SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Selasa, 13 September 2011

BERDANA DENGAN PENGERTIAN BENAR

oleh Dhamma Sukkha Gotama pada 07 September 2011 jam 1:07

 
 Berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama
Saat ini akan dijelaskan tentang Sangha Dana, atau mempersembahkan dana kepada anggota Sangha diluar masa Kathina. Walaupun saat tersebut sudah tidak lagi di bulan Kathina tetapi bukan berarti perbuatan baik yang akan dilakukan kemudian menjadi kecil manfaatnya. Sebagai gambaran, kita akan melihat permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini ada beberapa peraturan dasar yang harus kita patuhi. Ada garisnya, ada cocknya, ada pemainnya, ada raket, kemudian pakaiannya pun khusus. Kita tidak dapat membayangkan andaikata permainan bulu tangkis ini tidak mempergunakan cock melainkan mempergunakan bola bekel, misalnya. Bagaimana bila bolanya di-smash dan kena kepala lawan main, pasti benjol! Bola bekel untuk bulu tangkis tidak akan cocok. Atau mungkin kita bisa membayangkan bulu tangkis dengan mempergunakan cock tetapi bulunya tinggal satu helai. Jadi kalau dipukul muntir-muntir. Tidak mungkin dipakai. Kita juga bisa tahu bahwa para pemain bulu tangkis membutuhkan pakaian tertentu, celana pendek dan kaos. Bayangkan saja bila kita sekarang bermain bulu tangkis dengan mengenakan jas. Juga tidak mungkin. Memang bukan pada tempatnya. Demikianlah ibarat bermain bulu tangkis demikian pula berdana. Kalau kita melihat permainan bulu tangkis ada yang memukul dan ada pula yang menerima, pukul lagi, terima lagi, konsep berdana juga sama, ada yang memberi dan ada yang menerima. Tapi si penerima tidak hanya menerima saja melainkan juga diumpan kembali, terima lagi-umpan lagi, demikian seterusnya. Karena seperti bulu tangkis yang membutuhkan beberapa aturan, maka berdanapun untuk mencapai nilai puncak, mencapai point tinggi, juga membutuhkan peraturan ataupun persyaratan.
Persyaratan pertama, dalam mempersembahkan dana kita hendaknya juga memperhatikan barang yang hendak didanakan. Barang yang kita persembahkan hendaknya barang yang bersih. Pengertian ‘bersih’ disini bukan berarti barang yang steril, misalnya piring yang disterilkan. ‘Barang bersih’ artinya kita mempersembahkan barang yang didapatkan dari perbuatan atau usaha yang baik, bukan dari mencuri maupun merampok. Namun sering muncul pertanyaan bagaimana kalau ada orang yang menjadi perampok budiman, merampoki orang kaya kemudian hasilnya dibagikan kepada orang yang miskin. Apakah perbuatan ini juga termasuk berdana? Sebenarnya perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai berdana tetapi berdana yang tidak sehat. Kalau ibarat bulu tangkis tadi cocknya bulunya cuma satu helai, bisa dipergunakan untuk bermain, tetapi bila dipukul akan muntir, tidak karuan dan membingungkan. Jadi orang yang berdana bingung dan si penerima dana juga bingung. Dana dengan cara sebagai perampok budiman akan menghasilkan buah yang kecil. Hal ini disebabkan karena barang yang didanakan didapat dari tindakan yang tidak benar. Akan jauh lebih baik bila kita berdana dengan barang yang bersih, barang yang kita dapatkan dari hasil keringat kita sendiri. Barang hasil perjuangan kita sendiri inilah yang memiliki nilai tinggi sekali. Oleh karena itu, umat hendaknya mempersiapkan persembahan dana Kathina ini dengan matang. mempersiapkan diri jauh sebelum bulan Kathina datang. Menyiapkan diri dengan menabung setiap hari sebagian penghasilannya sehingga bila telah tiba hari Kathina, tabungan dibuka dan dipersembahkan kepada Sangha.
Ada sebuah cerita dari negara Buddhis, Thailand. Di Thailand para bhikkhu biasanya setiap pagi keluar vihara untuk memberi kesempatan umat berbuat baik dengan mempersembahkan dana makan. Kegiatan ini disebut Pindapatta. Pada waktu pindapatta para bhikkhu berjalan perlahan sambil membawa mangkuk melewati tempat-tempat umum, kampung dan pasar. Pada suatu saat pernah terjadi seorang bhikkhu yang sedang berjalan membawa mangkuknya. Ia melihat di pinggir sebuah jembatan ada seorang pengemis yang sedang duduk. Pengemis itu memang setiap hari kerjanya duduk di situ. Mengemis. Namun dia tidak pernah mengemis kepada para bhikkhu. Suatu hari pengemis ini hendak mempersembahkan dana makan berupa nasi bungkus kepada bhikkhu tersebut. Si bhikkhu kaget dan berusaha menghindari si pengemis. Si bhikkhu berpikir bahwa si pengemis ini sudah sulit hidupnya karena itu tidak perlu ia mempersembahkan dana makan kepadanya. Akan tetapi, si pengemis malah meratap dan bertanya apakah ia sebagai pengemis miskin tidak diberi kesempatan berbuat baik? Mendengar kata-kata si pengemis, sang bhikkhu timbullah hati welas asihnya dan diterimalah persembahan dana makan dari si pengemis. Ternyata, si pengemis memang telah bertekad bahwa sebagian dari jumlah uang yang diterimanya pada pagi itu akan dipersembahkan kepada bhikkhu. Dana semacam ini dapat dikelompokkan sebagai dana yang bersih. Dana yang bersih ini bila diibaratkan dengan cock bulu tangkis tadi adalah bagaikan cock yang baru, mulus, timbangannya cocok, tidak oleng kemana-mana. Oleh karena dana yang diberikan ini betul-betul mulus, murni dari hasil dirinya sendiri.
Persyaratan kedua, barangnya baik. Barang baik adalah barang yang tidak rusak sehingga dapat dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Misalnya, kita sekarang bekerja keras karena mengetahui bahwa besok pagi akan mempersembahkan dana makan kepada para bhikkhu. Dengan hasil yang telah dikumpulkan, kita mempersiapkan makanan, tapi barangnya tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi. Hal itu termasuk barang yang bersih tetapi bukan barang baik. Keadaan itu ibarat sebuah cock dengan timbangan baik, tetapi bulunya sudah kusut tidak karuan karena terkena banyak smash.
Selain barang bersih, barang baik, persyaratan ketiga adalah barang layak. Barang layak artinya adalah barang yang sesuai dengan si penerima. Pantas. Janganlah kita mempersembahkan sisir rambut kepada para bhikkhu. Sisir baru yang dibeli dengan uang hasil kerja dalam hal ini memang barang yang bersih dan baik tetapi tidak sesuai untuk dipergunakan para bhikkhu. Begitu pula dengan mempersembahkan dana sepatu kepada para bhikkhu, tidak layak, tidak pantas. Barang-barang semacam ini adalah barang yang tidak sesuai.

Oleh karena itu, sebelum kita mempersembahkan dana, hendaknya kita renungkan terlebih dahulu apakah barang yang kita persembahkan itu telah sesuai untuk para bhikkhu ataukah kurang sesuai. Sesungguhnya para bhikkhu hanya membutuhkan empat kebutuhan pokok saja yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Tidak ada yang lain.
Sandang atau pakaian untuk para bhikkhu hanyalah satu set jubah. Pangan atau makanan yang diperlukan oleh para bhikkhu juga agak terbatas, terbatas waktu makannya. Para bhikkhu paling banyak sehari hanya makan dua kali saja sebelum tengah hari. Setelah jam 12 siang, para bhikkhu berpuasa, tidak makan lagi, minum pun terbatas jenisnya. Papan atau tempat tinggal untuk para bhikkhu biasanya berupa vihara atau untuk beberapa waktu dapat tinggal di rumah yang disediakan oleh umat. Obat-obatan untuk para bhikkhu biasanya juga telah banyak tersedia di vihara.
Keadaan ini kadang membuat para umat berpikir, bagaimana umat dapat ber-pindapatta, padahal umat sering baru mempunyai waktu ke vihara setelah jam 12 siang. Kemudian umat juga melihat bahwa para bhikkhu telah memiliki cukup sandang, pangan, dan papan atau tempat tinggal, serta obat-obatan di vihara. Sedangkan kebutuhan para bhikkhu hanyalah empat saja, dan kebutuhan ini pun tidak selalu diperlukan setiap saat, kecuali kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kemudian umat mewujudkan empat kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan dan obat-obatan ini dalam bentuk materi penggantinya atau dalam bentuk uang. Persembahan empat kebutuhan pokok dalam bentuk uang ini kemudian dimasukkan ke dalam amplop. Namun, walaupun pada waktu itu yang dipersembahkan adalah uang hendaknya dalam pikiran kita tetap merenungkan bahwa kita berdana empat kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, papan dan obat-obatan seharga nilai nominal uang yang dipersembahkan. Dengan mengingat hukum sebab dan akibat bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik, persembahan dana empat kebutuhan pokok itu akan dapat membuahkan kebahagiaan dalam bentuk kecukupan empat kebutuhan pokok dalam kehidupan kita. Sandangnya banyak macam, makanannya berlimpah ruah, tempat tinggalnya lebih dari satu, fasilitas obat-obatan lengkap, dapat berobat kemana-mana.
Berbicara tentang barang yang kita berikan kalau ibarat bulutangkis tadi adalah bolanya, maka disamping itu, bulutangkis juga perlu memperhatikan ketepatan waktu. Waktu memukul bola hendaknya dilakukan bila bola sudah datang, jangan bolanya masih dipegang musuh, kita sudah memukulnya, ketika bola datang kita malah diam tidak bergerak. Hal ini salah. Jadi, waktu atau saat memukul ini penting. Demikian pula, kapankah waktu kita berdana? Segera dilaksanakan, adalah merupakan persyaratan yang keempat. Apabila pikiran baik kita muncul, pada saat itu juga segera kerjakanlah. Jikalau kita menunda mengerjakan suatu perbuatan baik maka ada kemungkinan kita malahan membatalkan niat melakukan perbuatan baik itu, pikiran memang mudah berubah. Pikiran yang baik bila diproses secara lambat malahan hasilnya kita tidak jadi melakukan perbuatan apa-apa. Oleh karena itu, kapankah kita melakukan perbuatan baik? Pada saat terpikir, pada saat itu juga! Tidak perlu menunggu waktu lagi. Misalnya, kita akan berdana kepada para bhikkhu, tidak perlu menunggu nanti hari Kathina tahun depan saja. Kalau kita masih hidup. Kalau sudah meninggal? Hilanglah kesempatan kita berbuat baik. Kita juga tidak perlu menunggu jumlah bhikkhu yang hadir genap sembilan orang. Kalau bhikkhunya tidak datang semua? Atau kita harus menunggu kalau jumlah bhikkhunya mencapai empat orang karena jumlah itulah yang dapat disebut dengan Sangha. Itupun pendapat yang salah. Biarlah, seadanya bhikkhu saja. Justru bukan jumlah bhikkhu yang perlu kita pikirkan tetapi menjaga kondisi pikiran kita agar tetap memiliki niat baik itulah yang penting. Oleh karena itu, bila pikiran baik muncul, segera kerjakanlah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul keinginan berdana tetapi jarang menjumpai bhikkhu. Kesulitan ini dapat diatasi dengan cara mempersiapkan di rumah sebuah kotak dana terkunci. Anak kunci kotak ini dapat dititipkan pada seorang bhikkhu atau di vihara, misalnya. Jadi begitu timbul pikiran baik segera masukkan uang ke kotak dana tadi. Perbuatan ini dapat kita ulang setiap saat. Bila telah dirasa cukup dan masanya pun telah tiba, bolehlah kotak dana tadi dibuka dan isinya diserahkan ke vihara. Beres. Oleh karena itu, dalam berbuat kebaikan, hendaknya barangnya baik, bersih, sesuai, kemudian waktunya pun hendaknya segera dilaksanakan.
Sebagai persyaratan kelima, persembahan hendaknya sering dilakukan. Artinya bukan berdana sekali seumur hidup dalam jumlah sebesar-besarnya kemudian tidak pernah melaksanakannya lagi. Itu keliru. Contohnya, seseorang melaksanakan pelepasan satwa sejumlah 1000 ekor burung tetapi kemudian seumur hidup sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Sikap ini juga kurang tepat, hal ini berarti orang hanya mempunyai pikiran dan perbuatan baik sekali itu saja. Dalam pengertian agama Buddha kita hendaknya sering memberi kondisi pikiran dan perbuatan kita untuk melakukan kebaikan. Jadi, kalau memang kita telah bertekad dalam satu tahun akan membebaskan makhluk sebanyak seribu ekor, maka cobalah dibagi menjadi 20 kali melepas, misalnya; jadi setiap kali melepas sekitar 50 ekor. Dengan demikian, pikiran akan terkondisi untuk lebih sering berbuat baik. Jadi sering-seringlah untuk melakukan kebaikan seperti badminton yang tidak gampang turun bolanya karena para pemainnya trampil mengolah bola. Itu baru permainan menarik. Tapi apabila baru sekali pukul kemudian bolanya sudah jatuh, dipukul lagi, jatuh lagi. Sungguh permainan yang tidak menarik. Hal itu sama dengan orang yang setahun sekali baru berbuat baik, kurang besar manfaat bagi dirinya.
Apabila kita telah dapat melaksanakan dana secara rutin, maka hendaknya kita berdana dengan pikiran yang baik. Pikiran yang baik adalah persyaratan keenam. Diibaratkan pakaian orang bermain badminton harus bercelana pendek dan memakai kaos olah raga. Sulit dibayangkan bila seseorang hanya memakai salah satu dari pakaian perlengkapan bermain badminton tadi. Hanya pakai celana tanpa baju atau mengenakan baju tanpa celana…. Pikiran yang baik ini adalah pikiran bahagia pada saat kita mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana. Ada sebuah cerita tentang orang yang berdana. Hatinya senang ketika sedang mempersiapkan dana. Pada waktu mempersembahkan dana, ia masih merasa senang, namun setelah mempersembahkan dana timbullah penyesalan. Kondisi pikiran ini akan membuahkan kelahiran kembali sebagai anak orang kaya. Sejak kecil banyak harta dimilikinya. Kondisi kebahagian ini berlangsung sampai dengan ia dewasa. Akan tetapi, di masa tuanya ia jatuh miskin. Penderitaan di hari tua ini adalah buah penyesalannya setelah mempersembahkan dana tadi.
Sebaliknya, ada orang pada awalnya merasa tidak senang melakukan perbuatan baik. Pada waktu mempersembahkan dana juga memiliki pikiran yang kurang simpatik. Namun, setelah mempersembahkan dana ia merasakan kebahagiaan. Apakah buah karma pikiran semacam ini? Apabila ia terlahir kembali maka dimasa kecilnya ia menderita; pada usia dewasa ia juga masih menderita namun dihari tuanya ia akan berbahagia. Jadi kondiisi pikiran sebelum mempersembahkan dana mewakili keadaan kita di masa kecil dalam kehidupan yang akan datang. Kondisi pikiran ketika mempersembahkan dana mewakili usia dewasa. Kondisi pikiran setelah mempersembahkan dana mewakili usia tua. Oleh karena itu, sejak kecil, dewasa, sampai tua bahkan seumur hidup kita akan bahagia bila pada waktu mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah mempersembahkan dana pikiran kita selalu berbahagia.
Kembali tentang perumpamaan permainan bulu tangkis. Dalam permainan ini dibutuhkan para pemain. Para pemain hendaknya telah mengetahui aturan mainnya. Dengan mengikuti aturan main bulu tangkis maka permainan akan tertib, tidak kacau. Begitu pula dalam berdana, si pemberi dan si penerima hendaknya mempunyai kemoralan sila yang sama, minimal Pancasila Buddhis. Oleh karena itu, masalah tentang perampok budiman di atas adalah seperti permainan bulu tangkis yang tidak seimbang pemainnya. Seperti orang yang pandai badminton melawan orang yang baru saja belajar. Pusing. Demikian pula perampok yang mempersembahkan hasil rampokannya untuk vihara.
Begitu pula bila seorang wanita tuna susila mempersembahkan dana. Dana yang dipersembahkan diperoleh dari perbuatan yang melanggar sila. Memang dana itu masih tetap dapat diterima, sebab bila tidak diterima, kapan lagi mereka memiliki kesempatan berbuat baik dan memperbaiki keadaan? Jadi walaupun orang yang diberi dan yang memberi ini tidak seimbang, tetapi tetap bisa membawa manfaat. Seperti orang main badminton yang satu mengenakan jas sedangkan pemain yang lainnya mengenakan pakaian olah raga. Juga tidak apa-apa, masih tetap bisa bermain, hanya saja tidak seimbang.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum berdana kita memohon sila terlebih dahulu, minimal Pancasila Buddhis. Walaupun di luar gerbang Vihara ini kita telah melanggar salah satu sila atau bahkan kelima-limanya, tetapi kalau di dalam kompleks Vihara hendaknya kemoralan kita diperbaiki. Caranya adalah dengan memohon tuntunan Pancasila Buddhis yang terdiri dari tekad untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, bohong dan mabuk-mabukkan. Dengan menjalankan tuntunan itu, minimal selama dalam kompleks Vihara kemoralan kita menjadi lebih baik. Sehingga antara fihak yang memberi dan yang diberi sudah seimbang kemoralannya. Hal ini akan memperbesar manfaat dan buah kebajikannya. Permainan badmintonnya akan enak dinikmati. Para umat memberi, para bhikkhu pun memberi. Para umat memberikan materi yang diperoleh dari bekerja keras dalam masyarakat. Sedangkan para bhikkhu memberikan buah kebajikan yang besar kepada para umat yaitu dengan cara pengolahan diri sesuai Ajaran Sang Buddha, pelaksanaan kemoralan dengan sebaik-baiknya. Sehingga para umat benar-benar seperti menanam di ladang yang subur. Dana dari umat akan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sepiring nasi yang dipersembahkan bukan hanya untuk main-main tetapi akan diolah oleh tubuh para bhikkhu menjadi tenaga untuk menjaga kesehatan, menyambung kehidupan dan sekaligus untuk tenaga membabarkan Buddha Dhamma. Dengan demikian, sepiring nasi yang dipersembahkan, nilainya bukan lagi harga nominal sepiring nasi sewaktu dibeli. Bukan. Sepiring nasi ini nilainya menjadi nilai Dhamma, karena telah diubah menjadi tenaga untuk membabarkan dan melestarikan Buddha Dhamma. Di dalam Dhammapada XXIV, 21 dikatakan bahwa Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan segenap pemberian lainnya. Dengan sepiring nasi yang dipersembahkan kepada para bhikkhu sama dengan melaksanakan Dhammadana. Jenis dana yang paling tinggi untuk dipersembahkan. Dengan menerima persembahan kebutuhan sandang, pangan, papan dan obat-obatan, para bhikkhu dapat memanfaatkannya untuk pembabaran Dhamma di daerah-daerah lain. Dengan demikian, hasil setiap tetes keringat yang diberikan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana. Buah Dhammadana ini juga akan dinikmati sendiri oleh si pemberi dalam kehidupan ini.
Itulah hal yang bisa dilakukan dalam permainan bulu tangkis perbuatan baik ini. Para umat memberikan dukungan moral, kemudian memberikan dukungan material, menunjang kehidupan para bhikkhu. Para bhikkhu pun memberikan dukungan mental kepada para umat dengan memberikan contoh moral serta berjuang dalam kebajikan. Para bhikkhu pun selalu merenungkan dan mengingatkan diri sendiri, bahwa para umat telah menunjang kehidupan para bhikkhu selama menjalani kehidupan kebhikkhuan. Jadi, bila seorang bhikkhu telah 23 tahun menjadi bhikkhu, berarti selama 23 tahun pula hidupnya disokong oleh umat. Padahal, para umat bukanlah sanak maupun keluarganya. Umat dengan rela dan ikhlas telah menyantuni kehidupan para bhikkhu sampai sekian lama. Apakah sekarang balas jasa para bhikkhu kepada umat? Seperti dalam permainan bulu tangkis tadi, bila seorang pemain setelah mendapatkan bola hendaknya segera mengembalikannya kepada pemain yang lain. Demikian pula dengan para bhikkhu, setelah menerima persembahan hendaknya mengembalikannya lagi kepada umat dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin perjuangan dalam Dhamma dan pelaksanaan peraturan kemoralan. Sehingga semakin banyak umat menanam kebajikan, semakin lebat pula buah kebajikan yang diterimanya.
Dalam Manggala Sutta disebutkan bahwa berdana dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama. Para umat Buddha yang melaksanakan Dhamma dengan mempersembahkan dana kepada Sangha dapat juga disebut sebagai Dhammadana. Sebab, apapun yang dipersembahkan kepada para bhikkhu akan diubah menjadi Dhammadana, menjadi sarana pembabaran Dhamma kepada orang lain sehingga buah lebatnya akan dapat dimiliki si pemberi.

PATICCA SAMUPPADA

oleh Dhamma Sukkha Gotama pada 07 September 2011 jam 0:29

Paticca berarti disebabkan oleh atau bergantung pada ; Samuppada berarti timbul atau asal. Karena itu, secara harfiah, Paticca Samuppada berarti “ Sebab dan Akibat Yang Saling Bergantungan “. Disini perlu kiranya selalu diingat bahwa, Paticca Samuppada hanya merupakan suatu ajaran tentang proses kelahiran dan kematian, bukan suatu teori mengenai asal mula kehidupan. Paticca Samuppada menguraikan sebab musabab tumimbal lahir dan penderitaan, tetapi sama sekali bermaksud menerangkan evolusi dunia.
Kebodohan ( Avijja ) adalah mata rantai atau sebab pertama lingkaran kehidupan. Avijja mengaburkan semua pandangan benar. Bergantung pada kebodohan tentang Empat Kebenaran Mulia timbul kegiatan – kegiatan kehendak ( Sankhara ), baik yang bermoral atau tidak bermoral. Kegiatan – kegiatan kehendak, apakah baik atau buruk, yang berakar dalam kebodohan pasti akan menghasilkan akibatnya yang hanya memperpanjang pengembaraan hidup. Namun demikian, perbuatan – perbuatan baik tetap diperlukan untuk melenyapkan penderitaan hidup.
Bergantung pada kegiatan – kegiatan kehendak, timbullah kesadaran tumimbal – lahir ( Vinnana ) kesadaran ini menghubungkan kehidupan lampau dengan kehidupan sekarang. Bersamaan dengan timbulnya kesadaran tumimbal – lahir, muncul batin dan jasmani ( nama – rupa ). Enam indria ( salayatana ) merupakan akibat yang pasti dari batin dan jasmani. Karena enam indria, timbul kontak ( phassa ). Kontak menimbulkan perasaan ( vedana ). Kelimanya ini, kesadaran, batin dan jasmani, enam indria, kontak beserta perasaan, merupakan akibat perbuatan – perbuatan lampau dan disebut segi pasif kehidupan.
Bergantung pada perasaan, timbul nafsu keinginan ( tanha ). Nafsu keinginan menimbulkan kemelekatan ( upadana ). Kemelekatan merupakan sebab bagi proses kamma ( bhava ), yang selanjutnya menjadi syarat bagi kelahiran yang akan datang ( jati ). Kelahiran merupakan sebab yang pasti dari usia tua dan kematian ( jara marana ).
Bila karena sebab timbul akibat, maka bila sebab berakhir, akibat juga akan berakhir. Urutan balik Paticca Samuppada akan membuat persoalan ini menjadi lebih jelas.
Usia tua dan kematian dimungkinkan karena adanya suatu organisme psiko – fisik. Suatu organisme demikian harus dilahirkan ; karenanya, usia tua dan kematian mensyaratkan kelahiran. Kelahiran itu sendiri merupakan akibat pasti dari perbuatan – perbuatan lampau atau kamma. Kamma disyarati oleh adanya kemelekatan yang disebabkan oleh nafsu keinginan. Nafsu keinginan hanya dapat timbul di mana terdapat perasaan. Perasaan merupakan akibat dari kontak mensyarati organ – organ indria yang tak akan ada tanpa batin dan jasmani. Dimana terdapat batin dan jasmani di sana terdapat suatu kesadaran. Kesadaran merupakan akibat daripada kamma baik dan kamma buruk yang lampau. Melakukan kebaikkan dan keburukkan adalah karena tidak ada pengertian benar tentang segala sesuatu sebagaimana adanya ( kebodohan ).
Seluruh rumusan Paticca dapat diringkas sebagai berikut :
Dengan adanya kebodohan, timbul kegiatan – kegiatan kehendak.
Dengan adanya kegiatan – kegiatan kehendak, timbul kesadaran.
Dengan adanya kesadaran, timbul batin dan jasmani.
Dengan adanya batin dan jasmani, timbul enam landasan indria.
Dengan adanya enam landasan indria, timbul kontak ( kesan – kesan ).
Dengan adanya kontak, timbul perasaan.
Dengan adanya perasaan, timbul keinginan.
Dengan adanya keinginan, timbul kemelekatan.
Dengan adanya kemelekatan, timbul kamma.
Dengan adanya kamma, timbul kelahiran.
Dengan adanya kelahiran, timbul usia tua, kematian, kesedihan dan ratap tangis.
Dengan adanya usia tua, kematian, kesedihan dan ratap tangis timbul kelahiran kembali.
Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan timbul. Dua yang pertama dari dua belas mata rantai ini berhubungan dengan kehidupan lampau. Delapan yang selanjutnya berhubungan dengan kehidupan sekarang, sedangkan dua yang terakhir berhubungan dengan kehidupan yang akan datang.
Berakhirnya kebodohan secara mutlak mengakibatkan berhentinya seluruh kegiatan kehendak.
Berakhirnya seluruh kegiatan kehendak mengakibatkan berhentinya kesadaran tumimbal lahir.
Berakhirnya kesadaran tumimbal lahir mengakibatkan berhentinya batin dan jasmani.
Berakhirnya batin dan jasmani mengakibatkan berhentinya enam landasan indria.
Berakhirnya enam landasan indria mengakibatkan berhentinya kontak.
Berakhirnya kontak mengakibatkan berhentinya perasaan.
Berakhirnya perasaan mengakibatkan berhentinya keinginan.
Berakhirnya nafsu keinginan mengakibatkan berhentinya nafsu kemelekatan.
Berakhirnya nafsu kemelekatan mengakibatkan berhentinya kamma.
Berakhirnya kamma mengakibatkan berhentinya kelahiran.
Berakhirnya kelahiran mengakibatkan berhentinya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis.
Berakhirnya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis maka berakhirlah tumimbal lahir.
Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan berakhir.
Proses sebab dan akibat terus berlanjut tanpa batas. Permulaan proses ini tidak dapat ditentukan, karena tidak mungkin untuk menyatakan di mana arus kehidupan ini mulai diliputi oleh kebodohan. Tetapi bilamana kebodohan ini diubah menjadi pengetahuan dan arus kehidupan ini dialihkan ke Nibbana – dhatu, maka terjadilah akhir proses kehidupan atau samsara ini.

TENTANG SANG BUDDHA

oleh Dhamma Sukkha Gotama pada 06 Agustus 2011 jam 13:41
 
 Ketika Anak Bertanya
Tentang Sang Buddha dan Ajarannya


(Sumber: Ketika Anak Bertanya (tentang Sang Buddha dan Ajarannya)
Diterbitkan oleh: Sangha Theravada Indonesia, Edisi Pertama, Maret 2000
Editor: Sukhemo Mahathera MA, Uttamo Thera, Penyusun : Dharma K. Widya)

  1. Siddhattha adalah anak seorang raja, tapi mengapa lahirnya di hutan ?
    Pangeran Siddhattha terlahir di sebuah taman bunga yang indah yang disebut Taman Lumbini. Ini terjadi karena ketika tiba saat untuk melahirkan, sesuai dengan kebiasaan saat itu Ratu Mahamaya kembali ke rumah orangtuanya untuk melahirkan di sana. Namun di tengah perjalanan ketika beristirahat di taman itu Ratu melahirkan. Kelahiran para Buddha merupakan sebab kebahagiaan. Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan Dan usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan (Dhammapada 194)
  2. Mengapa Pangeran Siddhattha waktu lahir sudah bisa jalan ?
    Hal ini karena pada saat kelahiran itu Pangeran Siddhattha merupakan seorang bodhisatta (calon Buddha) yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan manusia pada umumnya.
  3. Mengapa pangeran Siddhattha memilih menjadi Buddha daripada membina rumah tangga?
    Pangeran Siddhattha sangat mencintai keluarganya, tetapi beliau memilih menjadi Buddha karena cinta kasih-Nya kepada semua makhluk agar semuanya dapat mencapai Kebebasan dan terlepas dari penderitaan. Cinta kasih yang sedemikian besar itu membuatnya rela mengorbankan dirinya sendiri maupun keluarga yang dicintainya demi kebahagiaan semua makhluk.
  4. Mengapa Pangeran Siddhattha bisa mencapai Penerangan Sempurna?
    Pangeran Siddhattha bisa mencapai Penerangan Sempurna sebagai hasil dari usaha yang dilakukan sejak beliau bertekad untuk menjadi seorang Buddha di hadapan Buddha Dipankara pada masa yang telah lama sekali. Setelah itu sebagai seorang calon Buddha (boddhisatta), beliau melaksanakan paramita (kebajikan) dalam banyak sekali kelahiran sampai akhirnya terlahir sebagai Pangeran Siddhattha.
  5. Apa arti kata Buddha?
    Kata Buddha berarti “Yang telah Bangun” atau “Yang telah Sadar”, yaitu seseorang yang dengan usahanya sendiri telah mencapai Penerangan Sempurna.
  6. Apakah boleh orang perempuan menjadi Buddha ?
    Di dalam agama Buddha, tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan karena kelahirannya karena seorang laki-laki dapat terlahir kembali menjadi perempuan dan sebaliknya. Seorang laki-laki atau perempuan dapat saja bercita-cita menjadi Buddha, hanya pada saat akan mencapai keBuddhaan maka ia harus dalam kelahiran sebagai seorang laki-laki.
  7. Apakah Sang Buddha bisa terbang ?
    Sang Buddha tentu saja bisa terbang. Ini terdapat dalam berbagai kisah dalam kehidupan Sang Buddha. Misalnya ketika suatu kali Sang Buddha ingin menyeberangi sungai tetapi tidak mempunyai uang untuk membayar tukang perahu, maka beliau melintasi sungai itu dengan terbang di atas air.
  8. Apakah Sang Buddha memiliki kesaktian?
    Sang Buddha memiliki abhinna (kemampuan batin luar biasa), di samping itu Sang Buddha pun memiliki kemampuan yang hanya dimiliki oleh seorang Buddha yaitu dari sebelah tubuh-Nya dapat memancarkan api sedangkan pada saat yang sama sebelah tubuh yang lain memancarkan air. Sebagai seorang Buddha beliau tidak dapat dibunuh oleh siapa pun juga.
    Catatan:
    Seseorang yang telah mencapai tingkat tertentu dalam meditasi dapat memiliki kemampuan batin luar biasa (abhinna) yaitu :
    - iddhi (kesaktian) misalnya kemampuan untuk terbang, mengubah diri, berjalan
    di atas air dan sebagainya
    - kemampuan untuk mendengar suara dari alam lain
    - kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain
    - kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul-lenyap-nya makhluk-
    makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan kammanya masing-masing
    - kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau
    - kemampuan untuk melenyapkan kekotoran batin dalam dirinya yang
    membimbing ke arah kesucian tertinggi
  9. Apakah Sang Buddha sayang pada ibunya ?
    Ibu Sang Buddha meninggal tujuh hari setelah melahirkan dan terlahir kembali sebagai seorang dewa di surga Tusita. Untuk menyatakan kasih sayang-Nya kepada ibu-Nya itu, Sang Buddha datang menemui ibu-Nya tersebut dan mengajarkan Dhamma sehingga ibu-Nya dapat mencapai kesucian. Itulah wujud rasa sayang dan terima kasih yang tertinggi yang dapat diberikan seorang anak kepada orangtuanya.
  10. Mengapa kaki Sang Buddha ada gambarnya ?
    Hal itu merupakan salah satu tanda Manusia Agung yang terdapat pada seorang Buddha.
  11. Mengapa Mara berani menggoda Sang Buddha ?
    Mara adalah suatu makhluk jahat yang mempunyai kesaktian, maka ia berani menggoda Sang Buddha. Namun ternyata segala kesaktian dan kemampuannya tidak dapat mengganggu ataupun menggoyahkan batin Sang Buddha.
  12. Mengapa Sang Buddha suka menolong orang ?
    Sang Buddha adalah seseorang yang penuh belas kasihan kepada semua makhluk. Sejak kecil beliau selalu menyayangi semua makhluk. Oleh karena itulah setelah menjadi seorang Buddha beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengajarkan ajaran yang membimbing semua makhluk untuk mencapai kebebasan dan kebahagiaan.
  13. Apakah Sang Buddha akan menolong kita kalau kita sedih ?
    Sang Buddha telah wafat dua ribu lima ratus tahun yang lalu, maka tentu saja secara langsung tidak dapat menolong kita kalau kita sedih. Tetapi apabila kita mempelajari dan melaksanakan apa yang beliau ajarkan, maka kesedihan kita akan berkurang dan kita akan menjadi lebih berbahagia.
  14. Kalau kita minta sesuatu apakah Sang Buddha akan memberikannya ?
    Sang Buddha tentu tidak dapat memberikan segala sesuatu yang kita minta. Tetapi Sang Buddha mengajarkan bahwa untuk mendapat sesuatu seseorang harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita akan mendapat sesuatu yang baik apabila kita berbuat kebaikan. Ini berarti setiap orang akan mendapat sesuatu sesuai dengan apa yang telah dilakukannya.
  15. Di mana kita bisa bertemu Sang Buddha ?
    Pada saat ini kita tidak dapat bertemu dengan Sang Buddha karena Sang Buddha telah wafat. Tetapi Sang Buddha menyatakan : “Barangsiapa melihat Dhamma, melihat juga Aku” yang berarti barang siapa yang ingin melihat Sang Buddha hendaknya mempelajari dan melaksanakan Dhamma ajaran Sang Buddha dengan sungguh-sungguh.
  16. Apa fungsi patung Sang Buddha itu ?
    Bagi umat Buddha, patung Sang Buddha berfungsi untuk mengingatkan mereka akan Sang Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna sehingga akan mendorong mereka untuk lebih berusaha sungguh-sungguh menjalani ajaran Sang Buddha untuk mencapai kebahagiaan. Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar. Sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran (Dhammapada 296)
  17. Mengapa kepala patung Sang Buddha ada bulatan-bulatan kecil ?
    Pada waktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana, beliau memotong rambut. Rambut yang tersisa membentuk lingkaran-lingkaran kecil dengan arah lingkaran ke kanan. Maka pada kepala patung Sang Buddha ada bulatan-bulatan kecil. Hal ini merupakan salah satu dari tiga puluh dua tanda Manusia Agung yang terdapat pada diri seorang Buddha.
  18. Mengapa patung Sang Buddha telinganya panjang dan kepalanya agak menjorok ke atas tidak seperti manusia biasa ?
    Patung Sang Buddha tidaklah dibuat begitu saja, namun diusahakan sesuai dengan ciri-ciri seorang Buddha seperti yang terdapat dalam Kitab Suci. Oleh karena itu penampakan patung Sang Buddha agak berbeda dengan manusia biasa karena mencirikan seorang Manusia Agung. Salah satu tanda dari Manusia Agung adalah kepala yang bagaikan kepala berserban.
  19. Mengapa patung Sang Buddha ada duduk, berdiri, tidur, dan sikap tangannya berbeda-beda ?
    Patung Sang Buddha dibuat dalam sikap badan dan tangan yang berbeda-beda untuk menggambarkan posisi Sang Buddha dalam keadaan meditasi maupun untuk menggambarkan keagungan Sang Buddha.
  20. Mengapa patung Sang Buddha duduk di atas bunga teratai ?
    Patung Sang Buddha sering dibuat dengan bunga teratai di bawahnya karena bunga teratai melambangkan sesuatu yang tetap bersih tak ternoda walaupun tumbuh di tempat yang kotor. Demikian pula Sang Buddha adalah seorang makhluk suci yang batinnya tidak ternoda oleh kekotoran sekecil apapun meskipun hidup di dunia yang penuh dengan kekotoran

INTI SARI AJARAN BUDDHA

1. KITAB SUCI AGAMA BUDDHA




Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah
TIPITAKA, yang terdiri dari :
  1. Vinaya Pitaka yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni.
  2. Sutta Pitaka yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha
  3. Abidhamma Pitaka yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan.
Sedangkan yang tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah :
  1. Avatamsaka Sutra.
  2. Lankavatara Sutra.
  3. Saddharma Pundarika Sutra.
  4. Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain.
2. KESUNYATAAN DAN KENYATAAN
  1. Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth), dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
    1. Harus benar.
    2. Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja.
    3. Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sama saja.
  2. Sammuti-sacca : Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapimasih terikat oleh waktu dan tempat.
3. EHIPASSIKO
Ehipassiko berarti “datang dan alamilah sendiri”. Umat Buddha tidak diminta untuk percaya saja, tetapi justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini menunjukkan khas Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain.
4. EMPAT KESUNYATAAN MULIA
I. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) : a. dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan. b. berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan. c. ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan. d. tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan. e. masih memiliki lima khanda adalah penderitaan. Dukkha dapat juga dibagi sbb. : a. dukkha-dukkha - ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll. b. viparinäma-dukkha - merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia –berdasarkan sifat ketidak-kekalan– di dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan, kekesalan dll. c. sankhärä-dukkha - lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik. II. Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya.
Dikenal tiga macam tanhä, yaitu :
1. Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :
a. bentuk-bentuk (indah)
b. suara-suara (merdu)
c. wangi-wangian
d. rasa-rasa (nikmat)
e. sentuhan-sentuhan (lembut)
f. bentuk-bentuk pikiran
2. Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya “atma (roh) yang kekal dan terpisah” (attavada). 3. Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda). III. Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana. a. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan ‘sisa’ dimaksud bahwa lima khanda itu masih ada. b. An-upadisesa-Nibbana = Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : ‘tidak tahu’ Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar.
IV. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, yaitu : Pañña
1. Pengertian Benar (sammä-ditthi) 2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) Sila
3. Ucapan Benar (sammä-väcä) 4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) 5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva) Samädhi
6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) 7. Perhatian Benar (sammä-sati) 8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. : 1. Pengertian Benar (sammä-ditthi)
menembus arti dari :
a. Empat Kesunyataan Mulia b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum) c. Hukum Paticca-Samuppäda d. Hukum Kamma 2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian
(nekkhamma-sankappa).
b. Pikiran yang bebas dari kebencian
(avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman
(avihimsä-sankappa)
3. Ucapan Benar (sammä-väcä)
Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :
a. Ucapan itu benar b. Ucapan itu beralasan c. Ucapan itu berfaedah d. Ucapan itu tepat pada waktunya 4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) a. Menghindari pembunuhan b. Menghindari pencurian c. Menghindari perbuatan a-susila 5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
5. pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu :
a. Penipuan b. Ketidak-setiaan c. Penujuman d. Kecurangan e. Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat) Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu : a. Berdagang alat senjata b. Berdagang mahluk hidup c. Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup) d. Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan e. Berdagang racun. 6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) a. Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin. b. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam bathin. c. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam bathin. d. Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam bathin. 7. Perhatian Benar (sammä-sati)
Sammä-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu :
a. Käyä-nupassanä       = Perenungan terhadap tubuh b. Vedanä-nupassanä    = Perenungan terhadap perasaan. c. Cittä-nupassanä         = Perenungan terhadap kesadaran. d. Dhammä-nupassanä   = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. 8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Latihan meditasi untuk mencapai Jhäna-Jhäna.
Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh : 1. Sila-visuddhi - Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa. 2. Citta-visuddhi - Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana. 3. Ditthi-visuddhi - Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan lebih lanjut seperti di bawah ini :
Asava Delapan Jalan Utama 1. Kilesa 3. Ucapan Benar
4. Perbuatan Benar
5. Pencaharian Benar
Sila 2. Nivarana 6. Daya-upaya Benar
7. Perhatian Benar
8. Konsentrasi Benar
Samadhi 3. Anusaya 1. Pengertian Benar
2. Pikiran Benar
Pañña Asava = Kekotoran bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: 1. Kilesa = Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar. 2. Nivarana = Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak sukar diketahui. 3. Anusaya = Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat sukar untuk diketahui. BHAVANA Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) : I. Samatha-bhavana = Meditasi untuk mendapatkan ketenangan bathin melalui Jhäna-Jhäna.
Jhäna pertama : a. Vitakka = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. b. Vicära = Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat. c. Piti = Kegiuran d. Sukha = Kebahagiaan. e. Ekaggata = Pemusatan pikiran yang kuat. Jhäna kedua : Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata. Jhäna ketiga : Piti, Sukha, Ekaggata. Jhäna keempat : Sukha, Ekaggata. Jhäna kelima : Ekaggata + keseimbangan bathin. Meditasi Samatha-bhävanä yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri dari : 1. Mettä-bhävanä = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. 2. Karunä-bhävanä = Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang sedang menderita. 3. Muditä-bhävanä = Meditasi yang mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain. 4. Upekkhä-bhävanä = Meditasi keseimbangan bathin. Brahmä-Vihära-bhävanä dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Tiga Akar Perbuatan Tiga hal yang di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk melakukan perbuatan, yaitu : 1. Lobha = Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan keserakahan. 2. Dosa = Penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan kebencian. 3. Moha = Kebodohan ; tidak dapat menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik. II. Vipassanä-bhävanä = Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tentang hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Latihan-latihan Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar (sammä-sati).
Tujuan dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk menyingkirkan Nivarana (lihat pembahasan Asava) yang dianggap sebagai rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin maupun Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya dari benda-benda.
Perincian dari Nivarana adalah sbb. :1. Kämacchanda — nafsu keinginan
2. Vyäpäda — keinginan jahat, kebencian dan amarah.
3. Thina-middha — lamban, malas dan kesu.
4. Uddhacca-kukkucca — gelisah dan cemas.
5. Vicikicchä — keragu-raguan.
Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan :
1. Puthujjana - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian. 2. Ariya-puggalä - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama.
Tingkat-tingkat kesucian
Tingkat kesucian Belenggu yang harus dipatahkan ; Lahir kembali 1. Sotäpanna 1. Sakkäyaditthi = Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal. 2. Vicikicchä = Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya. 3. Silabbataparämäsa = Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Maksimum
7 kali
2. Sakadägämi Melemahkan belenggu-belenggu nomor 4 dan 5. 1 kali 3. Anägämi 4. Kämaräga = Nafsu Indriya. 5. Vyäpäda = Benci, keinginan tidak baik.
Setelah meninggal dunia, seorang Anägämi akan terlahir di sorga Suddhavasa dan disitu akan mencapai Tingkat Arahat.
Tidak akan terlahir kembali di alam manusia 4. Arahat 6. Ruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. 7. Aruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk. 8. Mäna = Ketinggian hati yang halus. 9. Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar. 10. Avijjä = Kegelapan bathin. Mencapai Nibbana Keterangan : Perbedaan antara Avijjä dan Moha. Avijjä = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat menembus arti dari Empat Kesunyataan Mulia, Hukum Tilakkhana, Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamma. Moha = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik.
5.HUKUM TILAKKHANA (TIGA CORAK UMUM)
Hukum Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum ini berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh waktu dan tempat.
    1. Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu :
      Uppada
      (timbul)
      Thiti
      (berlangsung)
      Bhanga
      (berakhir/lenyap)
    2. Sabbe sankhärä dukkhaApa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan.
    3. Sabbe Dhammä AnattäSegala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang kekal/abadi.Contoh dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana.
Di samping paham anattä yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain yaitu :
    1. AttavädaPaham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan berlangsung sepanjang masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
    2. UcchedavädaPaham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Uraian secara matematika tentang ketiga paham tersebut adalah sbb. :
Attaväda
  1. A + p = A + p
  2. (A + p) + p1 = A + p + p1
  3. (A + p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2
  4. (A-p-p1-p2) + … + pn = A + p + p1 + p2 + … + pn
Ucchedaväda
  1. A + p = Nihil
Anattä
  1. A + p = BA = Atma, roh
  2. B + p1 = Cp = Pengalaman hidup
  3. C + p2 = DI, II, III = Kehidupan ke I, II, III.
Contoh konkrit tentang paham anattä, misalnya kalau kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dll.. Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan : ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali.
Kesimpulan : Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.
LIMA KHANDHA
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :
  1. Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
  2. Sañña = Pencerapan.
  3. Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
  4. Vedanä = Perasaan.
  5. Viññana = Kesadaran.
Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan nama. Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. :
  1. RupaKita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita.
  2. Viññana (citta)Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
  3. SaññaRangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
  4. SankhäraRangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
  5. VedanäDengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita.
Proses mental ini berlangsung sbb. :
Kesadaran   Pencerapan   Pikiran   Perasaan.
Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa.
6.HUKUM PATICCA-SAMUPPADA
Paham anattä dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum Paticca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan). Prinsip dari Hukum ini diberikan dalam empat formula pendek, yaitu :
  1. Imasming Sati Idang Hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
  2. Imassuppädä Idang UppajjatiDengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
  3. Imasming Asati Idang Na Hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
  4. Imassa Nirodhä Idang Nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebab-musabab) :
  1. Avijjä Paccayä SankhäraDengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma.
  2. Sankhära Paccayä ViññänangDengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.
  3. Viññäna Paccayä NamarupangDengan adanya kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani.
  4. Namarupang Paccayä Saläyatanang.Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indriya
  5. Saläyatana Paccayä Phassa.Dengan adanya enam indriya, maka terjadilah kesan-kesan.
  6. Phassa Paccayä Vedanä.Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan.
  7. Vedanä Paccayä Tanhä.Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanhä (keinginan).
  8. Tanhä Paccayä Upädänang.Dengan adanya tanhä (keinginan), maka terjadilah kemelekatan.
  9. Upädäna Paccayä Bhavo.Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal lahir.
  10. Bhava Paccayä Jati.Dengan adanya proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali.
  11. Jati Paccayä Jaramaranang.Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll.
  12. Jaramarana.Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali.
Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus. Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka kita akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhenti seluruhnya dari kebodohan, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka terhenti pulalah kesadaran; ….. dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhenti pulalah kelapukan, kematian, kesedihan dll.
7. HUKUM KAMMA
Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti “perbuatan”, yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda :
“O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana) itulah yang Kami namakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikiran.”
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan. Memang segala sesuatu yang lampau mempengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada “di tangan kita” sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik.
Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong mahluk-mahluk lain, membuat mahluk-mahluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan membawa satu kamma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan kamma yang lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik adalah sbb. :
Lemparkanlah batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatikanlah bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas di mana batu tadi dijatuhkan.
Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita seperti halnya dengan gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana batu itu dijatuhkan.
Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb :
“Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padanya”.
Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat suatu kesalahan. janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan berlangsung terus.
Terdapat dua belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci di sini. Bentuk kamma yang lebih berat (bermutu) dapat menekan — bahkan menggugurkan — bentuk-bentuk kamma yang lain. Ada orang yang menderita hebat karena perbuatan kecil, tetapi ada juga yang hampir tidak merasakan akibat apapun juga untuk perbuatan yang sama. Mengapa? Orang yang telah menimbun banyak kamma baik, tidak akan banyak menderita karena perbuatan itu, sebaliknya orang yang tidak banyak melakukan kamma-kamma baik akan menderita hebat.
Singkatnya : Kamma Vipaka dapat diperlunak, dibelokkan, ditekan, bahkan digugurkan.
Kamma dapat dibagi dalam tiga golongan :
  1. Kamma Pikiran (mano-kamma).
  2. Kamma Ucapan (vaci-kamma).
  3. Kamma Perbuatan (kaya-kamma).
10 (sepuluh) jenis kamma baik
  1. Gemar beramal dan bermurah hatiakan berakibat dengan diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
  2. Hidup bersusilamengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang keadaannya berbahagia.
  3. Bermeditasiberakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
  4. Berendah hati dan hormatmenyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
  5. Berbaktiberbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
  6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lainberbuah dengan terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
  7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lainmenyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan.
  8. Sering mendengarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
  9. Menyebarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No. 8).
  10. Meluruskan pandangan orang lainberbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
10 (sepuluh) jenis kamma buruk
  1. Pembunuhanakibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan
  2. Pencurianakibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain.
  3. Perbuatan a-susilaakibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya.
  4. Berdustaakibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
  5. Bergunjingakibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti.
  6. Kata-kata kasar dan kotorakibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain.
  7. Omong kosongakibatnya bertubuh cacad, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.
  8. Keserakahanakibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
  9. Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lainakibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
  10. Pandangan salahakibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.
Lima bentuk kamma celaka
Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah kelahiran di alam neraka :
  1. Membunuh ibu.
  2. Membunuh ayah.
  3. Membunuh seorang Arahat.
  4. Melukai seorang Buddha.
  5. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.

8.HIRI DAN OTAPPA
Dua ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu melindungi dunia dari kekacauan :
  1. HiriPerasaan malu, yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak baik.
  2. OtappaPerasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
9. ATTHALOKA-DHAMMA
Dalam penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari 8 (delapan) keadaan, yaitu :
  • läbha – aläbhauntung – rugi
  • yasa – ayasaterkenal – tak terkenal
  • nindä – pasamsädicela – dipuji
  • sukha – dukkhagembira, bahagia – sedih, menderita dll.

                                                                                                                By : Dhamma Sukha gotama

ARTI NOMOR SESUAI FENGSUI

Angka merupakan sebuah hal yang unik dan pasti dalam sebuah kehidupan, karena semua yang ada di dunia ini hampir bisa semuanya dihitung. Menurut Feng Shui, dimana Feng artinya Arah dan Shui Air (Tempat), yang dapat diartikan ramalan atau analisa terhadap tempat atau arah nomor atau tata ruang, nomor nomor yang terlibat dalam lingkungan sehari hari dapat menjadi peruntungan bagi seseorang yang memakainya. Contoh saja nomor handphone, nomor mobil, nomor rumah, dll. Beberapa masyarakat percaya bahwa dengan nomor hoki (Nomor Hoki belum tentu nomor cantik), bisa merubah peruntungan kehidupannya. Maka orang dengan gencar memilih nomor nomor hoki dan bila perlu mencari nomor hoki dan cantik. Tetapi ada pula orang yang memilih nomor cantik tetapi artinya tidak hoki.

***********

Dalam metode perhitungan feng shui, nomor nomor bisa diartikan sebagai berikut :

Angka 0 berarti : Khusus, Special, LANGKA
Angka 1 berarti : Satu , satu-satunya, saya, diri sendiri,
Angka 2 berarti : Mudah, gampang, tidak sulit
Angka 3 berarti : Menemukan, mendapatkan, hidup
Angka 4 berarti : Mati, miskin, susah
Angka 5 berarti : Tidak akan, tidak pernah, tidak bisa
Angka 6 berarti : Menuju, akan
Angka 7 berarti : Tepat, Hoki, Pasti, atau bisa disebut juga ketuhanan.
Angka 8 berarti : Makmur
Angka 9 berarti : Sukses, panjang, lama

***********

Kombinasi kombinasi angka pun bisa berarti beraneka ragam, berdasarkan artian dari feng shui tersebut, misalkan :

168 artinya saya akan makmur
328 artinya menemukan kemudahan untuk makmur
28 artinya mudah makmur
54 artinya tidak akan susah, tidak akan miskin
78 artinya pasti makmur

Nomor nomor yang dijauhi seperti :
64 artinya akan miskin
74 artinya pasti miskin
58 artinya tidak akan makmur
24 artinya mudah mati
34 artinya hidup susah

***********

Tetapi ada beberapa hal yang menurut feng shui tidak baik jika dikombinasikan, seperti angka 69 , walaupun jika diartikan akan sukses, tetapi dalam feng shui tidak berarti demikian.

Begitu juga dengan angka 77 biasanya dengan ramalam metode feng shui, orang yang memiliki angka 77, orangnya rewel dan banyak omong.

Tapi jika anda percaya, jangan menempatkan angka 4 di belakang nomor nomor anda, karena menurut feng shui, artinya tidak baik.

***********

Nomor cantik bukan berarti nomor hoki, coba anda lihat angka 6464, cantik bukan ? tapi artinya akan miskin berulang ulang, ataupun angka 5588 yang artinya tidak akan makmur.

Karena tidak semua nomor cantik itu hoki, jika anda percaya, berhati hatilah untuk memilih nomor, apalagi ditawarin teman nomor cantik yang sebenarnya merupakan angka tidak hoki.

***********

Sekarang Coba Anda RamaL peruntungan-nya NO HP anda dgn metode ini :

Jumlahkan semua digit no HP anda = ???
(lalu cocokan dgn arti fengsui nya dah)

contoh

081218312345 --> 0+8+1+2+1+8+3+1+2+3+4+5 = 38

38 === > MENEMUKAN MAKMUR
( bearti jalan bisnis dll yang sedang anda jalanin sekarang sudah OK! tinggal menunggu hasil MANTAB nya saja )




http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6168955&page=197