SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Sabtu, 12 Maret 2011

Gangeyya Jataka

No. 205

GAṄGEYYA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[151] “Ikan-ikan dari,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika tinggal di Jetavana, tentang dua bhikkhu muda.
Dikatakan bahwasanya dua bhikkhu muda ini adalah anggota dari sebuah keluarga yang terpandang di Sāvatthi dan memiliki keyakinan. Tetapi mereka, dengan tidak menyadari akan keburukan dari badan jasmani, memuji ketampanan mereka sendiri dan menyombongkan hal tersebut.
Suatu hari mereka bertengkar dikarenakan permasalahan ini: “Anda tampan, demikian juga saya,” kata mereka masing-masing. Melihat ada seorang thera tua yang duduk tidak jauh dari sana, mereka setuju kalau dia mungkin tahu apakah mereka tampan atau tidak. Kemudian mereka menghampirinya dan bertanya, “Bhante, siapakah yang tampan di antara kami?” Sang Thera menjawab, “Āvuso, saya lebih tampan daripada kalian berdua.” Terhadap ini, kedua bhikkhu muda tersebut mencelanya dan pergi, sambil mengomel bahwa dia menjawab sesuatu yang tidak mereka tanyakan, tetapi tidak menjawab apa yang mereka tanyakan.
Para bhikkhu mengetahui kejadian ini, dan pada suatu hari, ketika bersama-sama di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, thera tersebut mempermalukan kedua bhikkhu muda yang pikirannya dipenuhi dengan ketampanan mereka sendiri!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selama mereka duduk bersama. Mereka menceritakan kepada-Nya. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, kedua bhikkhu muda ini memuja ketampanan mereka sendiri, tetapi di masa lampau juga mereka selalu menyombongkannya seperti apa yang mereka lakukan sekarang.”
Dan kemudian Beliau menceritakan mereka sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon di tepi Sungai Gangga. Pada satu titik, tempat Gangga dan Jumma bertemu, dua ekor ikan bertemu satu sama lain, satu dari Gangga dan satu dari Jumma. “Saya cantik!” kata yang satu, “dan begitu juga kamu!” dan kemudian mereka bertengkar mengenai kecantikan mereka.
Tidak jauh dari Sungai Gangga, mereka melihat seekor kura-kura berbaring di tepi sungai, “Teman di sana yang akan memutuskan apakah kita cantik atau tidak!” kata mereka. Dan mereka pun menghampirinya. “Siapakah yang cantik di antara kami, Teman Kura-kura,” tanya mereka, “ikan Gangga atau ikan Jumma?” Kura-kura menjawab, “Ikan Gangga cantik dan ikan Jumma juga cantik, tetapi sayalah yang paling cantik di antara kalian berdua.” Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama:— [152]
Ikan-ikan dari Sungai Jumma itu cantik,
ikan-ikan dari Sungai Gangga cantik,
tetapi seekor makhluk berkaki empat,
dengan leher lonjong seperti saya,
bulat seperti pohon beringin yang menyebar,
pastilah melebihi semuanya.
Ketika mendengar ini, kedua ikan itu berkata, “He, Kura-kura Jahat, kamu tidak menjawab pertanyaan kami, malah menjawab yang lain!” dan mereka mengulangi bait kedua:
Kami menanyakan ini, dia menjawab itu:
sungguh sebuah jawaban yang aneh!
Dengan lidahnya sendiri dia memuji diri sendiri:—
saya tidak menyukainya!
____________________
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, kedua bhikkhu muda adalah kedua ekor ikan, sang thera tua adalah kura-kura, dan Aku adalah dewa pohon yang melihat semua kejadian itu dari tepi Sungai Gangga.”

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/gangeyya-jataka/#more-8922

Assaka Jataka

No. 207

ASSAKA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Dahulu bersama Raja Assaka yang agung,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya.
Beliau bertanya kepada bhikkhu tersebut apakah apakah benar dia menyesal. Bhikkhu tersebut berkata, “Ya.” “Kepada siapakah Anda jatuh cinta?” lanjut Sang Guru. “Mantan istri saya,” balasnya. Kemudian Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini saja, Bhikkhu, Anda sangat menginginkan wanita ini. Di masa lampau, cintanya membuatmu mendapatkan penderitaan yang besar.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, seorang Raja Assaka memerintah di Potali, sebuah kota di Kerajaan Kāsi. Permaisurinya, yang bernama Ubbarī (Ubbari), amatlah disayanginya. Wanita ini sangat memikat dan anggun, dan kecantikannya melampaui banyak wanita meskipun tidak secantik seorang dewi.
Permaisurinya ini kemudian meninggal, dan kematiannya membuat raja sangat berduka, sedih dan sengsara. Raja membaringkan jasad permaisuri ke dalam sebuah peti mati dan dibalsam dengan minyak dan ramuan, kemudian diletakkan di bawah ranjang. Di sana, raja berbaring tanpa makan, hanya menangis dan meratap. [156] Sia-sia apa yang dilakukan oleh orang tua dan sanak keluarga, teman-teman dan anggota istana, para brahmana dan penduduk, untuk memintanya agar tidak bersedih karena segala sesuatu pasti berubah. Mereka tidak dapat menggerakkan hatinya. Demikian dia berbaring dalam duka, tujuh hari pun berlalu.
Kala itu, Bodhisatta adalah seorang petapa yang memiliki lima kesaktian dan delapan pencapaian meditasi; dia berdiam di bawah kaki gunung Himalaya. Dia memiliki kekuatan mata dewa, dan ketika melihat sekeliling India dengan penglihatan saktinya itu, dia melihat raja itu meratap, dan langsung memutuskan untuk menolongnya. Dengan kekuatan gaibnya, dia terbang di udara dan turun di taman raja, duduk pada papan batu besar, seperti sebuah patung emas.
Seorang brahmana muda dari Kota Potali masuk ke dalam taman tersebut, dan ketika melihat Bodhisatta, dia memberinya salam dan duduk. Bodhisatta mulai berbicara dengan ramah kepadanya, “Apakah raja seorang pemimpin yang arif?” tanyanya. “Ya, Tuan, raja adalah seorang yang arif,” balas orang muda itu, “tetapi permaisurinya baru saja wafat; dia membaringkan tubuh permaisurinya ke dalam peti mati dan berbaring meratapinya; hari ini adalah hari ketujuh sejak dia mulai begitu.—Mengapa Anda tidak membebaskan raja dari penderitaan ini? Makhluk yang bajik seperti dirimu ini seharusnya mampu mengatasi penderitaan raja.”
“Saya tidak mengenal raja itu, Brahmana Muda,” kata Bodhisatta, “tetapi jika raja yang datang dan memintanya kepadaku sendiri, akan saya beri tahukan kepadanya tempat istrinya sekarang dilahirkan kembali, dan membuat wanita itu berbicara sendiri.” “Kalau begitu, Bhante, tunggulah di sini sampai kubawakan raja kepadamu,“ kata brahmana muda itu. Bodhisatta mengiyakannya, dan brahmana muda itu pun bergegas menghadap raja dan menceritakan kepadanya tentang hal itu. “Anda harus mendatangi orang ini yang memiliki penglihatan sakti!” katanya kepada raja.
Raja sangat gembira, memikirkan dapat melihat Ubbari, dan dia pun naik kereta kebesarannya dan mengendarainya menuju ke tempat itu. Setelah memberi salam kepada Bodhisatta, raja duduk di satu sisi dan bertanya, “Benarkah, seperti yang diberitahukan kepadaku bahwasanya Anda mengetahui di mana permaisuriku dilahirkan kembali?”
“Benar, Paduka,” jawabnya.
Kemudian raja menanyakan di manakah tempatnya. Bodhisatta menjawab, “Wahai Paduka, (dalam kehidupannya sebagai permaisuri) dia begitu dimabukkan oleh kecantikannya sehingga jatuh dalam kelalaian dan tidak melakukan perbuatan yang baik dan bajik. Jadi sekarang dia telah menjadi seekor ulat kotoran sapi di dalam taman ini.” [157] “Saya tidak percaya!” kata raja. “Kalau begitu saya akan memperlihatkannya kepada Anda dan membuatnya berbicara,” kata Bodhisatta. “Tolong buat dia berbicara!” kata raja.
Bodhisatta mengucapkan perintah—“Dua makhluk yang sibuk menggelindingkan gumpalan kotoran sapi, datanglah menghadap raja.” Dengan kekuatannya, dia membuat mereka melakukan demikian, dan mereka pun datang. Bodhisatta menunjuk salah satu dari mereka kepada raja: “Itu adalah Permaisuri Ubbari-mu, Paduka! Dia baru saja keluar dari gumpalan kotoran ini, mengikuti suaminya ulat kotoran. Lihat dan perhatikanlah.” “Apa! Permaisuri Ubbari-ku adalah seekor ulat kotoran? Saya tidak percaya!” teriak raja. “Saya akan membuatnya berbicara, Paduka!” “Saya mohon buatlah dia berbicara, Bhante!” katanya.
Bodhisatta dengan kekuatannya memberikan ulat tersebut kemampuan berbicara. “Ubbari!” katanya. “Ada apa, Bhante?” tanya Ubbari, dalam bahasa manusia.
“Siapakah namamu dalam kehidupan sebelumnya?” tanya Bodhisatta. “Namaku adalah Ubbari, Bhante,” jawabnya, “permaisuri Raja Assaka.”
“Beritahu saya,” lanjut Bodhisatta, “manakah yang paling kamu cintai sekarang–Raja Assaka atau ulat kotoran ini?” “Oh, Bhante, itu adalah kehidupan masa lampauku,” katanya, “kala itu, saya hidup bersamanya di taman ini, menikmati rupa, suara, bau, rasa dan sentuhan. Akan tetapi, sekarang ingatanku telah menjadi kabur dikarenakan kelahiran kembali, siapalah dirinya (Raja Assaka)? Sekarang saya akan (memilih untuk) membunuh Raja Assaka dan melumuri kaki suamiku, ulat kotoran, dengan darah yang mengalir dari kerongkongannya!” dan di hadapan raja, dia mengucapkan bait-bait berikut dalam bahasa manusia:
Dahulu bersama Raja Assaka yang agung, suamiku yang tercinta,
yang mencintai dan yang tercinta, saya berkeliaran di taman ini.
Tetapi sekarang, penderitaan baru dan kebahagiaan baru telah membuat yang lama lenyap.
Dan jauh lebih kucintai ulatku ini dibandingkan Assaka.
[158] Ketika mendengar ini, Raja Assaka menyesal di tempat itu juga, dan segera dia memerintahkan agar jasad permaisuri tersebut dikeluarkan, kemudian dia membasuh kepalanya sendiri. Dia memberi hormat kepada Bodhisatta dan pulang kembali ke kota, tempat dia menikahi permaisuri yang lain dan memerintah dengan benar. Dan Bodhisatta, setelah menasihati raja dan membuatnya bebas dari kesedihan, kembali ke Himalaya.
____________________
Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Mantan istrimu adalah Ubbarī (Ubbari); Anda, bhikkhu yang mabuk cinta adalah Raja Assaka; Sāriputta adalah brahmana muda tersebut; dan petapa itu adalah diri-Ku sendiri.”


http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/assaka-jataka/#more-8932

Kacchapa Jataka

No. 215 128

KACCHAPA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Kura-kura ingin berbicara,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika (Kokalika).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di  dalam Mahātakkāri-Jataka129. Di sini kembali Sang Guru berkata: “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Kokalika dirusak (reputasi)-nya karena berbicara, tetapi dia juga sama seperti sebelumnya.”
Dan kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di istana, tumbuh dewasa, menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Tetapi raja ini sangat suka berbicara; ketika dia berbicara, tidak ada kesempatan untuk yang lainnya mengucapkan sepatah kata pun. [176] Dan Bodhisatta menunggu suatu kesempatan, berharap dapat menghentikan pembicaraannya yang banyak itu.
Kala itu di sana terdapat seekor kura-kura yang menetap di sebuah kolam di daerah Himalaya.
Dua angsa muda liar, ketika sedang mencari makan, bertemu dengan kura-kura ini; lama kelamaan mereka menjadi teman akrab. Suatu hari dua angsa itu berkata kepadanya: “Teman Kura-kura, kami memiliki sebuah rumah yang indah di Himalaya, di atas satu dataran tinggi di Gunung Cittakūta, di dalam sebuah gua emas! Maukah Anda pergi bersama kami?”
“Bagaimana caranya,” katanya, “saya bisa ke sana?” “Oh, kami akan membawamu jika kamu dapat menutup mulutmu, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada siapa pun.”
“Ya, saya dapat melakukan itu,” katanya; “bawalah saya!”
Jadi mereka menyuruh kura-kura menggigit sebuah batang kayu dengan giginya, dan mereka sendiri memegang kedua ujung batang tersebut, mereka terbang ke udara.
Anak-anak desa melihat ini, dan berseru—“Di sana ada dua angsa membawa seekor kura-kura dengan sebatang kayu!”
(Pada saat ini, kedua angsa yang terbang dengan cepat telah sampai di atas istana raja, di Benares).
Kura-kura ingin berteriak—“Ya, dan jika teman-temanku membawaku, apa hubungannya dengan kalian, orang-orang yang jahat?”—ia pun melepaskan gigitannya pada batang kayu itu dan jatuh ke halaman istana, terbelah dua! Betapa ricuhnya keadaan di sana! “Seekor kura-kura jatuh ke halaman istana dan terbelah dua!” teriak mereka. Raja, dengan Bodhisatta, dan semua anggota istananya, datang ke tempat itu, dan ketika melihat kura-kura tersebut, raja menanyakan Bodhisatta sebuah pertanyaan. “Guru yang Bijak, apa yang membuat makhluk ini jatuh?”
“Sekaranglah saatnya!” pikir Bodhisatta. “Untuk waktu yang lama, saya berharap untuk menasihati raja, dan saya telah menunggu-nunggu kesempatan. Tidak diragukan lagi, kenyataannya adalah begini; kura-kura dan kedua angsa menjadi teman; angsa-angsa tersebut pasti berniat untuk membawanya ke Himalaya, dan menyuruhnya memegang sebuah batang di antara giginya dan kemudian mengangkatnya terbang ke udara; kemudian kura-kura tersebut mendengar beberapa perkataan dan ingin untuk menjawabnya; karena tidak sanggup untuk menahan mulutnya, dia pun melepaskan dirinya; [177] dan pasti dia jatuh dari udara dan menemui ajalnya.” Demikianlah yang dipikir Bodhisatta, dan dia menasihati raja demikian: “Oh Paduka, mereka yang terlalu banyak mulut, yang tidak membatasi perkataan mereka, akan menemui kemalangan seperti ini;” dan dia pun mengucapkan bait-bait berikut:—
Kura-kura ingin berbicara dengan keras,
walaupun di antara gigi-giginya,
sebatang kayu digigitnya, tetapi,
walaupun begitu, dia tetap berbicara—
dan akhirnya jatuh ke bawah.
Dan sekarang ingatlah baik-baik,
Anda harus berbicara dengan bijaksana,
harus berbicara tepat pada waktunya.
Jatuh menemui ajalnya sang kura-kura:
Dia berbicara terlalu banyak; itulah sebabnya.
“Dia sedang mengataiku!” pikir raja di dalam hatinya, dan menanyakan Bodhisatta apakah benar demikian.
“Apakah itu Anda, Paduka, ataupun orang lain,” jawab Bodhisatta, “siapa pun yang berbicara di luar batas, akan menemui kesengsaraan seperti ini.” Demikianlah dia membuat hal itu terwujudkan.
Dan sejak itu, raja mengendalikan diri dalam berbicara dan menjadi seorang yang berbicara sedikit.
____________________
[178] Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada saat itu, Kokālika (Kokalika) adalah kura-kura, dua mahāthera yang terkenal adalah dua angsa liar, Ānanda adalah raja, dan Aku adalah penasihatnya yang bijaksana.”
____________________
Catatan kaki :
128 Fausbøll, Five Jātakas, hal. 41; Dhammapada, hal. 418; bandingkan Benfey’s Pantschatantra, i. hal. 239; Babrius, ed. Lewis, i. 122; Phaedrus, ed. Orelli, 55, 128; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, viii.; Jacobs, Indian Fairy Tales, hal. 100 and 245.
129 Takkāriya-Jātaka, No. 481.

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/kacchapa-jataka-2/#more-8954

Cula Nandiya Jataka

No. 222

CŪLA-NANDIYA-JĀTAKA137

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Saya teringat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana, tentang Devadatta.
Suatu hari para bhikkhu berdiskusi di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta itu adalah orang yang kasar, bengis dan kejam, penuh dengan muslihat untuk menentang Sammāsambuddha. Dia melemparkan batu 138 , dia bahkan menggunakan bantuan Nāḷāgiri139; tidak ada perasaan kasihan dan belas kasih dalam dirinya terhadap Tathāgata.”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan ketika mereka duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Devadatta berkelakuan kasar, kejam, tanpa kasihan, tetapi dia juga begitu sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera yang bernama Nandiya, dan berdiam di daerah Himalaya; adiknya yang paling bungsu bernama Jollikin. Mereka berdua memimpin sebuah kelompok delapan puluh ribu ekor kera, dan mereka merawat ibunya yang buta di rumah.
Mereka meninggalkan ibu mereka di sarangnya di semak-semak dan pergi di antara pepohonan untuk mencari segala jenis buah liar yang manis, yang kemudian mereka kirim ke rumah untuknya. Para kera pesuruh tidak menyampaikannya. Tersiksa karena lapar, dia pun menjadi kurus kering. Bodhisatta berkata kepadanya, “Ibu, kami mengirim banyak buah-buahan manis kepadamu: apa yang membuatmu menjadi kurus?”
“Putraku, saya tidak pernah mendapatkannya!” [200] Bodhisatta merenung, “Di saat saya menjaga kawananku, ibuku akan mati! Saya akan meninggalkan kelompok itu, dan merawat ibuku sendiri.” Jadi dia memanggil adiknya, “Adik,” katanya, “kamu pimpin kawanan ini dan saya akan menjaga ibu.”
“Tidak, Kakak,” jawabnya, “mengapa saya harus memimpin kawanan itu? Saya juga hanya akan menjaga ibu!” Jadi mereka berdua memiliki satu pikiran dan meninggalkan kawanan kera tersebut, mereka membawa ibu mereka turun dari Himalaya dan berdiam di sebuah pohon beringin di daerah perbatasan, tempat mereka merawat sang ibu.
Kala itu, seorang brahmana yang tinggal di Takkasilā, yang telah menuntut ilmu dari seorang guru yang terkenal dan setelah itu, memohon diri, mengatakan bahwa dia akan pergi. Guru ini mempunyai kemampuan untuk meramal dari tanda-tanda badan seseorang; dan demikian dia merasa bahwa muridnya kasar, kejam dan bengis. “Anakku,” katanya, “Anda kasar, kejam dan bengis. Orang-orang seperti Anda tidak akan makmur dalam situasi apa pun; mereka hanya akan mendapatkan penderitaan dan kehancuran. Janganlah bertindak kasar dan berbuat sesuai kehendak diri Anda atau Anda akan menyesal setelahnya.” Dengan nasihat ini, dia membiarkannya pergi.
Pemuda itu berpamitan pada gurunya dan melanjutkan perjalanannya ke Benares. Di sana dia menikah dan berumahtangga. Karena tidak mampu untuk mencari nafkah dari keahlian-keahliannya yang lain, dia bertekad untuk hidup dari busurnya. Jadi dia mulai bekerja sebagai seorang pemburu, dan meninggalkan Benares untuk mencari nafkah. Menetap di perbatasan desa, dia menyisir hutan dengan dilengkapi busur dan anak panahnya, dan hidup dari menjual segala jenis daging hewan buas yang dia bunuh.
Suatu hari, ketika sedang pulang menuju ke rumah, setelah tidak menangkap apa pun di dalam hutan, dia melihat sebuah pohon beringin tumbuh berdiri di pinggir sebuah tanah lapang di hutan. “Mungkin,” pikirnya, “di sini ada sesuatu.” Dan dia membalikkan wajahnya ke pohon beringin tersebut. Kedua kera bersaudara tersebut baru saja memberi makan buah-buahan kepada ibu mereka dan duduk di belakangnya, di pohon itu, ketika mereka melihat laki-laki tersebut datang. “Meskipun dia melihat ibu kita,” kata mereka, “apa yang akan dilakukannya?” dan mereka bersembunyi di antara cabang-cabang pohon.
Kemudian orang jahat ini, ketika naik ke pohon dan melihat ibu kera tersebut lemah karena usia lanjut dan buta, berpikir, “Mengapa saya harus pulang dengan tangan kosong? Saya akan bunuh kera betina ini dahulu!” [201] dan mengangkat busurnya untuk membunuhnya. Bodhisatta melihat dan berkata kepada saudaranya, “Jollikin, orang ini hendak membunuh ibu kita! Saya akan menyelamatkan hidupnya. Setelah saya mati, Anda jagalah ibu kita.” Sambil berkata demikian, dia turun keluar dari pohon dan berteriak, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Dia buta dan lemah karena usia lanjut. Saya akan menyelamatkan hidupnya; jangan membunuhnya, tetapi bunuhlah saya!” Dan setelah yang lain berjanji kepadanya, dia duduk di tempat sejauh jangkauan anak panah.
Pemburu itu tanpa kasihan membunuh Bodhisatta; setelah dia jatuh, laki-laki itu mempersiapkan panahnya untuk membunuh ibu kera. Jollikin melihat ini dan pikirnya dalam hati, “Pemburu di sana ingin menembak ibuku. Walaupun ibu hanya hidup satu hari, dia akan menerima hadiah dari kehidupan; Saya akan memberikan nyawaku untuknya.” Maka, dia turun dari pohon, dan berkata, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Saya akan memberikan nyawaku untuknya. Bunuhlah saya—bawa kami dua bersaudara, dan ampunilah nyawa ibu kami!” Pemburu itu menyetujuinya dan Jollikin jongkok tidak jauh dari jangkauan anak panahnya. Pemburu membunuh yang satu ini juga, dan membunuhnya—“Ini cukup untuk anak-anakku di rumah,” pikirnya—dan dia menembak ibu kera itu juga; menggantungkan mereka bertiga di galahnya dan menuju ke rumah. Pada saat itu petir menyambar rumah laki-laki jahat itu, membakar istri dan kedua anaknya beserta rumah itu: tidak ada yang tersisa selain atap dan bambu yang tegak.
Seorang laki-laki bertemu dengannya di perbatasan memasuki desa dan menceritakan kepadanya. Kesedihan akan istri dan anak-anaknya melanda dirinya; di tempat itu juga dia menjatuhkan galahnya beserta hewan buruannya dan busurnya, melemparkan pakaiannya, dan telanjang dia menuju ke rumah, meratap dengan kedua tangan terjulur. Kemudian bambu yang tegak tersebut terbelah dan jatuh di atas kepalanya lalu menindihnya. Bumi terbuka lebar, api muncul dari neraka. Ketika dia ditelan bumi, dia teringat akan peringatan gurunya: [202] “Inilah ajaran yang diberikan Brahmana Pārāsariya kepadaku!” Dan sambil meratap, dia mengucapkan bait-bait berikut:
Saya teringat kata-kata guruku:
inilah yang dimaksudnya!
Hati-hatilah, jangan melakukan sesuatu
yang mungkin akan Anda sesali.
Apapun yang dilakukan seseorang,
hal yang sama akan menimpa dirinya sendiri:
Orang yang baik menjumpai yang baik,
dan yang jahat dirancang mendapatkan kejahatan;
Perbuatan kita semuanya adalah sama seperti benih,
akan menuaikan buah sejenisnya.
Demikian meratap, dia turun ke bawah bumi dan terlahir di alam neraka yang dalam.
____________________
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, yang Beliau tunjukkan bagaimana pada masa lainnya, seperti pada masa itu, Devadatta menjadi jahat, kejam dan bengis, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah pemburu, Sāriputta adalah guru terkenal, Ānanda adalah Jollikin, Gotamī adalah ibu kera, dan Aku sendiri adalah Nandiya.”
____________________
Catatan kaki :
137 Questions of Milinda, iv. 4. 24 (diterjemahkan ke S. B. E., xxxv. 287).
138 Untuk pelemparan batu lihat di Cullavagga vii. 3. 9; Hardy, Manual, hal. 320.
139 Seekor gajah ganas, dilepaskan atas permintaan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha. Lihat di Cullavagga vii. 3. 11 f. (Teks Vinaya, S. B. E., iii. 247 f.); Milinda, iv. 4. 44 (dimana dia dipanggil Dhanapālaka, seperti di Vol. i. 57); Hardy, Manual, hal. 320.

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/cula-nandiya-jataka/#more-8974

Puta Bhatta Jataka

No. 223

PUṬA-BHATTA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Kehormatan untuk kehormatan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang tuan tanah.
Diceritakan bahwasanya pada suatu waktu, seorang tuan tanah warga Kota Sāvatthi melakukan bisnis dengan seorang tuan tanah dari desa. [203] Membawa istrinya bersama, dia mengunjungi orang ini, penghutang; tetapi penghutang menyatakan bahwa dia tidak dapat membayar. Dalam kemarahan, tuan tanah (beserta istrinya) berangkat pulang tanpa menyantap sarapan pagi. Dalam perjalanan, beberapa orang bertemu dengannya; dan melihat betapa kelaparannya orang tersebut, memberinya makanan, dan memintanya untuk berbagi dengan istrinya.
Ketika dia mendapatkan ini, dia tidak rela memberikan sebagian kepada istrinya. Maka kepada istrinya, dia berkata, “Istri, tempat ini terkenal sering dikunjungi oleh pencuri, jadi Anda lebih baik pergi ke depan.” Setelah berhasil menyingkirkannya, dia memakan semua makanan dan kemudian menunjukkan panci kosong kepadanya, sambil berkata — “Lihat ini, Istriku, mereka memberiku sebuah panci kosong!” Istrinya menduga bahwa suaminya telah memakan semuanya sendiri dan menjadi sangat jengkel.
Ketika mereka berdua melewati wihara di Jetavana, mereka berpikir akan masuk ke dalamnya dan minum air. Di sana Sang Guru duduk, dengan sengaja menunggu untuk menjumpai mereka, seperti seorang pemburu yang sedang mengintai, duduk di dalam kamar-Nya yang wangi (gandhakuṭi). Beliau menyambut mereka dengan ramah, dan berkata, “Upasika, apakah suami Anda baik dan menyayangimu?” “Saya mencintainya, Bhante,” jawabnya, “tetapi dia tidak pernah mencintaiku; dibiarkan sendirian, pada hari ini dia diberikan sepanci makanan dalam perjalanan dan tidak memberikan sedikit pun kepadaku, menghabiskan semuanya sendiri.” “Upasika, begitulah yang selalu terjadi—Anda menyayangi dan baik, dan dia tidak menyayangi; tetapi ketika dengan bantuan orang bijak, dia mengetahui kebaikanmu, dia kemudian memberikan semua kehormatan kepadamu.”
Kemudian, atas permintaannya, Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta adalah putra dari salah seorang pejabat istana. Ketika dewasa, dia menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Raja takut akan putranya, kalau-kalau dia bakal melukainya, dan mengirimnya pergi. Membawa istrinya, putranya itu pergi dari kota dan datang ke Desa Kāsi, tempat dia menetap. Setelah beberapa waktu, ayahnya meninggal, putranya mendengar hal itu dan kembali ke Benares; “Saya mungkin akan mewarisi kerajaannya yang merupakan hak kelahiranku,” katanya.
Dalam perjalanannya, seseorang memberinya nasi, sambil berkata, “Makan dan berikanlah kepada istrimu juga.” Tetapi dia tidak memberikan sedikit pun dan menghabisinya sendiri. [204] Istrinya berpikir — “Ini adalah seorang laki-laki yang sungguh kejam!” dan dia dipenuhi dengan kesedihan.
Ketika suaminya tiba di Benares dan mewarisi kerajaannya, dia menjadikan istrinya sebagai permaisuri raja, tetapi berpikir—“Sedikit saja cukup untuknya,” dia tidak memberikan penghargaan atau kehormatan lainnya, bahkan tidak menanyakan bagaimana keadaannya.
“Permaisuri ini,” pikir Bodhisatta, ”melayani raja dengan baik dan mencintainya, sedangkan raja tidak memikirkannya sedikit pun. Saya akan membuat raja memberikan kehormatan dan penghargaan kepadanya.” Maka dia datang ke permaisuri dan memberi salam, berdiri di satu sisi. “Ada apa, Guru?” tanyanya.
“Permaisuri,” Bodhisatta bertanya, “bagaimana kami dapat melayani Anda? Bukankah seharusnya Anda memberikan kepada orang-orang tua ini sepotong baju atau semangkuk nasi?” “Guru, saya tidak pernah menerima apa pun untuk diriku sendiri; apa yang dapat kuberikan kepada Anda? Jika saya menerima, apakah saya pernah tidak memberi? Tetapi sekarang raja tidak memberikan apa pun kepadaku, apalagi memberikan sesuatu kepada yang lain, ketika dia dalam perjalanan, dia menerima semangkuk nasi dan tidak memberikan sedikit pun kepadaku—dia menghabiskannya sendiri.”
“Baik, Permaisuri, sanggupkah Anda mengatakan ini di depan raja?”
“Ya,” balas permaisuri.
“Baiklah, kalau begitu. Hari ini, ketika saya berdiri di hadapan raja, di saat saya menanyakan pertanyaanku, berikanlah jawaban yang sama; dan hari ini juga saya akan membuat kebaikanmu disadari (oleh raja).” Maka Bodhisatta pergi dan berdiri di hadapan raja. Dan permaisuri juga pergi dan berdiri di dekat raja.
Kemudian Bodhisatta berkata, “Permaisuri, Anda sangat kejam. Bukankah seharusnya Anda memberikan orang-orang tua ini sepotong pakaian dan sepiring makanan?” Dan permaisuri menjawab, “Guru, saya sendiri tidak menerima apa pun dari raja: apa yang dapat saya berikan kepada Anda?”
“Bukankah Anda permaisuri raja?” Bodhisatta bertanya. “Guru,” kata permaisuri, “apa artinya menjadi seorang permaisuri raja kalau tidak ada kehormatan diberikan? Apa yang akan diberikan raja kepada saya sekarang? Ketika dia mendapatkan sepiring nasi di tengah perjalanan. [205] Dia bahkan tidak memberikan sedikit pun kepadaku, malah menghabiskan semuanya sendiri.”
Dan Bodhisatta bertanya kepada raja, “Benarkah begitu, Paduka?” Dan raja mengiyakannya. Ketika Bodhisatta melihat raja mengangguk, “Kalau begitu, Permaisuri,” katanya, “mengapa harus tinggal di sini bersama raja setelah dia telah menjadi tidak baik? Di dunia ini, kesatuan tanpa kasih sayang adalah hal yang menyakitkan. Ketika Anda tinggal di sini, kesatuan tanpa kasih sayang dengan raja akan membawa kesengsaraan bagimu. Rakyat menghormati orang yang menghormati (orang lain), dan ketika tidak ada yang menghormati—Segera setelah Anda melihatnya, Anda seharusnya pergi ke tempat lain; banyak orang yang hidup di dunia ini.”
Dan beliau mengucapkan bait-bait berikut:
Kehormatan untuk kehormatan,
kasih sayang untuk kasih sayang
adalah hal yang wajar:
Lakukan kebajikan untuk orang yang
melakukan hal yang sama terhadapmu:
Ketaatan menghasilkan ketaatan; tetapi ini jelas
tak seorang pun ingin membantu orang
yang tidak akan membantu lagi.
Membalas pengabaian untuk pengabaian,
jangan tinggal untuk menyenangkan orang
yang kasihnya telah tiada. Dunia ini luas; dan
ketika burung-burung melihat dari jauh pohon-pohon
yang telah kehilangan buah—mereka terbang pergi.
Mendengar ini, raja memberikan semua penghormatan kepada permaisurinya; dan sejak saat itu, mereka hidup bersama dalam persahabatan dan keharmonisan.
____________________
[206] Ketika Sang Guru telah mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Suami istri itu adalah orang yang sama di dalam kisah ini, dan penasihat bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/puta-bhatta-jataka/#more-8976