SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Sabtu, 01 Oktober 2011

Kisah-kisah keberadaan Mahluk Peta/Hantu

                                          Perbuatan (Kamma) Kebiasaan 

Seandainya  tidak ada kamma berat dan kamma menjelang kematian, maka kamma kebiasaan  umumnya  akan mendorong kelahiran kembali.
Kamma kebiasaan adalah suatu perbuatan yang di lakukan seseorang sebagai kebiasaan ataupun rutinitas.
Beberapa kisahnya antara lain :

                                        Kisah  Cundasukarika  




Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang  penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh; selama hidupnya dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur  berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya  untuk merangkak  seperti babi  selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan di lahirkan kembali ke Neraka Avici(Avici Niraya).

Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar  teriakan-teriakan  dan kegaduhan dari rumah Cunda  berpikir, pasti Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka  berpendapat  bahwa Cunda adalah  seorang  yang sangat kejam dan keji  yang tidak  mempunyai cinta kasih  dan belas kasihan sedikitpun.

Mendengar pergunjingan para bhikkhu  tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi  lebih banyak  babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat  akibat penyakit yang di deritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di Alam Neraka. Oleh karena itu, seseorang  yang melakukan  perbuatan jahat akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang di lakukannya; dia menderita dalam dunia ini sama seperti pada alam berikutnya".

Hal itu di wejangkan oleh Sang Buddha  dengan membabarkan syair 15 berikut ini:

Di dunia ini ia bersedih hati, di dunia sana ia bersedih hati; pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia itu. Ia bersedih hati dan meratap karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.
(Dhammapada Atthakatha Bab I Syair 15)

                                     Kisah Kapila Dan Ikan  

Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar  dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya,  ia memperoleh kemashyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi  sangat sombong dan memandang rendah  bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya  apa yang pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas,  "Berapa banyak yang kau tahu?"  Hal itu menyiratkan  bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan  semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu  yang tidak baik berada di sekelilingnya.

Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang 'Peraturan Pokok' bagi para bhikkhu(Patimokkha), Kapila  berkata, "Tidak ada apa  yang dikatakan  Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan  untuk mendengar  Patimokkha atau tidak," dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan  bagi pengembangan  dan pertumbuhan  Ajaran (Sasana).

Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita  di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia di lahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti di sebutkan di atas, mempunyai  tubuh berwarna keemasan  yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.

Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.
Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan "O Raja! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan   Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia di lahirkan  kembali pada kehidupan  yang lain, meskipun sebagai seekor ikan , ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Kebhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia di lahirkan  di alam neraka (niraya) dan sekarang, ia menjadi seekor  ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk."

Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui kemana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka(niraya) dan ia di penuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana di perkirakan pada saat kematiannya, ikan tersebut di lahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lainnya.

Semua yang hadir  mendengar kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha  memberikan khotbah tentang manfaat  meng-kombinasikan antara belajar dengan praktek.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair  334, 335, 336, dan 337 berikut ini:

Bila seorang hidup lengah, maka nafsu keinginan tumbuh, seperti tanaman Maluva yang menjalar. Ia melompat dari satu kehidupan ke kehidupan lain, bagaikan kera yang senang mencari buah-buahan di dalam hutan.


Dalam dunia ini, siapapun yang di kuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah seperti rumput Birama yang tumbuh dengan cepat karena di sirami dengan baik.


Tetapi barangsiapa dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan sukar di kalahkan itu, maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air yang jatuh dari daun teratai.


Kuberitahukan hal ini kepadamu  : Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di sini memperoleh  kesejahteraan ! Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut akar rumput Birama yang harum. Jangan biarkan  Mara menghancurkan dirimu berulang kali, seperti arus sungai  menghancurkan rumput ilalang  yang tumbuh di tepi. 
(Dhammapada Attakatha  Bab XXIV : Syair 334,335,336, dan 337)




                             Kisah Upasaka Dhammika


Di Savatthi ada seorang yang bernama  Dhammika. Ia seorang umat yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap,  juga  sering berdana pada waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.

Dhammika mempunyai tujuh orang putra  dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi luhur dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya  ia membuat permohonan  kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.

Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana Sutta" , enam kereta berkuda  yang penuh hiasan  dari enam alam surga datang mengundangnya  pergi ke masing-masing alam.  Dhammika berkata kepada mereka menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka di suruh berhenti, maka mereka berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.

Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan  sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk  memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu dari anaknya  memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.

Demikianlah orang berbudi luhur berbahagia di dunia ini sama seperti di alam berikutnya.

Hal ini di babarkan Sang Buddha sebagai syair 16 berikut :

Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira; pelaku kebajikan  bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka cita  karena melihat perbuatannya sendiri yang bersih.
(Dhammapada Atthakatha Bab I Syair 16)


                                                Dewi  Mekkhala 

Ada satu hal yang di terima oleh umat  Buddha mengenai adanya  mahluk dewa yang terlahir kembali sebagai manusia, yaitu : Guru Agung, Sang Buddha. Ia terlahir kembali dari surga Tusita ke alam manusia sebagai Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana  dan Ratu Maya.

Kisah lain dalam literatur Buddhis  yang cukup di kenal  adalah kisah  Dewa Mekkhala. Dewa ini ditunjuk sebagai pelindung suatu samudera dan orang-orang yang bernaung  pada Tiga Permata (Tiratana), memegang teguh moral  (silasampanna), dan menghormati orangtua mereka.

Tersebutlah Bodhisatta Brahmin yang menempuh perjalanan dengan kapal di samudera tersebut namun kapalnya hancur. Butuh 7 hari untuk berenang sampai ke tepi pantai.

Ia terlihat oleh Dewi Mekkhala yang kemudian menampakkan diri dihadapannya dan berkata bahwa ia akan memberikan apapun yang di butuhkan oleh Boddhisatta. Ia mewujudkan  semua benda-benda  tersebut untuk Bodhisatta, seperti kapal dan permata.

Bodhisatta pun terbebas dari samudera dan berlatih memberi (dana) dan memegang teguh moral (sila) sepanjang  hidupnya. Setelah kehidupan sebagai manusia berakhir, ia pun terlahir kembali di alam surga.

Bodhisatta tersebutlah yang kelak kita kenal sebagai Sang Buddha Gotama.

Dewi tersebut, Mekkhala terlahir sebagai Bhikhuni  Uppalavana.

"Dewa dapat terlahir kembali sebagai manusia dan manusia juga dapat terlahir  sebagai dewa."

Ketika Guru Agung sedang berada di Vihara Jetavana, Beliau memberitahukan sebuah kisah di masa lampau. Jauh di masa kehidupannya yang lampau  Beliau merupakan pimpinan dari sebuah kelompok pedagang keliling (berkelana dengan kereta angkut) yang membawa barang-barang dari Kota Baransi  dengan tujuan pulang ke rumah. Mereka harus berjalan melalui  daratan yang kering dan dalam perjalanan mereka menemukan sumur yang sudah kering. Mereka mencoba menggali untuk mendapatkan air minum tapi malahan menemukan banyak perhiasan, bukan air. Sang Bodhisatta memperingati mereka bahwa  "Ketamakan adalah sebab dari kehancuran", namun tidak satupun orang mematuhinya. Mereka terus menggali  untuk mengumpulkan lebih banyak perhiasan lagi. Sumur ini adalah tempat berdiam seekor Raja Naga. Ketika sumurnya di rusak, Raja Naga menjadi marah dan membunuh mereka semua dengan menyemburkan racun dari hidungnya kearah mereka semua.  Bodhisatta sendiri  terhindar dari kejadian itu karena tidak ikut dalam penggalian tersebut. Ia kemudian memenuhi ketujuh keretanya dengan perhiasan. Dan kemudian membagikan kekayaan tersebut untuk amal dan melaksanakan  uposatha-sila sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam surga.

Ini membuktikan bahwa manusia dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani yang baik akan terlahir kembali di alam surga  dala bermacam-macam tingkatan tergantung pada tingkatan prilaku  mereka.

 
                                  Perbuatan (Kamma) Simpanan

hal 4
bersambung ke hal 5