SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Jumat, 30 September 2011

Kisah-kisah keberadaan Mahluk Peta/Hantu

                                                  Kisah  Matthakundali

Seorang brahmana bernama Adinnapubbaka mempunyai anak tunggal yang amat di cintai dan di sayangi  bernama Matthakundali. Sayang, Adinnapubbaka adalah seorang kikir dan tidak pernah memberikan sesuatu kepada orang lain. Bahkan perhiasan emas untuk anak tunggalnya di kerjakan sendiri demi menghemat upah yang harus diberikan  kepada tukang emas.

Suatu hari, anaknya jatuh sakit, tetapi tidak satu tabibpun di undang untuk mengobati anaknya. Ketika menyadari anaknya telah mendekati ajal, segera ia membawa anaknya keluar rumah dan di baringkan di beranda, sehingga orang-orang yang berkunjung kerumahnya tidak mengetahui keadaan itu.

Sebagaimana biasanya di waktu pagi sekali, Sang Buddha bermeditasi. Setelah selesai, dengan mata Ke-Buddha-an Beliau melihat ke seluruh penjuru, barangkali ada mahluk yang memerlukan pertolongan. Sang Buddha melihat Matthakundali sedang berbaring sekarat di beranda.  Beliau merasa bahwa anak itu memerlukan pertolongannya.

Setelah memakai jubah-Nya,  Sang  Buddha memasuki  kota Savatthi untuk berpidapatta. Akhirnya beliau tiba di rumah brahmana Adibbapubbaka. Beliau berdiri di depan pintu rumah dan memperhatikan  Matthakundali.  Rupanya  Matthakundali tidak sadar sedang di perhatikan. Kemudian Sang Buddha memancarkan sinar dari tubuh-Nya, sehingga mengundang perhatian  Matthakundali, brahmana muda.

Ketika brahmana muda melihat Sang Buddha timbullah keyakinan yang kuat dalam batinnya.  Setelah Sang Buddha pergi, ia meninggal dunia dengan hati yang penuh keyakinan terhadap Sang Buddha dan terlahir di alam surga Tavatimsa.

Dari kediamannya di surga,  Matthakundali  melihat ayahnya  berduka cita atas dirinya di tempat kremasi. Ia merasa iba. Kemudian ia menampakan dirinya sebagaimana dahulu sebelum ia meninggal, dan memberitahu ayahnya bahwa ia telah terlahir di alam surga Tavatimsa karena keyakinannya kepada Sang Buddha. Maka ia menganjurkan ayahnya mengundang dan berdana makanan kepada Sang Buddha.

Brahmana Adinnapubbaka mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan. Selesai makan,  ia bertanya,  "Bhante, apakah seseorang dapat, atau tidak dapat, terlahir dialam surga; hanya karena berkeyakinan  terhadap Buddha tampa berdana dan tampa melaksanakan moral (sila)?"

Sang Buddha tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kemudian Beliau memanggil dewa Matthakundali agar menampakkan dirinya. Matthakundali segera menampakkan diri, tubuhnya di hiasi  dengan perhiasan surgawi, dan menceritakan  kepada orang tua dan sanak  keluarganya yang hadir, bagaimana ia dapat terlahir  di alam surgawi Tavatimsa. Orang-orang yang memperhatikan  dewa tersebut  menjadi kagum, bahwa anak brahmana Adinnapubbaka mendapatkan  kemuliaan hanya dengan keyakinan terhadap Sang Buddha.

Pertemuan itu di akhiri oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair kedua berikut ini :

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang  berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya  bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan badannya.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Matthakundali dan Adinnapubbaka langsung mencapai tinggkat kesucian sotapatti. Kelak, Adinnapubbaka mendanakan hampir semua kekayaannya  bagi kepentingan Dhamma. (Dhammapada Atthakatha Bab 1 Syair 2)


                                                       Kisah  Seorang  Pejabat  

Ketika seseorang  takut akan kehilangan hartanya, maka pikirannya terikat pada harta tersebut. Ada beberapa kasus di mana pada waktu seseorang menjelang kematiannya, pikirannya penuh dengan  kedengkian  dan ia pun terlahir menjadi ular yang selalu menjaga benda miliknya tersebut.  Siapapun
yang mendekati benda tersebut, ular itu akan segera menampakan dirinya.  Baru-baru ini ada seorang pejabat yang sangat mencintai sebuah patung Buddha  bahkan sampai ia meninggal. Temannya ingin melihat jenazah nya dan juga patung Buddha tersebut. Ketika  itu muncullah seekor ular kobra yang memperhatikan orang-orang yang sedang melihat patung tersebut.  Orang-orang yang datang melihat patung Buddha    tersebut tahu bahwa pemilik patung tersebut menjaga patungnya dengan pikiran dengki. Maka  mereka berkata pada ular tersebut "Jangan khawatir , kami kemari hanya melihat patung itu. Kami tidak akan mengambilnya."  Ular itupun kemudian pergi. Ini merupakan kisah nyata yang baru terjadi  dan di percaya seseorang  yang mempunyai perasaan dengki  atas sesuatu  akan lahir sebagai ular yang menjaga hartanya dan tidak akan dapat menerima hasil  perbuatan baik yang telah ia lakukan  sampai pikirannya terlepas dari  kemelekatan akan hartanya tersebut. (dikutip dari buku "Betapa Pentingnya kehidupan Saat ini. " Di tulis oleh Somdet Phra  Nana Samvara, Sangharaja Thailand).

                                                     Kisah Raja Naga Erakapatta  

Pada massa Buddha Kassapa, ia merupakan seorang bhikkhu. Suatu hari ketika  bhikkhu muda tersebut  sedang menyusuri  Sungai gangga dengan sampan. ia menjulurkan tangannya dan memegang sebilah rumput yang di sebut  erakapatta. Eraka adalah nama rumput tersebut dan patta artinya daun atau bilah. Ia tidak melepaskan genggamannya pada rumput tersebut  meskipun sampannya terus melaju kencang. Akibatnya, bilah rumput tersebut patah. Menurut Vinaya, adalah suatu pelanggaran ringan bila merusak tumbuh-tumbuhan dengan sengaja. Tetapi ia berpikir, " Ah, itu hanya masalah sepele,"  dan tidak berusaha untuk mengakui pelanggarannya kepada bhikkhu lain. (Apabila seorang bhikkhu melanggar maka ia harus memperbaiki dengan mengaku di hadapan seorang bhikkhu  lain jika merupakan pelanggarana ringan, atau menjalani suatu masa hukuman sementara yang memerlukan sidang resmi Sangha jika merupakan pelanggaran yang berat tetapi masih dapat di perbaiki, atau di keluarkan dari Sangha jika merupakan suatu pelanggaran berat termasuk dalam P ār ājika (Terkalahkan). Hanya melalui prosedur yang ada barulah sila-nya  dikatakan murni kembali . Kemurnian  dari sila merupakan prasyarat bagi kemajuan meditasi).

Karena bhikkhu  itu berpikir itu  hanya pelanggaran yang ringan  maka ia segera melupakannya. Tetapi setelah ia bermeditasi selama 20.000 tahun di hutan. Walaupun ia telah berusaha dengan gigih, ia tetap tidak mampu mencapai pencerahan. Teryata, ketika ia meninggal, ia merasa seakan-akan erakapatta (bilah rumput yang ia patahkan) sedang mencekiknya. Sekarang ia sungguh ingin mengakui pelanggaran yang telah dilakukannya, namun tidak ada bhikkhu lain di sekitarnya.
"Oh, betapa tidak murninya sila-ku!" sesalnya.

Ketika itu, ia meninggal dan terlahir kembali  sebagai raja naga dengan  nama Raja Naga Erakappatta. Begitu ia melihat tubuh barunya, kembali ia merasakan penyesalan. "Setelah sekian lama bermeditasi, sekarang aku terlahir sebagai mahluk tampa akar pemakan katak. Tragedi, sungguh tragedi!"

Mahluk naga memiliki usia hidup yang sangat panjang. Raja naga Erakapatta hidup melebihi rentang usia Buddha Gotama. Ketika ia mendengar bahwa seorang  Sammasambuddha yang lain-yakni Buddha  Gotama-telah muncul, ia datang  untuk memberi hormat kepada-Nya serta mengungkapkan  penyesalannya atas apa yang telah menyebabkannya mengalami  kelahiran yang tidak menguntungkan itu. Sang Buddha kemudian membabarkan  Dhamma dan menyimpulkannya dengan syair.

"Sungguh jarang kelahiran sebagai manusia.
  Sungguh sulit kehidupan manusia.
  Sungguh sulit untuk  dapat mendengarkan Dhamma
  Sungguh jarang munculnya seorang Buddha."

Pada akhir khotbah, 84.000 mahluk mencapai pencerahan. Sang Raja naga juga sebenarnya  akan mencapai  Buah Pemasuk Arus (Sotapana) jika saja ia bukan hewan (naga)

                                               Perbuatan (Kamma) Kebiasaan

hal 3
bersambung  ke hal 4

Kisah-kisah keberadaan Mahluk Peta/Hantu

Perbuatan (kamma) Menjelang Kematian 

Prioritas berikutnya adalah  kamma/perbuatan menjelang  kematian, suatu kamma kuat yang diingat ataupun dilakukan sesaat sebelum kematian, yaitu sesaat sebelum proses kognitif  terakhir. Jika seseorang  dengan watak yang jelek mengingat perbuatan baik yang pernah di lakukannya atau melakukan suatu perbuatan baik  sesaat sebelum mati, dia bisa memperoleh kelahiran kembali yang menguntungkan, beberapa contoh kisahnya antara lain.
      
                                                      Kisah  Tambadathika

Tambadathika  mengabdi  kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh lima tahun, dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelah mempersiapkan bubur nasi di rumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan  bubur nasi itu untuk di makannya  setelah kembali dari sungai.

Pada waktu Tambadathika mengambil  bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana Sampatti, berada di muka pintu rumahnya.  Pada saat melihat Sariputra Thera, Tambadathika  berpikir,  " Meskipun dalam hidupku  saya telah menghukum mati para pencuri,  sekarang saya seharusnya  mepersembahkan makanan ini kepada  bhikkhu itu."  Kemudian  ia mengundang  Sariputta Thera  untuk datang kerumahnya dan dengan hormat  mempersembahkan bubur nasi tersebut.
Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarakan Dhamma kepadanya, tapi  Tambadathika tidak dapat memperhatikannya, sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya  sebagai seorang penjagal.  Ketika Sariputta  Thera mengetahui hal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri atas kehendaknya atau ia di perintahkan untuk melakukan hal itu.

Tambadathika menjawab bahwa ia di perintah raja untuk membunuh mereka dan tidak berniat untuk membunuh.  Kemudian Sariputta Thera bertanya, " Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?"  Tambadathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jaawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.

Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan  Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai  anulomaññana.  Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu dan kemudian ia pulang kembali kerumahnya. 

Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai seekor sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia.

Ketika  Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikkhu memberitahu beliau perihal kematian Tambadathika. Ketika di tanyakan dimana Tambadathika  di lahirkan kembali, Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun  Tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarnya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia.  Ia di lahirkan kembali di alam sorga Tusita.

Para  bhikkhu sangat heran  bagaimana mungkin seseorang  yang melakukan perbuatan jahat seperti itu dapat memperoleh  pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali.  Kepada mereka, Sang Buddha berkata :  " Daripada  suatu penjelasan  panjang yang tampa makna , lebih baik satu kata yang mengandung  pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar."

Kemudian  Sang Buddha membabarkan syair 100 berikut :

Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.   
(Dhammapada Atthakatha  Bab VIII ; 1. syair 100)

                                            Kisah  Seorang Bekas  Pemburu

Cerita ini terjadi di Srilangka pada masa puncak perkembangan agama Buddha tradisi Theravada.  Di katakan bahwa ketika itu masih terdapat banyak Arahat.  Salah seorang Arahat tersebut adalah seorang Sesepuh ata bhikkhu senior.  Ayahnya dahulu merupakan seorang pemburu yang kemudian meninggalkan keduniawian dan memasuki Sangha di usia lanjut.  Menjelang kematiannya, ia mengingau. Wajahnya menyeringai ketakutan dan terlihat mencoba menghalau penyerang yang tidak tampak.

"Ada apa, Ayah?" Tanya Yang Mulia Sesepuh tersebut.
"Anjing hitam! Ada anjing hitam galak yang menyerangku!" jawab ayahnya ketakutan.

Yang Mulia sesepuh tersebut mengetahui bahwa mata pencaharian tidak benar yang di alami ayahnya dulu yang menyebabkan penampakan ini.  Segera ia menyuruh para samanera mengumpulkan bunga dan menatanya dengan rapi di dasar stupa vihara tersebut. Lalu mereka mengangkut ayahnya ke daerah stupa tadi.

"Lihatlah, ayah," kata Yang Mulia sesepuh sambil menunjuk ke arah hamparan bunga di Stupa.  "Kami telah mempersembahkan bungan-bunga di Stupa itu atas namamu. Berbahagialah, Ayah."
Ayahnya membuka mata dan tersenyum  dengan penuh penghargaan dan bahagia. Lalu ia menutup mata lagi dan menjadi tenang dan damai seiring dengan menghembuskan nafasnya terakhirnya.

Cerita tersebut mengandung pelajaran yang bagus bagi kita semua. Jika Yang Mulia Sesepuh tersebut tidak turun tangan, melainkan hanya berdiri diam melihat ayahnya mati dengan penuh ketakutan, tentu ayanya akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan. Tetapi berkat bantuan yang tepat waktu dan kreatif, beliau telah memberi ayah beliau suatu peluang yang amat menentukan untuk menghasilkan pikiran yang baik pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya- suatu keadaan pikiran yang berakar pada kedermawanan dan di sertai  dengan kebahagiaan- yang cukup kuat untuk menyebabkan kelahiran kembali yang baik.


                                                             Kisah Tissa Thera

Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatthi. Pada suatu hari ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya.  Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia.

Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalama lipatan jubah tersebut. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya,  diputuskan bahwa seperangkat  jubah tersebut akan di bagi  bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.

Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak,  "Mereka sedang merusak jubahku!"

Teriakan ini di dengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan perbuatan para bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari.  Pada hari kedelapan, seprangkat  jubah milik Tissa Thera  itu di bagi oleh para bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha di tanya oleh para bhikkhu mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera.  Kepada mereka Sang Buddha berkata,  "Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir  kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut.  Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa si kutu sangatlah menderita dan berlarian tak tentu arah  dalam lipatan jubah itu.  Jika engkau mengambil jubah tersebut pada saat itu, Tissa si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di Alam Neraka (Niraya). Tetapi sekarang  Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab itu Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut.

"Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat merusak besi di mana ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang bhikkhu sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan pokok"

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair  240 berikut :

Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri, begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan menjerumuskan pelakunya ke alam kehidupan yang menyedihkan. 
(Dhammapada Attakatha BAb XVIII Syair 240)

                                                      Kisah  Ratu  Malika

Suatu hari, Ratu Malika pergi kekamar mandi mencuci wajah, kaki dan tangannya.  Anjing  peliharaannya juga masuk, ketika dia membungkuk untuk mencuci kakinya, anjing itu mencoba berhubungan kelamin dengannya, dan ratu merasa terhibur dan senang.  Raja melihat kejadian aneh  lewat jendela kamarnya, ketika ratu masuk, dia berkata dengan marah, " Oh kamu wanita hina! Apa yang kamu lakukan dengan anjing itu di kamar mandi? Jangan menyangkal apa yang saya lihat dengan mataku sendiri."  Ratu menjawab bahwa dia hanya mencuci muka, tangan dan kakinya, tidak melakukan kesalahan apapun. Kemudian dia melanjutkan,  "Tetapi,  ruangan itu sangat aneh. Jika seseorang masuk ke ruang itu, bagi orang yang melihat dari jendela ini ia akan muncul menjadi dua gambaran. Jika anda tidak mempercayaiku, Raja, silahkan masuk keruangan itu dan saya akan melihat lewat jendela ini."

Raja pergi kekamar mandi. Ketika dia keluar, Malika bertanya kepada raja mengapa dia berlaku tidak pantas dengan seekor kambing betina di kamar itu.  Raja menyangkal, tetapi ratu bersihkeras bahwa ia melihat mereka dengan mata sendiri. Raja kebingungan tetapi seprti orang tolol dia menerima penjelasan dari ratu dan menyimpulkan bahwa kamar mandi itu benar-benar sangat aneh.

Sejak saat itu, ratu sangat menyesal karena telah berbohong pada raja dan telah kurang ajar menuduhnya atas kelakuannya yang tidak pantas dengan seekor kambing betina.  Kelak walaupun hampir meninggal dunia, dia melupakan kemurahan hati yang besar tiada bandingannya, yang telah di berikan kepada suaminya, dan hanya mengingat bahwa dia telah bersikap tidak jujur terhadap suaminya.  Sebagai akibat dari perbuatannya, setelah meninggal dunia dia dilahirkan di Alam Neraka  (Niraya). Setelah pembakaran jenazahnya usai, raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana dia di lahirkan kembali. Sang Buddha ingin menunda perasaan raja, dan  juga tidak ingin raja berkurang keyakinannya terhadap Dhamma,. Beliau mengalihkan pertanyaan itu, bahwa tidak seharunya pertanyaan itu di tanyakan kepada Beliau sekarang ini sehingga Raja Pasenadi lupa bertanya pada Sang Buddha.

Setelah tujuh hari di Alam Neraka (Niraya), ratu di lahirkan kembali di surga Tusita, Pada saat itu, Sang Buddha pergi ke istana Raja Pasenadi untuk menerima dana makanan. Beliau berharap dapat beristrahat di bangsal  kereta tempat kereta kerajaan di simpan.  Setelah mempersembahkan dana makanan, raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana Ratu Malika di lahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab, "Malika telah di lahirkan di surga Tusita."  Mendengar hal ini raja sangat gembira dan berkata, " Dimana lagi dia dapat di lahirkan ? Dia selalu berpikir tentang perbuatan baik, selalu berpikir apa yang akan di persembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante, sekarang ia telah pergi, saya, murid-Mu yang rendah ini, hampir tidak tahu apa yang harus di kerjakan."

Kepada raja Sang Buddha berkata, " Lihat pada kereta ayahmu dan kakekmu, semua ini tergeletak sia-sia, sama halnya seperti tubuhmu yang menjadi sasaran kematian dan kerusakan. Hanya  Dhamma yang mulia, yang tidak menjadi sasaran kehancuran."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair  151 berikut:

Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh ini akan menjadi tua. Tetapi 'Ajaran' (Dhamma) orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan.
(Dhammapada Atthakatha Bab XI:6, syair 151)

                                                   Kisah Matthakundali

 hal 2...
bersambung......................... ke hal 3


Rabu, 28 September 2011

Kisah-kisah keberadaan Mahluk Peta/Hantu

BAB I. Kematian  :

Proses  Pikiran Menjelang Kematian

Manusia selalu di penuhi dengan pemikiran baik dan buruk serta perbuatan baik dan buruk ini.          Sementara di sibukan dengan berbagai hal, kematian menepuk pundak dan mereka harus meninggalkan kekayaan, kepemilikan, dan orang yang di cintai, meninggalkan kehidupan ini untuk selamanya. Oleh karena itu kita harus mengetahui pentingnya saat-saat menjelang kematian dan bagaimana kita menghadapi datangnya kematian.

Empat  sebab kematian

Kematian terjadi karena empat sebab yaitu :
1. Habisnya jangaka waktu hidup.
2. Berakhirnya kekuatan kamma.
3. Habisnya jangka waktu hidup dan berakhirnya kekuatan kamma.
4. Kematian tidak wajar atau tidak pada waktunya, karena interupsi kekuatan kamma, upacchedaka kamma.

Analogi yang cocok untuk keempat sebab kematian tersebut adalah padamnya nyala sebuah lampu minyak, sebab yang memungkinkan adalah :

1. Habisnya minyak.
2. Terbakar habisnya sumbu.
3. Minyak dan sumbu terbakar habis.
4. Tiupan angin kencang atau sengaja di tiup.

1. Habisnya Jangka Waktu Hidup

Berbeda alam kehidupan  juga berbeda jangka waktu hidup (umur). Di alam manusia ini, jangka waktu hidup beragam menurut kondisi kappa(siklus dunia). Ketika sytem dunia sedang berangsur meningkat sampai tak terhingga; sementara dalam siklus dunia yang sedang menurun, umur manusia juga akan memendek sampai sepuluh tahun saja. Ketika Buddha Gotama muncul di dunia, umur maksimal rata-rata manusia berkisar 100 thn . Sekarang ini umur manusia kurang lebih 75 tahun. Orang-orang dengan timbunan kamma biasa-biasa tidak akan mampu melampui batas umur tersebut; hanya mereka yang terlahir dengan kekuatan kusala kamma khusus bisa hidup lebih dari 75 tahun. Umur panjang mereka adalah salah satu sifat dari kamma baik lampau mereka dan seperti obat manjur yang di sebut  "rasayana".

Pada masa Buddha Gotama, Bikkhu Mah ā kassapa, Ānanda , dan Visākhā (penderma Vihāra Pubbārāma) hidup sampai 120 tahun  Bikkhu Bākula  Mahātera hidup sampai 160 tahun. Orang-Orang tersebut memiliki kamma baik  yang  tidak sebesar mereka tidak akan hidup lebih dari jangka waktu itu. Kematian jenis ini di sebut habisnya jangka waktu hidup secara normal, seperti  habisnya  minyak akan memadamkan nyala lampu walaupun sumbunya masih tersisa.

2. Berakhirnya  Kekuatan Kamma 
Kekuatan  kamma  yang  mengakibatkan kelangsungan hidup seseorang akan mendukung  kehidupan dari tahap embrio sampai pada tahap kekuatan tersebut berakhir. Ada juga jenis kamma lain yang meningkatkan  kamma pendukung hidup ini. Ketika kekuatan kamma ini habis, seseorang meninggal walaupun  jangka  waktu  hidupnya masih tersisa. Jadi, jika  kekuatan  kamma berakhir  pada umur 50 tahun, orang itu akan meninggal wlaupun jangka waktu hidupnya 75 tahun. Ini seperti  nyala minyak padam karena sumbunya terbakar habis meskipun minya masih tersisa.
 3. Habisnya Jangka Waktu Hidup  dan Berakhirnya  Kekuatan Kamma

Sebagian  mahluk meninggal karena jangka waktu dan  kekuatan  kamma habis, seperti padamnya nyala lampu minyak karena sumbu dan minyaknya terbakar habis bersamaan. Oleh karena itu ada yang sampai berumur 75 tahun, jika mereka mempunyai kekuatan kamma yang mendukung sampai umur tersebut. Ketiga jenis kematian di atas di sebut  Kāla-marana (kematian pada wktunya) 
4. Kematian Tidak Wajar atau Tidak Pada Waktunya

Kematian uppacchedaka  berarti kematian tidak pada waktunya atau kematian tidak wajar. Beberapa mahluk bisa berumur  panjang karena jangka waktu dan kekuatan kamma mendukung untuk itu, tetapi jika perbuatan buruk yang di lakukan pada kehidupan lampau tiba-tiba berbuah, akibat kamma perbuatan itu bisa menyebabkan mereka meninggal secara mendadak. Kematian seperti ini sama seperti padamnya nyala lampu  minyak karena hembusan angin atau sengaja di tiupkan seseorang meskipun sumbu dan minyaknya masih tersisa. Kematian semacam ini di akibatkan  oleh upacchedaka-kamma, yaitu terhentinya kehidupan karena  kuatnya akibat kamma buruk. 
Bikkhu  Māhamonggalana, pada salah satu kehidupan lampau, telah membunuh ibunya sendiri.  Kejahatan   besar ini berkesempatan  untuk berbuah dalam kehidupan  selasnjutnya sebagai Māhamonggalana; dia harus menderita  dikeroyok oleh lima ratus  bandit sebelum mencapai parinibānna  Raja Bimbisara, dalam salah satu kehidupannya, berjalan di dalam sebuah pagoda dengan memakai alas kaki. Karena  kamma buruk ini, dia meninggal dengan menderita luka di telapak kaki yang  merupakan ulah anaknya sendiri.  Sāmāvati beserta pengikutnya, pada suatu kehidupan lampau, membakar semak rumput dimana seorang Pacceka-buddha  sedang duduk berkonsentrasi dalam samapatti (pencapaian jhāna). Ketika rumput  terbakar habis, mereka baru menyadari  telah membakar Pacceka-buddha. Untuk  menutupi kesalahan  (karena  mereka salah berpikir bahwa mereka telah membakar Pacceka-buddha  yang pada kenyataannya tidak bisa di sakiti atau di bakar  ketika dalam samapatti), Mereka menumpuk banyak-banyak kayu bakar diatas Pacceka-buddha, menyalakan kayu tersebut berpikir,  " sekarang dia akan habis terbakar." Pacceka-buddha  bangun dan pergi tampa terluka sedikitpun, setelah keluar dari  samapatti pada akhir hari ketujuh.  Kamma buruk tersebut berkesempatan untuk berbuah, mereka meninggal secara tidak wajar dengan di bakar  sampai mati. Inilah contoh-contoh dimana akusala-kamma yang kuat  menyebabkan kematian yang tidak wajar atau tidak pada waktunya.

Pentingnya  Menit-Menit Terakhir Kematian  

Ketika seseorang mendekati kematian karena salah satu sebab yang telah di sebutkan, adalah sangat penting baginya untuk memiliki javana-citta (impuls batin) selama kurang lebih setengah jam sebelum ajal. Jika pikiran kusala-javana-citta (impuls batin yang baik) ini yang muncul sampai napas terakhir, dia akan terlahir  kembali di alam yang membahagiakan. Jika yang muncul adalah  akusala-javana-citta (impuls batin yang buruk) sebelum kematian, dia pasti akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan. Oleh karena itu, seperti  halnya putaran terakhir dalam suatu balapan kuda,  begitu juga bagi suatu mahluk untuk mendapatkan kelahiran kembali yang baik, saat terakhir adalah sangat penting. Apakah seseorang mendapatkan pikiran baik atau buruk bergantung pada jenis objek yang hadir dalam pikirannya.
Tiga Macam Objek
Sesaat sebelum kematian, setiap mahluk akan melihat salah satu di antara tiga objek pikiran, yaitu:
1. Kamma.
2. Kamma-nimitta
3. Gati-nimitta
1. Kamma di sini berarti perbuatan buruk dan perbuatan baik atau cetena yang di lakukannya pada masa lampau. 
2. Kamma-nimitta  adalah peralatan atau instrument yang di gunakan untuk melakukan perbuatan baik atau       buruk.
3.Gati-nimitta adalah penglihatan akan alam kehidupan atau tempat dimana dia akan terlahirkan kembali.
1. Bagaimana Kamma Muncul
Ketika kamma atau perbuatan yang di lakukan beberapa detik yang lalu, setengah jam atau satu jam yang lalu, atau banyak kelahiran sebelum, atau pada masa yang sangat lampau berkesempatan untuk memberikan kelahiran kembali sebagai akibat kehidupan berikut, perbuatan-perbuatan tersebut hadir dalam pikiran seseorang yang menjelang ajal. Berhubungan dengan kemunculan kamma lampau jika kamma itu adalah dāna atau pelaksanaan sila, perbuatan itu muncul dengan teringat atau muncul dengan sendirinya seolah-olah dan atau menjalankan sila di lakukan pada saat itu seperti dalam sebuah mimpi. Jadi ada dua cara kemunculan kamma baik. Diantara  perbuatan buruk, jika perbuatannya adalah membunuh suatu mahluk, kemunculan kamma dengan teringat atau dengan sendirinya seakan pembunuhan tersebut di lakukan pada saat itu juga. Kemunculan kamma buruk juga terjadi  dalam dua cara.
2. Bagaimana  Kamma-nimitta Muncul
Mereka yang telah membunuh mahluk lain akan melihat senjata atau alat yang mereka gunakan - pedang, belati, jaring, anak panah, tongkat dan lain-lain, sebagai penampakan kematian. Seorang penjagal konon akan melihat tumpukan tulang-belulang ternak. Yang telah melakukan perbuatan amoral seperti pencurian, perselingkuhan dan lain-lain, akan melihat penampakan-penampakan sesuai dengan perbuatan jahatnya.
Bagi  mereka yang telah berbuat baik  seperti membangun pagoda dan vihara akan melihat penampakan pagoda atau vihara  menjelang mereka meninggal. Mungkin juga mereka melihat dana yang telah mereka berikan berkenaan dengan pembangunan pagoda atau vihara,  mendanakan keperluan para bikkhu, jubah, mangkuk derma, bunga, lampu minyak atau dupa wangi. Mereka yang menjalankan sila dan praktik meditasi akan melihat penampakan seperti pakaian bersih, pusat meditasi, pemandangan  indah dengan pohon-pohon, dan lain-lain, dalam bayangan mereka. Mereka yang telah melakukan pelayanan mulia lainnya juga akan melihat penampakan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka.
3. Bagaimana Gati-nimitta (penglihatan akan alam kehidupan atau tempat dimana dia akan terlahirkan kembali) Muncul.

Saat menjelang kematian, tanda-tanda ramalan muncul menunjukkan kehidupan seseorang selanjutnya.
Jika Anda akan terlahir di alam deva, kereta kencana deva, mahluk-mahluk surga, mendengar musik surgawi, istana dan kebun deva dan sebagainya akan muncul dalam pikiran Anda.
Jika Anda akan terlahir   kembali dialam manusia (Manussa Bhumi), warna merah dinding rahim calon ibu Anda akan tampak.
Jika neraka(Niraya) adalah tempat kelahiran anda berikutnya, Anda akan  melihat anjing-anjing hitam, api neraka, merasakan panasnya api yang sangat mengerikan atau penjaga neraka.
Mereka yang akan terlahir kembali di alam binatang (Tirachana Bhumi) mungkin akan melihat hutan-hutan lebat, pegunungan, air, sungai, atau samudra dimana mereka akan dilahirkan.
Seseorang yang akan terlahir sebagai mahluk Peta(hantu kelaparan) akan melihat sesosok hantu yang akan datang untuk membawanya pergi.


Expresi Wajah
Expresi atau raut wajah orang yang menjelang mati bisa menunjukkan kelahiran berikutnya. Jika raut wajahnya cerah dan riang, bisa di pastikan dia terlahir kembali di alam yang lebih tinggi. Wajah yang suram, sedih, atau tegang menunjukkan dia akan terlahir kembali di alam rendah. Ada pula yang akan tersenyum karena kesenangan indrawi masa lampau. Senyuman semacam ini tidak dapat di anggap sebagai pertanda yang baik.

Pertanda Dengan Menggumam 

Kadang kita menjumpai seseorang menjelang ajal berkata tidak jelas atau menggumamkan kata-kata yang tidak jelas tampa sadar.
Pada suatu ketika, seorang tua, ayah dari Arahā Sona, adalah pemburu binatang semasa mudanya  dan menjadi bikkhu ketika sudah tua. Ketika mendekati kematian, dia melihat anjing-anjing hitam mengejarnya dalam penampakan kematiannya. Dia berkali-kali menggumam, "Oh, anakku, usirlah anjing-anjing itu!"
Arahā Sona mengetahui bahwa ayahnya melihat pertanda batin yang buruk  dan akan terlahir kembali di neraka(Niraya). Segera Arahā Sona mengumpulkan bunga-bunga dan menyebarkan di teras sebuah pagoda, kemudian dia membawa ayahnya  bersama ranjangnya  ke pagoda dan berujar kepada ayahnya, " Oh, Bikkhu tua, berbahagialah, saya telah mempersembahkan bunga-bunga ini atas namamu." Ayahnya turun dari ranjang sendiri dan mempersembahkan bunga-bunga sambil memusatkan pikiran kepada Sang Buddha, dan dia kehilangan kesadaran lagi. Dalam penampakan kematiannya sekarang dia melihat dewi surgawi dan menggumam lagi. " Oh, anakku, persilahkan mereka duduk, ibu angkatmu" Ketika Arahā Sona tengah berpikir, " Sekarang pertanda dari alam deva muncul," bhikkhu  tua itu meninggal dan terlahir kembali dialam deva.

Bentuk Lain Gati-nimitta

Beberapa orang ketika mendekati kematian melihat gambaran kehidupan kelahiran mereka berikutnya dengan jelas. Pada masa Buddha Gotama, Revati, istri orang kaya bernama Nandiya, adalah seorang wanita yang sombong. Dia sama sekali tidak memiliki keyakinan kepada Sang Buddha dan sering mencaci para bhikkhu, sebaliknya, suaminya adalah seorang pengikut Sang  Buddha  yang tekun; Ketika meninggal, dia menjadi deva. Ketika Revati mendekati ajalnya, dua penjaga neraka menyeretnya kealam surgawi dan memperlihatkan kemakmuran yang di enyam oleh Nandiya (mantan suaminya). Kemudian penjaga neraka menyeretnya turun ke neraka dan menghukumnya karena perbuatan dan sikap jahatnya.

Pada masa Buddha Gotama, seorang umat taat bernama Dhammika bernaung kepada Tiga Permata (Tiratana). Dia memimpin sekelompok umat dan menjalani hidup yang bermoral. Ketika ajal sudah dekat, dia mendengar uraian Dhamma dari bhikkhu dari ranjangnya; dia melihat enam kereta surgawi menunggu di atasnya untuk menjemput dia menuju deva-loka (alam dewa). Dia juga melihat dan mendengar para dewa berdebat, siapa yang akan membawanya. Tak lama dia meninggal dan di bawa kereta Tusita ke alam surgawi menjadi sesosok deva.

Mereka  yang tertelan oleh bumi karena perbuatan jahat yang berat, langsung jatuh seketika kedalam panasnya neraka Avici. Jadi kita lihat bahwa gati-nimitta muncul dalam berbagai bentuk. Dalam masa kita sekarang, ada juga beberapa orang menjelang ajal mendengar musik dan mencium bau wangi, yang kadang juga bisa  terdengar dan tercium oleh orang di sekitarnya. Gati-nimitta ini bersama dengan kamma dan kamma-nimitta umumnya muncul sebagai gambaran karena kekuatan kamma masa lampau yang mendapat kesempatan untuk menghasilkan akibat.

Membantu Munculnya Penampakan yang Baik

Ketika seseorang menderita sakit dan berangsur mendekati kematian secara alamiah, guru, teman maupun sanak saudara di anjurkan agar membantu munculnya objek yang baik dalam penampakan orang itu. Ketika kita yakin bahwa yang bersangkutan sudah tidak dapat di sembuhkan lagi, kita harus memelihara ruangan dan sekelilingnya sebersih  mungkin dan mempersembahkan bunga-bunga kepada Sang Buddha. Pada malam hari, seluruh ruangan harus di terangi. Kemudian kita mengatakan kepada yang bersangkutan untuk membayangkan bunga-bunga dan lilin-lilin yang di persembahkan untuk Sang Buddha atas namanya dan memintanya untuk bergembira atas perbuatan baik tersebut. Kita juga harus membaca paritta (sutta) sehingga pikirannya tertuju pada objek-objek yang mulia. Pasien tidak boleh bersedih dan orang-orang yang menjaganya jangan menunjukkan kesedihan juga. Penguncaran dan persembahan penghormatan seharusnya tidak hanya di lakukan pada saat menjelang kematiannya, tetapi harus di lakukan pada hari-hari sebelumnya. Hanya dengan begitu dia akan di liputi dengan pikiran  kusala-kamm(perbuatan baik) yang ditujukan kepada Buddha dan Dhamma, mencium aroma wangi bunga-bunga, mendengar suara Dhamma, dan pengulangan ucapan-ucapan Sang Buddha (sutta) selama beberapa hari.

Demikianlah saat kematian mendekat, sementara yang akan meninggal melihat cahaya dan bunga-bunga, mencium aroma wangi, mendengar kalimat-kalimat Dhamma, kesadaran kematian(cuti-citta) akan muncul sebelum objek-objek tersebut lenyap. Sebagai akibat dari menit-menit terakhir yang di penuhi pikiran baik dari perbuatan baik (kusala), dia akan terlahir kembali di alam yang baik.Oleh karena itu, gutu, teman, sanak keluarga bertanggung jawab untuk membantunya agar muncul objek-objek yang baik dalam pikiran orang yang mendekati kematian selagi dia masih mampu mengarahkan pikirannya kepada objek-objek tersebut.

Kematangan KammaPenghasil Kelahiran Kembali

Menurut Abhidhamma, kamma(perbuatan) berat memiliki prioritas paling utama dalam menghasilkan kelahiran kembali, di susul oleh perbuatan menjelang kematian, Perbuatan kebiasaan, dan perbuatan simpanan

Perbuatan (Kamma) Berat

Perbuatan (Kamma) berat adalah perbuatan dengan  kadar moral yang begitu  kuat sehingga tidak dapat tergantikan oleh perbuatan (kamma) lain apapun sebagai penentu kelahiran kembali.
Yang termasuk perbuatan (kamma) berat yang tidak baik (Akusala Garuka Kamma) adalah:

• Dengan sengaja menimbulkan perpecahan dalam Sangha.
• Melukai seorang Buddha

• Membunuh seorang Arahat.
• Membunuh ibu.
• Membunuh ayah.
• Secara penuh memegang pandangan salah yang menyangkal keabsahan moralitas .
Dalam Sutta Pitaka yang sering di sebut sebagai pandangan salah adalah :
1. Ketiadaan  (natthika-ditthi), yang menyangkal adanya kelanjutan keberadaan suatu pribadi dalam                    bentuk  apapun setelah kematian,  sehingga dengan demikian ada penolakan terhadap efek moral suatu       perbuatan.  
2. Pandangan tidak adanya efek dari suatu perbuatan  (akiriya-ditthi)' yang menyatakan bahwa setiap                  perbuatan tidak memiliki potensi untuk menghasilkan efek, sehingga dengan demikian ada                                 penyangkalan  terhadap keluhuran moral.
3. Pandangan ketiadaan sebab-akibat (ahetuka-ditthi), yang menyatakan bahwa tidak ada sebab atau syarat     untuk pengotoran  dan pensucian mahluk  hidup, serta bahwa mahluk hidup terkotori  dan tersucikan             karena kebetulan, takdir, atau kehendak suatu sosok Tuhan.    
Dari sisi yang baik, kamma berat (Kusala Garuka Kamma) berarti pencapaian jhāna dan mempertahankan pencapaian tersebut hingga saat meninggal, ini akan menghasilkan kelahiran kembali di alam brahma sesuai dengan pencapaian jhāna-nya.
Jika seseorang mencapai jhāna dalam suatu retret dua minggu dan kemudian kembali kekehidupan sehari-hari tampa mempertahankannya, maka pencapaian jhāna tersebut tidak termasuk kamma berat pada waktu meninggalnya.
 Atau, jika seseorang mengembangkan jhāna dan kemudian melakukan salah satu kejahatan yang di sebut di atas  (Akusala Garuka Kamma), maka kamma baiknya akan terpotong oleh perbuatan jahatnya tersebut sehingga mengakibatkan kelahiran di alam menyedihkan. Sebagai contoh, Devadatta kehilangan kekuatan batinnya dan terlahir kembali di Neraka Avici  sebagai akibat melukai kaki Sang Buddha dan membuat  perpecahan dalam Sangha.
 Tetapi jika seseorang  terlebih dahulu melakukan salah satu perbuatan Akusala Garuka Kamma, maka dia tidak akan mampu untuk mencapai jhāna, Jalan  (Magga), atau pun Buah (Phala)  karena kamma buruk tersebut akan menghasilkan rintangan  yang tidak dapat di tanggulangi. Sebagai contoh,  Raja Ajātasattu, ketika mendengar khotbah Sang Budha  mengenai Manfaat dari  Kehidupan Seorang  Pertapa, tetapi Raja Ajātasattu tidak dapat  mencapai  Jalan (Magga) dan Buah (Phala) karena ia telah membunuh ayahnya  (Raja  Bimbisara).
Namun Sang Buddha meramalkan, kelak setelah membayar  hutang kamma mereka, baik Devadatta maupun  Ajātasattu akan mencapai penerangan sebagai  Paccekabuddha (Buddha Yang Tidak Mengajar) pada kehidupan  yang akan datang.
                                                                     KISAH  DEVADATTA      Hari-Hari Terakhir Devadatta                                                                                                                                                              Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat  hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha. Ketika berita ini di sampaikan kepada Sang Buddha,  Beliau mengatakan  bahwa hal itu tidaklah mungkin dalam kehidupan ini. Devadatta di bawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavana, ia minta rombongannya berhenti sebentar  karena dia ingin membersihkan badan terlebih dulu di sebuah telaga  yang terdapat di pinggir jalan.  Murid-muridnya meletakkan usungan di tepi telaga di dekat Vihara Jetavana. Dan Devadatta masuk kedalam telaga untuk mandi. Ketika ia meletakkan kakinya di atas tanah. Kemudian kakinya terbenam tampa dapat di cegah. Ia terus terbenam, bagian bagian tubuhnya terbenam satu demi satu, mata kaki, lutut, pinggang, dada dan  leher. Bumi ini menelannya dengan rakus hingga ke rahangnya saat ia mengucapkan syair :                                                                                                                                                                                                                            "Aku, Devadatta, di atas dipan kematianku berlindung di dalam Buddha Yang Mulia dengan tulang-tulang  dan daya hidup ini yang hampir habis.  Dengan kesadaran, batin yang gembira dan mulia  yang terdorong  oleh tiga akar mulia. "                                                                                                                                                                          (Sang Buddha mengetahui bahwa setelah di tahbiskan Devadatta akan melakukan dua kejahatan besar yakni  : melukai Sang Buddha dan menciptakan perpecahan di dalam Sangha  dan kemudian akan melakukan kebajikannya yang  akan membebaskannya dari samsara.  Sesungguhnya  karena kebajikannya ini Devadatta akan menjadi seorang  Paccekka Buddha  bernama  Atthissara setelah seratus ribu kappa).                                                                                                                                                                                                          Setelah mengucap  syair tersebut Devadatta terbenam ke dalam bumi dan terlahir kembali di Neraka Avici.  Di Neraka Avici  yang luasnya seratus yojana, tubuh Devadatta tingginya seratus yojana . Kepalanya berada di dalam panci besi panas hingga kedua telinganya. Kedua  kakinya berada di dalam panci besi panas hingga   ke mata kakinya. Ia di rebus  dalam posisi berdiri menghadap ke timur. Sebatang besi pancang yang lain muncul dari sebelah selatan panci neraka, menembus dari sisi kanan  Devadatta dan keluar  dari sisi kirinya  mengarah ke sebelah utara  panci neraka itu.  Sebatang besi pancang lagi muncul dari atas panci neraka, menembus dari kepalanya dan keluar  ke lantai besi di bawah panci besi. Demikianlah Devadatta  di rebus  dalam keadaan tidak dapat bergerak  di dalam Neraka Avici. Hal 1 bersambung......ke Hal 2

Rabu, 14 September 2011

ASAL USUL PERAYAAN KUE BULAN / MOON CAKE FESTIVAL

oleh Thantowi Wijaya pada 12 September 2011 jam 18:24
Kue bulan (Hanzi: 月餅, pinyin: yuèbǐng) adalah penganan tradisional Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal dalam dialek Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia.

Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.

Perkataan Tiong Chiu berasal dari kata Tiong berarti tengah dan Chiu berarti musim rontok, jadi boleh dikatakan sebutan Tiong Chiu arti secara harafiah berarti pertengahan musim rontok. Namun demikian masyarakat lebih kenal dengan sembahyang Tiong Chiu Pia sebenarnya penyebutan ini tidak tepat/salah kaprah namun kenyataan dalam kebiasaan masyarakat tetap demikian.

Perayaan sembahyang kue bulan tahunan setiap tanggal 15 bulan delapan kalender Imlek, Pada hari itulah bulan paling bulat dan paling terang sepanjang tahun, karena pada hari itu jarak bulan dengan bumi dan bentuk kue yang bulat melambangkan terangnya bulan menyinari bumi.

Sejarah

Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.
Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait pada perayaan festival musim gugur tadi.

Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri.



Dari sumber lain diperoleh sejarah kue bulan atau Tiong Chiu Pia dapat dibagi dalam tiga bagian (1) Adat Sembahyang Dewi Bulan, (2) kisah Dewi Bulan, (3) Kue.

Pertama, sebelum Dinasty Qin 221-206 SM rakyat China sudah mengenal tradisi/adat sembahyang Dewi Bulan yang dihubungkan dengan posisi bulan bagi masyarakat untuk cocok tanam (agraris). Karena dianggapnya sinar rembulan dapat memberikan kesuburan dalam ekosistem tanah bagi kaum petani dan dimalam purnama memang bulan terterang sepanjang tahun juga diikuti musim panen.

Kedua, menurut legenda zaman dahulu kala terdapat 10 matahari yang sangat mempengaruhi ekosistem bumi sehingga oleh Dewa Ho Yi pemanah Jitu Khayangan/langit, dipanalah matahari hingga sisa satu. Peristiwa ini Yi Wang Ta Tie (Tuhan) sangat malah dan menghukum HOYI dan istrinya Chang Er dengan cara menjadikan pasangan ini menjadi masyarakat biasa/ hidup di duniawi. Suatu hari mereka menemukan obat awet muda sepanjang masa dan dimakan oleh istrinya Chang Er sehingga tubuhnya ringan dan terbang menuju bulan. Dari sinilah asal muasal sembahyang Dewi Bulan.

Ketiga, kue Tiong Chiu Pia. Pada tahun 1206 M China dijajah Mongolia pimpinan Tieh Mu Chen hingga tahun 1368 M berarti selama 89 China dijajah Mongolia. China berhasil merebut kembali dari Mongolia berkat upaya kepala pengemis Zhu Yan Chang menjelang sembahyang Dewi Bulan mengedarkan pesan-pesan dalam kue-kue agar pada malam purnama (Tiong Chiu) kita merebut kekuasaan kembali dari tangan Mongolia dan ternyata berhasil bertepatan pada tanggal 9 September 1368 M. Semenjak itulah kue Tiong Chiu mengalami perkembangan hingga dewasa ini. Dan semenjak inilah berdirinya kerajaan pertama di Tiongkok dengan sebutan Dinasty Ming (1368-1644 M). Masa kepemimpinan Tieh Mu Chen 1206-1368 M oleh adiknya bernama Hu Pit Lei Han dinamai Dinasty Yan (1206-1368) M.

Religius

Sembahyangan Tiong Chiu diselenggarakan pada tanggal 15 bulan delapan Imlek (Pue Gwee Cap Go) secara religius sebagai pernyataan syukur kepada Malaikat Bumi (Too Ti Kong/Hok Tik Cing Sien). Penyambutan di saat bulan purnama di pertengahan musim rontok di belahan bumi Utara. Saat itu cuasa baik dan bulan nampak sangat cemerlang. Para petani sibuk dan gembira karena berada di tengah musim panen. Maka musim itu dihayati sebagai saat-saat yang penuh berkah Tuhan Yang Maha Esa lewat bumi yang menghasilkan berbagai hasil bumi, sehingga malaikat Bumilah disembahyangi terutama bagi negara agraris yang terdapat empat musim seperti Cina.
Pada saat purnama yang cemerlang itu dilakukan sembahyang kepada Dewa Bumi sebagai pernyataan syukur atas berkah yang diperoleh. Sebagai sajian khususnya ialah Tiong Chiu Pia yang melukiskan rembulan juga melambangkan Dewa Bumi. Di dalam Upacara sembahyang Besar Tiong Chiu hendaknya dihayati makna yang tersirat bahwa Tuhan Maha Besar, Maha Pengasih dan segenap berkah karunia itu hendaknya mendorong dan meneguhkan Iman, menjunjung dan memuliakan kebajikan karena makna Dewa Bumi membawakan berkah atas kebajikan. Menghormati Dewa Bumi hendaknya mengingatkan pula kepada Sabda Nabi Ie Ien yang berbunyi “sungguh milikilah yang satu-satunya, yaitu “kebajikan”, Dialah yang benar-benar berkenan di hati Tuhan. Jangan berkata Tuhan memihak kepadaku, hanya Tuhan senantiasa melindungi yang satu, yakni kebajikan”.

Selain sembahyang Dewa Bumi, masyarakat justru banyak yang sembahyang kepada Dewi Bulan di malam hari. Soal spiritual tidak ada yang bisa menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah dan yang penting adanya niat untuk memberikan kelurusan dalam hati dengan membuka pintu rohani menunaikan ibadah untuk memberikan kenyamanan bathin bagi yang melaksanakannya. Justru kemelian perayaan malam purnama adanya persembahyangan kepada Dewi Bulan Selain sajian kue bulan juga bermakna mendoakan mendapatkan kecantikan bagaikan Dewi Bulan sepanjang jagad yang disimbolkan dengan bedak untuk dipakai oleh para pemuja.

Festival Kue Bulan adalah tradisi masyarakat Tionghoa yang dirayakan setiap tanggal limabelas bulan kedelapan Imlek. Festival ini juga dikenal sebagai Festival Pertengahan Musim Gugur. Masyarakat Tionghoa merayakaan "zhong qiu jie" ketika bulan berada pada puncak kecerahannya disepanjang tahun.

Menurut legenda, Dewi Bulan yang tinggal di istana kaca, keluar untuk menari dibawah bayang - bayang bulan. Kisahnya berawal ketika pada suatu masa ada sepuluh matahari bersinar bersamaan diatas langit. Kaisar meminta seorang pemanah terkenal untuk menembak sembilan diantaranya.

Ketika tugas itu berhasil dilaksanakan, Dewi Surga Barat menghadiahkan sebutir obat hidup abadi pada sang pemanah. Istri sang pemanah menemukan obat itu tanpa sengaja dan meminumnya. Karenanya ia lalu diasingkan ke bulan.

Menurut legenda, kecantikan istri sang pemanah mencapai puncaknya pada hari perayaan kue bulan.

Sekarang masyarakat Tionghoa merayakan festival ini dengan tari - tarian dan doa sambil menikmati keindahan sang bulan, tentunya sambil menyantap kue bulan.

Meskipun ada banyak macam kue pada tradisi Tionghoa, kue bulan hanya dihidangkan pada perayaan kue bulan saja. Salah satu jenis kue bulan tradisional berisi pasta biji teratai. Dengan besar seukuran telapak tangan, kue bulan yang padat berisi biasa dipotong menjadi empat lalu dihidangkan. Ada yang berisi kuning telur asin ditengah, melambangkan bulan purnama dan rasanya sangat lezat.

Jenis yang lain ada yang berisi empat kuning telur (melambangkan empat fase bulan). Disamping pasta biji teratai, bahan isian lain yang sering dijumpai adalah pasta kacang merah dan kacang hitam. Ada juga kreasi lain yang eksotis, yaitu kue bulan berisi pasta teh hijau dan kue bulan berkulit salju (ping pei), salah satu variasi dari Asia Tenggara yang dibuat dari tepung beras ketan.