telanjang Upaka Âjîvaka. Menjawab pertanyaan Upaka, Beliau menguncarkan syair berikut:
“Saya adalah penguasa segala Dhamma, penembus segala Dhamma, yang tidak melekat pada keinginan atas segala sesuatu, yang telah menanggalkan segala sesuatu, yang terbebas, yang telah sampai pada kepadaman keinginan. Karena menembus dengan kebijaksanaan sendiri, siapa pula yang patut Saya akui sebagai guru? Tidak ada guru bagi diri Saya. Tidak ada orang baik yang menyamai Saya. Tidak ada orang yang menyetarai Saya di seluruh dunia, termasuk dunia kedewaan. Sebab, Saya adalah Arahanta Sammâsambuddha –yang Mahasuci, yang telah meraih Pencerahan Agung secara mandiri–, guru yang paling unggul, yang telah memadamkan seluruh kekotoran batin. Saya akan berangkat menuju Kota Kâsî untuk memutar roda Dhamma, untuk menabuh genderang Kekekalan dalam dunia yang diliputi oleh kegelapan ini.”
Selanjutnya Buddha memaparkan kebenaran pada dunia.
http://bharadvaja.wordpress.com/category/dhamma/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar