SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Kamis, 31 Maret 2011

Usnisa Vijaya Dharani Sutra

Demikianlah yang telah saya dengar, pada suatu waktu, Sang Bhagavan Buddha yang menetap dalam kota Shravasti di Jetavana (Hutan Jeta), di Taman Anathapindika (Taman Dermawan untuk Yatim dan Tanpa Saudara), bersama dengan pengikut tetapnya yang kesemua berjumlah seribu dua ratus lima puluh bikkhu terpandang dan dua belas ribu Maha Bodhisattva Sangha.
Saat itu, dewa-dewa di Surga Trayastrimsha juga tengah berkumpul dalam Aula Kebajikan Dharma. Di antara mereka terdapat seorang putra dewa bernama Susthita, bersama-sama dengan putra-putra dewa terpandang lainnya, sedang bersuka-ria di taman dan lapangan, menikmati kebahagiaan luar biasa dalam kehidupan surgawi. Dikelilingi oleh dewi-dewi, mereka dengan penuh kegembiraan – menyanyi, menari, dan menghibur diri mereka sendiri.
Segera malam tiba, Susthita putradewa tiba-tiba mendengar suara dari angkasa yang berkata “Susthita putradewa, engkau hanya mempunyai tujuh hari lagi untuk hidup. Setelah meninggal, engkau akan dilahirkan kembali di Jambudwipa (Bumi) sebagai seekor binatang selama tujuh kehidupan berturut-turut. Setelahnya, engkau akan masuk ke dalam neraka untuk menjalani penderitaan tambahan. Hanya setelah hukuman karmamu tergenapi, engkau akan dilahirkan kembali di alam manusia, tetapi terlahir di keluarga sederhana dan melarat. Saat berada dalam rahim ibumu, engkau tidak akan mempunyai mata dan terlahir buta.
Mendengar ini, Susthita putradewa sangat takut hingga bulu kuduknya berdiri pada akhirnya. Merasa ketakutan dan tertekan, dia lari ke istana Raja Sakra. Meledak dalam tangis dan tidak tahu apalagi yang harus diperbuat, dia bersujud di kaki Raja Sakra, memberitahukan Raja Sakra apa yang telah terjadi.
“Ketika saya sedang bersuka ria menikmati tarian dan nyanyian bersama dewi-dewi surga, saya tiba-tiba mendengar suara dari angkasa yang memberitahukan saya bahwa saya hanya tinggal mempunyai tujuh hari saja, dan saya akan terperosok ke dalam Jambudwipa (Bumi) setelah mati, tinggal di sana dalam alam binatang selama tujuh kehidupan berturut-turut. Setelahnya, saya terperosok dalam bermacam neraka untuk menjalani penderitaan yang lebih berat. Hanya setelah hukuman karmaku digenapi, saya akan dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sesudahnya saya akan terlahir tanpa mempunyai mata dalam keluarga miskin dan terhina. Raja Surga, bagaimana saya dapat melepaskan diri dari penderitaan seperti ini?”
Mendengar permohonan Susthita putradewa yang penuh tangisan, Raja Sakra sangat heran dan berpikir, “Dalam tujuh jalan sengsara berturut-turut dan wujud-wujud apakah yang akan dijalani Susthita putradewa?”
Raja Sakra segera menenangkan pikirannya memasuki samadhi dan mengamati secara seksama. Segera, dia melihat Susthita menjalani tujuh jalan sengsara dalam wujud babi, anjing, serigala, monyet, ular sawah, burung gagak dan burung bangkai, yang kesemuanya hidup dari sampah dan bangkai. Setelah melihat tujuh masa depan wujud kelahiran kembali Susthita putradewa, Raja Sakra merasa hancur dan sangat sedih, tetapi tidak dapat memikirkan jalan lain untuk menolong Susthita. Dia merasa hanya Sang Tathagata, Arahat, Samyak-sambuddha yang dapat menyelamatkan Susthita dari kejatuhan ke dalam penderitaan hebat di jalan sengsara.
Maka, segera setelah malam tiba, Raja Sakra menyiapkan berbagai macam rangkaian bunga, wewangian dan dupa. Menghiasi dirinya dengan bahan kain dewa terbaik dan membawa sesajian ini, Raja Sakra menuju taman Anathapindika, tempat kediaman Bhagavan Buddha. Saat tiba, Raja Sakra pertama-tama bersujud di kaki Buddha sebagai penghormatan, kemudian berjalan perlahan-lahan searah jarum jam mengelilingi Sang Buddha untuk pemujaan, sebelum meletakkan persembahan agungnya. Sambil berlutut di depan Sang Buddha, Raja Sakra menjelaskan takdir akhir dari Susthita putradewa yang akan terperosok ke dalam jalan sengsara dengan tujuh kelahiran kembali berturut-turut ke dalam alam binatang dengan rincian dari hukuman karma lanjutannya.
Seketika, Usnisa (mahkota) dari Sang Tathagata memancarkan bermacam-macam sinar terang benderang, menerangi dunia di sepuluh penjuru, dan cahaya tersebut memantul kembali, melingkari Buddha tiga kali sebelum masuk ke dalam mulut-NYA. Kemudian Sang Buddha tersenyum dan berkata kepada Raja Sakra. “Raja Surga, terdapat Dharani yang dikenal sebagai “Usnisa Vijaya Dharani”. Dharani ini dapat menyucikan semua jalan sengsara, melenyapkan penderitaan atas kelahiran dan kematian secara menyeluruh. Dharani ini juga dapat membebaskan semua kesengsaraan dan penderitaan mahluk hidup di alam neraka, Raja Yama dan binatang, menghancurkan semua neraka, dan mengantarkan semua mahluk hidup ke jalan suci.
“Raja Surga, jikalau seseorang mendengar Usnisa Vijaya Dharani sekali saja, semua karma buruk dari kehidupan sebelumnya yang seharusnya menyebabkan ia terlahir di neraka akan terhancurkan semuanya. Sebaliknya, ia akan memperoleh badan yang baik dan bersih. Dimanapun ia dilahirkan kembali, dia akan mengingat Dharani ini secara jelas – dari satu kebuddhaan ke lainnya, dari satu alam surgawi ke alam surgawi lainnya. Sesungguhnya, melalui Surga Trayastrimsha, dimanapun ia terlahir kembali, dia tidak akan lupa.”
“Raja Surga, jikalau seseorang menjelang kematian mengingat Dharani suci ini, walaupun hanya sekejap, masa hidupnya akan diperpanjang dan ia akan memperoleh kesucian dalam raga, perkataan dan pikirannya. Tanpa penderitaan dan kesakitan badaniah dan sesuai dengan perbuatan baiknya, dia akan menikmati ketentraman di mana saja. Menerima berkah dari semua Tathagata, dan senantiasa dijaga dewa-dewa, dan dilindungi oleh Bodhisatva, ia akan dihormati dan dimuliakan masyarakat, dan semua rintangan kesengsaraan akan terhapuskan.”
“Raja Surga, jikalau seseorang dengan ikhlas membaca dan melafalkan Dharani ini, walaupun sekejap saja, semua hukuman karmanya yang akan menyebabkan ia menderita di alam neraka, binatang, Raja Yama, setan lapar, akan dihancurkan seluruhnya dan dihapuskan tanpa meninggalkan jejak. Ia akan bebas pergi ke tanah suci Buddha dan istana surga manapun, semua pintu gerbang ke kediaman Bodhisatva akan terbuka untuknya tanpa hambatan.”
Setelah mendengar ajaran ini, Raja Sakra segera memohon kepada Sang Buddha, “Demi semua mahluk hidup, semoga Bhagavan Buddha memberikan ajaran mengenai bagaimana usia hidup seseorang dapat diperpanjang.” Sang Buddha mengetahui keinginan Raja Sakra dan keinginannya untuk mendengar ajaran-NYA mengenai Dharani ini dan segera mengucapkan Mantra ini seperti demikian:
"NAMO BHAGAVATE TRAILOKYA PRATIVISISTAYA BUDDHAYA BHAGAVATE. TADYATHA, OM, VISUDDHAYA-VISUDDHAYA, ASAMA-SAMA SAMANTAVABHASA-SPHARANA GATI GAHANA SVABHAVA VISUDDHE, ABHINSINCATU MAM. SUGATAVARA VACANA AMRTA ABHISEKAI MAHA MANTRA-PADAI. AHARA-AHARA AYUH SAM-DHARANI. SODHAYA-SODHAYA, GAGANA VISUDDHE. USNISA VIJAYA VISUDDHE. SAHASRA-RASMI, SAMCODITE, SARVA TATHAGATA AVALOKANI, SAT-PARAMITA, PARIPURANI, SARVA TATHAGATA MATI DASA-BHUMI, PRATI-STHITE, SARVA TATHAGATA HRDAYA ADHISTHANADHISTHITA MAHA-MUDRE. VAJRA KAYA, SAM-HATANA VISUDDHE. SARVAVARANA APAYA DURGATI, PARI-VISUDDHE, PRATI-NIVARTAYA AYUH SUDDHE. SAMAYA ADHISTHITE. MANI-MANI MAHA MANI. TATHATA BHUTAKOTI PARISUDDHE. VISPHUTA BUDDHI SUDDHE. JAYA-JAYA, VIJAYA-VIJAYA, SMARA-SMARA. SARVA BUDDHA ADHISTHITA SUDDHE. VAJRI VAJRAGARBHE, VAJRAM BHAVATU MAMA SARIRAM. SARVA SATTVANAM CA KAYA PARI VISUDDHE. SARVA GATI PARISUDDHE. SARVA TATHAGATA SINCA ME SAMASVASAYANTU. SARVA TATHAGATA SAMASVASA ADHISTHITE, BUDDHYA-BUDDHYA, VIBUDDHYA-VIBUDDHYA, BODHAYA-BODHAYA, VIBODHAYA-VIBODHAYA. SAMANTA PARISUDDHE. SARVA TATHAGATA HRDAYA ADHISTHANADHISTHITA MAHA-MUDRE SVAHA." (Usnisa Vijaya Dharani ini adalah versi perbaikan dengan beberapa tambahan pada naskah asli terjemahan Sanskerta)


Kemudian Buddha berkata kepada Raja Sakra, “Mantra ini dikenal sebagai 'Yang Mensucikan Semua Jalan Sengsara Usnisa Vijaya Dharani'. Dharani ini dapat menghilangkan semua rintangan karma buruk dan menghapuskan penderitaan di semua jalan sengsara.”
“Raja Surga, Dharani termasyur ini dinyatakan serentak oleh Buddha-Buddha sebanyak delapan puluh delapan koti (ratusan juta) sejumlah butiran-butiran pasir di Sungai Gangga. Semua Buddha bergembira dan menjunjung tinggi Dharani ini yang dibuktikan dengan tanda bukti kebijaksanaan dari Maha Vairocana Tathagata. Ini karena di dalam jalan sengsara, untuk membebaskan mereka dari hukuman menyakitkan dalam alam neraka, binatang dan Raja Yama; untuk melepaskan semua mahluk yang menghadapi bahaya keterperosokan ke dalam lautan lingkaran kelahiran dan kematian (samsara); untuk membimbing mahluk-mahluk lemah yang berusia pendek dan kurang beruntung dan untuk melepaskan mahluk-mahluk yang suka melakukan semua perbuatan jahat. Selain itu, karena ia berdiam dan dijunjung tinggi di dunia Jambudwipa, kekuatan yang ditunjukkan oleh Dharani ini akan mengakibatkan semua mahluk dalam neraka dan alam setan lainnya; orang yang kurang beruntung dan berpusar dalam lingkaran kelahiran dan kematian; orang yang tidak percaya adanya perbuatan baik dan jahat dan yang menyimpang dari jalan benar, untuk mencapai pelepasan.”
Kembali Buddha mengingatkan Raja Sakra, “Saya sekarang mempercayakan Dharani suci ini kepadamu. Giliranmu untuk meneruskannya kepada Susthita putradewa. Sebagai tambahan, kamu, dirimu sendiri harus menerima dan menunjung tinggi, melafal, merenung, dan menghargainya, menghafal dan menghormatinya. Mudra Dharani ini harus disebarluaskan kepada semua makluk hidup di dunia Jambudwipa. Saya juga mempercayakan hal ini kepadamu, untuk kebaikan semua mahluk-mahluk surgawi, di mana Mudra Dharani ini harus disebarluaskan. Raja Surga, kamu harus tekun menjunjung tinggi dan melindunginya, jangan pernah membiarkan Dharani ini dilupakan atau hilang.”
“Raja Surga, bila seseorang mendengar Dharani ini walaupun sekejap saja, dia tidak akan menjalani hukuman karma yang berasal dari karma jahat dan dosa-dosa berat yang terakumulasi dari ribuan kalpa lalu, yang sepantasnya menyebabkan ia berpusar dalam lingkaran kelahiran dan kematian – dalam semua bentuk kehidupan di jalan sengsara – neraka, setan lapar, binatang, alam Raja Yama, Asura, Yaksa, Raksasa, setan dan roh, Putana, Kataputana, Apasmara, nyamuk, kutu, kura-kura, anjing, ular phiton, burung, binatang buas, binatang merayap dan bahkan semut dan bentuk-bentuk kehidupan lainnya. Hasil dari kebaikan yang terkumpul dari mendengar sekejap Dharani ini, ketika kehidupan fana ini berakhir, dia akan terlahir kembali ke tanah Buddha, bersama dengan semua Buddha-Buddha dan Ekajati-pratibaddha Bodhisatva, atau di dalam keluarga Brahmana atau ksatria termasyur, atau dalam beberapa keluarga kaya dan terhormat lainnya. Raja Surga, manusia ini dapat terlahir kembali dalam salah satu dari keluarga makmur dan terhormat di atas hanya karena dia telah mendengar Dharani ini, dan karenanya terlahir kembali di tempat suci.”
“Raja Surga, bahkan memperoleh kemenangan gilang gemilang Bodhimanda adalah hasil dari menjunjung kebajikan dari Dharani ini. Oleh sebab itu, Dharani ini juga dikenal sebagai Dharani Bertuah, yang dapat mensucikan semua jalan sengsara. Usnisa Vijaya Dharani ini sama seperti Harta dari Mutiara Mani Matahari – murni dan tanpa cacat, jernih seperti langit, bersinar gemilang dan terpancar. Jika makluk apapun menjunjung tinggi Dharani ini, sama halnya mereka akan turut cemerlang dan murni. Dharani ini menyerupai emas Jambunada - cemerlang, murni, dan lembut, tidak dapat dinodai oleh kotoran dan semua yang menyaksikannya turut berkenan. Raja Surga, mahluk-mahluk yang menjunjung tinggi Dharani ini juga turut suci. Dengan kebajikan dari amalan murni, mereka akan terlahir kembali di jalan yang benar.”
“Raja Surga, kemanapun Dharani ini berada, jika ditulis untuk disebarluaskan, diperbanyak, diterima dan disimpan, dibaca dan dilafalkan, didengar dan dipuja, ini akan mengakibatkan semua jalan sengsara termurnikan; kesengsaraan dan penderitaan dalam semua neraka akan terhapuskan seluruhnya.”
Buddha menceritakan kembali kepada Raja Sakra secara seksama, “Jika seseorang dapat menulis Dharani ini dan meletakkan-Nya di puncak dari panji tinggi, gunung tinggi atau dalam bangunan tinggi atau menyimpannya di dalam stupa; Raja Surga! Jika di sana terdapat Bikkhu atau Bikkhuni, Upasaka atau Upasika, kaum pria atau wanita jelata yang melihat Dharani ini di atas bangunan tersebut; atau jika bayangan dari bangunan tersebut menimpa mahluk yang mendekati bangunan, atau butiran debu dari Dharani tertulis ini ditiup mengenai badan mereka; Raja Surga: “Bila karma jahat yang terkumpul dari mahluk-mahluk ini yang sepantasnya mengakibatkan mereka jatuh ke dalam jalan sengsara seperti alam neraka, binatang, Raja Yama, setan lapar, Asura dan lainnya, mereka semuanya akan terlepaskan dari jalan sengsara, dan mereka tidak akan ternoda oleh kenajisan dan kotoran. Raja Surga! Sebaliknya, semua Buddha akan melimpahkan amal (Vyakarana) kepada mahluk-mahluk yang tidak akan pernah surut dari jalan menuju Anuttara-samyak-sambodhi (penerangan sempurna)”.
“Raja Surga, bagaimanapun jikalau seseorang memberikan berbagai persembahan seperti rangkaian bunga, wewangian, dupa, panji dan bendera, tenda yang dihiasi permata, pakaian, kalung dari batu berharga, dan lain-lain untuk menghiasi dan menghormati Dharani ini; Dan pada jalan utama, jika seseorang membuat stupa khusus untuk rumah tempat Dharani ini, dan dengan hormat dengan tangan memuja berjalan perlahan-lahan mengelilingi pagoda, merunduk dan meminta perlindungan, Raja Surga, mereka yang membuat persembahan ini disebut Mahasatva terpandang, pengikut Buddha sejati, dan penyokong Dharma. Stupa-stupa tersebut dapat dianggap sebagai Stupa-Sharira seluruh wujud Sang Tathagata.”
Saat itu, sore menjelang malam, penguasa alam neraka – Raja Yama, datang untuk ke kediaman Sang Buddha. Pertama-tama, menggunakan berbagai bahan kain Dewa, bunga-bunga cantik, wewangian dan hiasan-hiasan lainnya, beliau membuat persembahan kepada Sang Buddha, dan berjalan perlahan-lahan mengelilingi Sang Buddha tujuh kali sebelum bersujud di hadapan kaki Sang Buddha untuk penghormatan, kemudian berkata, “Saya mendengar Sang Tathagata memberikan ajaran untuk memuja menjunjung tinggi Dharani agung. Saya datang dengan maksud untuk belajar dan mengamalkannya. Saya akan senantiasa mengawal dan melindungi mereka yang menjunjung tinggi, membaca, dan melafalkan Dharani agung ini, tidak membiarkan mereka jatuh dalam neraka karena mereka telah mengikuti ajaran Sang Tathagata.”
Saat ini, ke-empat pengawal dunia – Sang Caturmaharaja (Empat Raja Surgawi) berjalan perlahan-lahan mengelilingi Buddha tiga kali, dengan sangat hormat mengatakan, “Bhagavan Buddha, bolehkah Sang Tathagata menjelaskan secara rinci jalan untuk menjunjung tinggi Dharani ini.”
Sang Buddha lalu mengatakan kepada Empat Raja Surgawi , “Silakan didengarkan secara seksama, untuk kebaikan kalian sebagaimana kebaikan untuk semua mahluk hidup yang berusia pendek, Saya sekarang akan menjelaskan cara untuk menjunjung tinggi Dharani ini.”
Pada hari bulan purnama – hari ke-15 penanggalan lunar, seseorang harus mandi dahulu dan mengenakan pakaian bersih, menjunjung tinggi ajaran kesempurnaan dan melafalkan Dharani ini 1000 kali. Ini akan mengakibatkannya panjang umur, dan bebas selamanya dari penderitaan karena sakit; semua halangan karmanya akan dihapuskan seluruhnya. Seseorang akan dibebaskan dari penderitaan di neraka. Jika burung, binatang dan mahluk-mahluk hidup lainnya mendengar Dharani ini sekali saja, mereka tidak akan pernah terlahir kembali ke dalam bentuk ketidaksempurnaan dan badan kasar ini ketika hidup mereka berakhir.”
Buddha melanjutkan, “Jika seseorang yang menderita penyakit parah mendengar Dharani ini, dia akan terbebas dari penyakitnya. Semua penyakit lainnya juga akan terhapuskan, demikian juga dengan karma jahat yang akan mengakibatkannya jatuh dalam jalan sengsara. Dia akan terlahir kembali ke Tanah Kebahagiaan Tertinggi setelah akhir hidupnya. Sejak saat itu dan setelahnya dia tidak akan lagi terlahir dari rahim. Sebaliknya, dimanapun dia dilahirkan kembali, dia akan dilahirkan menjelma dari bunga teratai dan akan selalu mengingat dan menjunjung tinggi Dharani ini dan mendapatkan pengetahuan mengenai kehidupan lalunya.”
Buddha menambahkan, “Jika seseorang telah melakukan semua perbuatan sangat jahat sebelum kematiannya, menurut perbuatan dosanya, dia sepantasnya jatuh ke dalam alam neraka, binatang, Raja Yama atau setan lapar, atau bahkan kedalam neraka Avichi besar, atau dilahirkan kembali menjadi mahluk air, atau dalam salah satu dari bentuk burung dan binatang. Jika seseorang bisa mendapatkan bagian tulang dari jasad mendiang, dan mengenggam segenggam penuh tanah, membacakan Dharani ini 21 kali sebelum menaburkan tanah ini di atas tulang-tulang itu, maka si mendiang tersebut akan terlahir kembali di surga.”
Buddha menambahkan kembali, “Jika seseorang dapat melafalkan Dharani ini 21 kali sehari, seseorang berhak menerima semua berkah berkelimpahan dan akan terlahir kembali ke Tanah Kebahagiaan Tertinggi setelah kematiannya. Jika seseorang melafalkan Dharani ini secara rutin, seseorang akan mencapai Maha Parinirvana dan akan memperpanjang usia hidupnya disamping menikmati kebahagiaan yang sangat luar biasa. Setelah kehidupannya berakhir, dia akan terlahir kembali ke salah satu tanah bahagia Buddha, senantiasa didampingi para Buddha. Semua Tathagata akan selalu memberikan pelajaran mengenai kebenaran sejati dan sempurna atas Dharma dan seluruh dunia. Baghavan Buddha akan menganugerahkan amal kesempurnaannya. Sinar yang menerangi tubuhnya akan menyinari semua tanah Buddha.”
Buddha menjelaskan lebih jauh, “Untuk melafalkan Dharani ini, seseorang pertama-tama, di depan gambar Buddha, menggunakan tanah bersih untuk membuat Mandala segi empat, ukurannya sesuai keinginannya. Di atas Mandala, seseorang harus menyebarkan berbagai jenis rumput, bunga dan menyalakan beberapa dupa terbaik. Kemudian sambil berlutut dengan lutut kanan di atas lantai, penuh konsentrasi melafalkan nama Buddha dan dengan tangan dalam simbol Mudra, (yaitu dengan kedua tangan, menekuk jari telunjuk dan menekannya ke bawah dengan ibu jari dan kedua telapak tangan dihadapkan dan diposisikan di hadapan dada) untuk penghormatan, seseorang harus melafalkan Dharani ini 108 kali. Taburan bunga akan turun dari awan dan seterusnya akan menjadi persembahan semesta bagi Buddha sejumlah butiran pasir dari delapan puluh delapan Sungai Gangga. Buddha-Buddha ini akan dipuja selamanya, “Bagus sekali! Sungguh-sungguh jarang! Seorang pengikut Buddha sejati!” Seseorang akan langsung mencapai Pencerahan Kebijaksanaan Samadhi dan Samadhi Terhias Pikiran Raga Agung. Demikianlah jalan untuk menjunjung tinggi Dharani ini.”
Buddha menegaskan kembali Raja Sakra, berkata, “Raja Surga, Sang Tathagata menggunakan jalan sederhana ini untuk melepaskan mahluk-mahluk yang telah jatuh ke dalam neraka; mensucikan semua jalan sengsara dan memperpanjang usia hidup mereka yang menjunjung tinggi Dharani ini. Raja Surga, silakan kembali dan memberikan Dharani ini kepada Susthita putradewa. Setelah tujuh hari, datanglah bertemu saya bersama-sama Susthita putradewa.”
Demikianlah, di tempat Bhagavan Buddha, Raja Surga secara hormat menerima amalan Dharani ini dan kembali ke istana surgawi untuk menyerahkannya kepada Susthita putradewa.
Setelah menerima Dharani ini, Susthita putradewa terus menerus mengamalkannya seperti diajarkan selama enam hari dan enam malam, setelahnya semua keinginannya tercapai seluruhnya. Karma yang seharusnya menyebabkan dia menderita di semua jalan sengsara terlenyapkan seluruhnya. Dia tetap berada di Jalan Bodhi dan menambah usia hidupnya untuk periode waktu yang tidak terhingga. Demikianlah, dia sangat senang, berteriak untuk memuji, “Tathagata Luar Biasa! Dharma yang sangat bagus dan jarang! Kemanjurannya telah terbuktikan! Sungguh-sungguh jarang! Saya benar-benar telah terlepaskan!”
Ketika lewat tujuh hari, Raja Sakra membawa Susthita putradewa bersama-sama dengan semua mahluk-mahluk surgawi, dengan hormat membawa perhiasan terbagus dan terbaik yang terdiri dari rangkaian bunga, wewangian, dupa, panji berpermata, tenda yang dihiasi batu berharga, bahan kain dewa dan kalungan batu pertama, mendatangi kediaman Buddha dan menyerahkan persembahan agung ini. Dengan menggunakan bahan kain surgawi dan berbagai kalungan batu permata mengadakan persembahan untuk Bhagavan Buddha, kemudian mereka dengan hormat berjalan mengelilingi Sang Buddha seratus ribu kali, memberi penghormatan kepada Sang Buddha, kemudian dengan senang hati duduk di tempat duduk mereka dan mendengarkan Sang Buddha berkhotbah Dharma.
Bhagavan Buddha kemudian memanjangkan tangan emasnya dan menyentuh mahkota Susthita putradewa, yang mana kepadanya tidak hanya diberikan khotbah Dharma tetapi juga melimpahkan amal kepada Susthita putradewa untuk mencapai Bodhi.
Akhirnya, Sang Buddha berkata, “Sutra ini akan dikenal sebagai 'Yang Mensucikan Semua Jalan Sengsara Usnisa Vijaya Dharani'. Kamu harus tekun menjunjung tingginya.” Setelah mendengar Dharma ini, seluruh anggota pertemuan sangat gembira. Mereka menerima dengan iman kepercayaan dan mengamalkan Dharani ini dengan rasa hormat.

http://id.wikipedia.org/wiki/Usnisa_Vijaya_Dharani

Minggu, 13 Maret 2011

" SABDA BUDDHA GOTAMA MENGENAI SUTRA ULLAMBANA ”

Cara Menolong Orangtua yang telah meninggal.


Suatu ketika , Buddha Gotama sedang memberikan khotbah Dharma di hutan Bambu Jeta milik Ananthapindika yang terletak di Shravasti. Di antara ke sepuluh murid utama, Yang Arya Maudgalyayana baru saja mencapai enam macam kekuatan batin. Beliau teringat akan kedua orang tua beliau yang telah meninggal dunia bertahun- tahun yang lalu dan ingin tahu di mana mereka terlahir sekarang.

Dalam upaya untuk membalas kebaikan ibu beliau yang telah melahirkan dan mengasuh beliau, Yang Arya Maudgalyayana dengan mata batinnya mencari keseluruh alam semesta dan mengetahui bahwa Ibunya terlahir di alam hantu kelaparan. Ibu beliau tampak begitu kurus, seolah-olah hanya berupa tulang terbungkus kulit. Hal tersebut merupakan suatu penglihatan yang sangat memilukan.

Setelah melihat kondisi Ibunda beliau, Yang Arya Maudgalyayana di liputi kesedihan yang mendalam. Beliau mengisi mangkuk makanan beliau dengan makanan dan berangkat untuk menyelamatkan ibunda beliau.

Ketika ibu beliau melihat makanan tersebut, dia buru-buru menutupi mangkuk makanan yang berisi makanan tersebut dengan tangan kirinya karena takut di ketahui oleh hantu lainnya dan merampasnya.

Kemudian ibu Yang Arya Maudgalyayana menggunakan tangan kanannya untuk menyuap makanan tersebut ke mulutnya. Akan tetapi, sebelum memasuki mulutnya makanan tersebut malah berubah menjadi arang yang membara.

Kemudian api menyembur keluar dari mulutnya dan diapun terbakar seketika.
Ketika Yang Arya Maudgalyayana menyaksikan pemandangan tersebut, beliau menangis tersedu-sedu. Meskipun telah mendapat buah spiritual melalui latihan yang di jalani, tetap saja beliau tidak mampu meyelamatkan ibunda beliau dari alam hantu kelaparan.
Sebagai seorang anak, beliau merasa amat tidak berdaya dan sedih. Beliau pergi menjumpai Buddha Gotama untuk meminta pertolongan.

Yang Arya Maudgalyayana memberitahu Buddha Gotama mengenai penderitaan yang di alami oleh ibunda beliau dan meminta nasehat dari Buddha Gotama untuk mencari cara meringankan penderitaan ibunda beliau.

Setelah mendengar cerita Yang Arya Maudgalyayana, Buddha Gotama berkata, “Karma buruk yang telah di perbuat oleh ibumu pada masa lalu terlalu berat. Tidak mungkin untuk menyelamatkannya dengan kekuatanmu seorang.
Meskipun engkau adalah anak yang berbakti, dan tangisanmu telah menggetarkan langit dan bumi, rasa baktimu telah menyentuh hati para dewa langit, dewa bumi dan juga para pengikut Jalan……..”

“……penabur benih dari Sang Jalan dan juga Empat Raja Dewa dari empat penjuru, tetapi mereka tidak dapat menyelamatkan ibumu!”
Yang Arya Maudgalyayana berada dalam kondisi putus asa yang luar biasa dan air mata berlinang ke pipinya tak henti-hentinya. Buddha Gotamaberkata, “Sekarang Aku akan memberitahukan kepadamu satu-satunya cara yang dapat di lakukan untuk membebaskan ibumu dari penderitaan.”

“Engkau harus menyiapkan kebutuhan sehari-hari yang terbaik dan kemudian mempersembahkannya kepada persamuhan Sanggha yang mulia dari sepuluh penjuru pada hari ke lima belas bulan ke tujuh penanggalan lunar, pada akhir masa wassa.”

“Pada saat itu, para makhluk mulia akan berkumpul, para Srawaka, para Pratyeka Buddha dan lain-lain, akan berkumpul untuk menerima pemberianmu, bahkan para Bodhisattwa akan menjelma sebagai para bhiksu untuk menerima persembahanmu.”
“ Buah perbuatan baik yang di hasilkan oleh perbuatan ini adalah luar biasa besar nilainya. Bukan hanya orang tua dan kerabat pada banyak masa kehidupan lampau yang akan segera terbebaskan dari tiga alam rendah……”

“……bahkan orang tua kita yang sekarang, yang masih hidup di dunia ini, akan mendapat berkah berupa kesehatan dan panjang umur, orang tua kita dalam tujuh kehidupan yang lampau akan segera terlahir kembali di alam surge para Dewa.”
Yang Arya Maudgalyayana bertindak seperti yang telah di katakan oleh Buddha Gotama lalu memberi arahan kepada para anggota Sanggha dari sepuluh penjuru untuk mengulang Parita Mantra dan Doa…..

…..berharap orang tua mereka dalam tujuh kehidupan lalu dapat terbebas dari penderitaan dan mendapatkan kebahagiaan. Para anggota Sanggha harus merenungkan perbuatan baik tersebut dan melakukan meditasi sebelum menerima persembahan makanan.
Persembahan tersebut harus di letakkan di depan Altar Buddha Gotama yang terdapat di Wihara atau Pagoda. Makanan tersebut hanya boleh di makan setelah anggota Sanggha telah selesai membacakan mantra dan doa.

Pada waktu itu, semua Bhiksu yang telah mencapai pencerahan dan para Bodhisattwa yang agung akan hadir untuk menerima persembahan makanan tersebut di penuhi kegembiraan.

Tepat pada waktu itu juga ibunda Yang Arya Maudgalyayana terbebas dari penderitaan alam hantu kelaparan dalam kalpa ini. Kesedihan dan tangisan Yang Arya Maudgalyayana pun berhenti.

Yang Arya Maudgalyayana kemudian berkata kepada Buddha, ”Ibunda saya telah terbebas dari penderitaan sebagai hantu kelaparan (alam Peta) di karenakan oleh buah kebaikan dan kebijaksanaan dari Tiga Permata dan juga oleh kekuatan Spiritual yang luar biasa dari para anggota sanggha…..”

“…..Dan di masa yang akan datang, jika ada umat Buddha lainnya, yang berniat untuk menyelamatkan orang tua mereka yang sekarang, ataupun orang tua mereka dalam tujuh kehidupan yang lampau, dapatlah mereka menggunakan cara yang sama berupa persembahan makanan kepada anggota Sanggha dalam pertemuan Dharma Ullambana?”

Buddha Gotama berkata, “Tindakan itu akan menghasilkan buah kebajikan yang luar biasa besarnya.Sungguh baik engkau menanyakan hal tersebut! Sebenarnya, Tathagata juga hendak memberitahu engkau mengenai hal tersebut !”

Buddha Gotama berkata, ”Jika terdapat bhiksu, bhiksuni, umat awam mulai dari raja sampai pada lapisan umat awam biasa yang berniat untuk mempraktikkan bakti kepada orang tua mereka. Maka mereka harus memberi persembahan empat kebutuhan hidup kepada anggota Sanggha pada tanggal lima belas bulan ke tujuh penanggalan lunar, pada akhir masa wassa.”

“ Mereka harus mempersiapkan segala jenis makanan yang baik kualitasnya dan meletakkannya dalam bejana persembahan Ullambana, untuk di persembahan kepada anggota Sanggha yang telah melakukan latihan spiritual dalam segenap sepuluh penjuru. Kemudian melimpahkan buah kebajikan yang di peroleh kepada orang tua mereka yang sekarang sehingga orang tua mereka dapat memperoleh umur panjang dan terbebas dari kegelisahan, penyakit dan bencana…..”

“…..mereka juga bisa melimpahkan buah kebajikan yang di hasilkan kepada orang tua mereka yang telah meninggal dalam tujuh kehidupan yang lampau sehingga orang tua mereka dapat terbebas dari alam hantu kelaparan (alam Peta). Maka akan terlahir sebagai manusia ataupun sebagai dewa untuk menikmati kebahagiaan. Semua umat Buddha, yang berniat mempraktikkan bakti terhadap orang tua, harus selalu mengingat ajaran ini dalam pikiran masing-masing.”

“Mengingat segala penderitaan yang telah di tanggung kedua orang tua kita, cara terbaik untuk membalas kebaikan mereka adalah memberi persembahan kepada Buddha dan para anggota Sanggha selama masa peringatan Ullambana pada tanggal lima belas bulan ke tujuh penanggalan lunar tiap tahun. Semua anak seharusnya mempraktikkan hal ini.”

Yang Arya Maudgalyayana dan ke empat kelompok murid lainnya amat berbahagia mendengar ajaran Buddha Gotama tersebut. Mereka bertekad untuk selalu mengingat dan menjalankan ajaran tersebut sepenuh hati.
Sumber: Buku Sutra Ullambana versi Mahayana.

Kesimpulan:
Menurut Buddha Gotama; seorang anak harus berbakti dan balas budi jasa baik orangtua selama hidupnya, hingga meninggal.

Dalam Sigalowada Sutta, Buddha Gotama memberi pesan sederhana
tentang tugas anak-anak terhadap orangtua sbb:

1. Membantu pekerjaan Orangtua dengan sepenuh hati dan pikiran.
2. Menjaga nama baik keturunan Orangtua dengan prilaku yang baik dan benar.
3. Menjaga harta kekayaan dan uang milik Orangtua yang telah susah payah
diperjuangkan.
4. Merawat dan melayani Orangtua ketika sudah tua dan uzur, dengan sepenuh hati dan
pikiran.
5. Patuh dan taat pada Orangtua, jangan sampai berani melawan dan membantah.
6. Dulu orangtua melahirkan, merawat dan membesarkan aku, kini aku harus tahu
berterimakasih dan mau membalas jasa Orangtua dengan sepenuh hati dan pikiran.
7. Memilih pasangan hidup yang seizin Orangtua, dan jangan membantah.
8. Melimpahkan jasa kebaikkan kepada orangtua dan para leluhur yang telah meninggal.

Bila orangtua sudah meninggal, seorang anak harus membuat upacara pelimpahan jasa kepada orangtua. Dengan cara mengundang para bhikkhu anggota Sanggha ke rumah, dan menjamu makan dan minum yang lezat dan memuaskan. Mempersembahkan kebutuhan lainnya untuk para bhikkhu, setelah itu perbuatan baik tersebut dikirimkan kepada orangtua yang telah meninggal.

Dengan doa; semoga karma baik yang saya lakukan ini akan melimpah kepada orangtua dan para leluhur yang telah meninggal bernama …semoga beliau semua ikut berbahagia atas perbuatan baik yang saya lakukan ini. Semoga orangtua dan para leluhur kami segera terlahir ke alam bahagia para Dewa atau ke alam manusia yang lebih baik lingkungan hidupnya, yaitu penuh kebahagiaan dan bisa mengenal Dharma ajaran Buddha.

Demikianlah cara seorang anak membalas budi jasa baik orangtua dan para leluhur yang telah meninggal.
Semoga uraian singkat ini berguna bagi umat, dan terimakasih atas perhatiannya.
Sabbe satta bhawantu sukhitatta.
Semoga semua makhluk hidup bahagia.
Ven Sudhammacaro.

sumber  : http://sudhammacaro.blogspot.com/2010/07/sabda-buddha-gotama-mengenai-sutra.html

Sabtu, 12 Maret 2011

Gangeyya Jataka

No. 205

GAṄGEYYA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[151] “Ikan-ikan dari,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika tinggal di Jetavana, tentang dua bhikkhu muda.
Dikatakan bahwasanya dua bhikkhu muda ini adalah anggota dari sebuah keluarga yang terpandang di Sāvatthi dan memiliki keyakinan. Tetapi mereka, dengan tidak menyadari akan keburukan dari badan jasmani, memuji ketampanan mereka sendiri dan menyombongkan hal tersebut.
Suatu hari mereka bertengkar dikarenakan permasalahan ini: “Anda tampan, demikian juga saya,” kata mereka masing-masing. Melihat ada seorang thera tua yang duduk tidak jauh dari sana, mereka setuju kalau dia mungkin tahu apakah mereka tampan atau tidak. Kemudian mereka menghampirinya dan bertanya, “Bhante, siapakah yang tampan di antara kami?” Sang Thera menjawab, “Āvuso, saya lebih tampan daripada kalian berdua.” Terhadap ini, kedua bhikkhu muda tersebut mencelanya dan pergi, sambil mengomel bahwa dia menjawab sesuatu yang tidak mereka tanyakan, tetapi tidak menjawab apa yang mereka tanyakan.
Para bhikkhu mengetahui kejadian ini, dan pada suatu hari, ketika bersama-sama di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, thera tersebut mempermalukan kedua bhikkhu muda yang pikirannya dipenuhi dengan ketampanan mereka sendiri!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selama mereka duduk bersama. Mereka menceritakan kepada-Nya. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, kedua bhikkhu muda ini memuja ketampanan mereka sendiri, tetapi di masa lampau juga mereka selalu menyombongkannya seperti apa yang mereka lakukan sekarang.”
Dan kemudian Beliau menceritakan mereka sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon di tepi Sungai Gangga. Pada satu titik, tempat Gangga dan Jumma bertemu, dua ekor ikan bertemu satu sama lain, satu dari Gangga dan satu dari Jumma. “Saya cantik!” kata yang satu, “dan begitu juga kamu!” dan kemudian mereka bertengkar mengenai kecantikan mereka.
Tidak jauh dari Sungai Gangga, mereka melihat seekor kura-kura berbaring di tepi sungai, “Teman di sana yang akan memutuskan apakah kita cantik atau tidak!” kata mereka. Dan mereka pun menghampirinya. “Siapakah yang cantik di antara kami, Teman Kura-kura,” tanya mereka, “ikan Gangga atau ikan Jumma?” Kura-kura menjawab, “Ikan Gangga cantik dan ikan Jumma juga cantik, tetapi sayalah yang paling cantik di antara kalian berdua.” Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama:— [152]
Ikan-ikan dari Sungai Jumma itu cantik,
ikan-ikan dari Sungai Gangga cantik,
tetapi seekor makhluk berkaki empat,
dengan leher lonjong seperti saya,
bulat seperti pohon beringin yang menyebar,
pastilah melebihi semuanya.
Ketika mendengar ini, kedua ikan itu berkata, “He, Kura-kura Jahat, kamu tidak menjawab pertanyaan kami, malah menjawab yang lain!” dan mereka mengulangi bait kedua:
Kami menanyakan ini, dia menjawab itu:
sungguh sebuah jawaban yang aneh!
Dengan lidahnya sendiri dia memuji diri sendiri:—
saya tidak menyukainya!
____________________
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, kedua bhikkhu muda adalah kedua ekor ikan, sang thera tua adalah kura-kura, dan Aku adalah dewa pohon yang melihat semua kejadian itu dari tepi Sungai Gangga.”

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/gangeyya-jataka/#more-8922

Assaka Jataka

No. 207

ASSAKA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Dahulu bersama Raja Assaka yang agung,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya.
Beliau bertanya kepada bhikkhu tersebut apakah apakah benar dia menyesal. Bhikkhu tersebut berkata, “Ya.” “Kepada siapakah Anda jatuh cinta?” lanjut Sang Guru. “Mantan istri saya,” balasnya. Kemudian Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini saja, Bhikkhu, Anda sangat menginginkan wanita ini. Di masa lampau, cintanya membuatmu mendapatkan penderitaan yang besar.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, seorang Raja Assaka memerintah di Potali, sebuah kota di Kerajaan Kāsi. Permaisurinya, yang bernama Ubbarī (Ubbari), amatlah disayanginya. Wanita ini sangat memikat dan anggun, dan kecantikannya melampaui banyak wanita meskipun tidak secantik seorang dewi.
Permaisurinya ini kemudian meninggal, dan kematiannya membuat raja sangat berduka, sedih dan sengsara. Raja membaringkan jasad permaisuri ke dalam sebuah peti mati dan dibalsam dengan minyak dan ramuan, kemudian diletakkan di bawah ranjang. Di sana, raja berbaring tanpa makan, hanya menangis dan meratap. [156] Sia-sia apa yang dilakukan oleh orang tua dan sanak keluarga, teman-teman dan anggota istana, para brahmana dan penduduk, untuk memintanya agar tidak bersedih karena segala sesuatu pasti berubah. Mereka tidak dapat menggerakkan hatinya. Demikian dia berbaring dalam duka, tujuh hari pun berlalu.
Kala itu, Bodhisatta adalah seorang petapa yang memiliki lima kesaktian dan delapan pencapaian meditasi; dia berdiam di bawah kaki gunung Himalaya. Dia memiliki kekuatan mata dewa, dan ketika melihat sekeliling India dengan penglihatan saktinya itu, dia melihat raja itu meratap, dan langsung memutuskan untuk menolongnya. Dengan kekuatan gaibnya, dia terbang di udara dan turun di taman raja, duduk pada papan batu besar, seperti sebuah patung emas.
Seorang brahmana muda dari Kota Potali masuk ke dalam taman tersebut, dan ketika melihat Bodhisatta, dia memberinya salam dan duduk. Bodhisatta mulai berbicara dengan ramah kepadanya, “Apakah raja seorang pemimpin yang arif?” tanyanya. “Ya, Tuan, raja adalah seorang yang arif,” balas orang muda itu, “tetapi permaisurinya baru saja wafat; dia membaringkan tubuh permaisurinya ke dalam peti mati dan berbaring meratapinya; hari ini adalah hari ketujuh sejak dia mulai begitu.—Mengapa Anda tidak membebaskan raja dari penderitaan ini? Makhluk yang bajik seperti dirimu ini seharusnya mampu mengatasi penderitaan raja.”
“Saya tidak mengenal raja itu, Brahmana Muda,” kata Bodhisatta, “tetapi jika raja yang datang dan memintanya kepadaku sendiri, akan saya beri tahukan kepadanya tempat istrinya sekarang dilahirkan kembali, dan membuat wanita itu berbicara sendiri.” “Kalau begitu, Bhante, tunggulah di sini sampai kubawakan raja kepadamu,“ kata brahmana muda itu. Bodhisatta mengiyakannya, dan brahmana muda itu pun bergegas menghadap raja dan menceritakan kepadanya tentang hal itu. “Anda harus mendatangi orang ini yang memiliki penglihatan sakti!” katanya kepada raja.
Raja sangat gembira, memikirkan dapat melihat Ubbari, dan dia pun naik kereta kebesarannya dan mengendarainya menuju ke tempat itu. Setelah memberi salam kepada Bodhisatta, raja duduk di satu sisi dan bertanya, “Benarkah, seperti yang diberitahukan kepadaku bahwasanya Anda mengetahui di mana permaisuriku dilahirkan kembali?”
“Benar, Paduka,” jawabnya.
Kemudian raja menanyakan di manakah tempatnya. Bodhisatta menjawab, “Wahai Paduka, (dalam kehidupannya sebagai permaisuri) dia begitu dimabukkan oleh kecantikannya sehingga jatuh dalam kelalaian dan tidak melakukan perbuatan yang baik dan bajik. Jadi sekarang dia telah menjadi seekor ulat kotoran sapi di dalam taman ini.” [157] “Saya tidak percaya!” kata raja. “Kalau begitu saya akan memperlihatkannya kepada Anda dan membuatnya berbicara,” kata Bodhisatta. “Tolong buat dia berbicara!” kata raja.
Bodhisatta mengucapkan perintah—“Dua makhluk yang sibuk menggelindingkan gumpalan kotoran sapi, datanglah menghadap raja.” Dengan kekuatannya, dia membuat mereka melakukan demikian, dan mereka pun datang. Bodhisatta menunjuk salah satu dari mereka kepada raja: “Itu adalah Permaisuri Ubbari-mu, Paduka! Dia baru saja keluar dari gumpalan kotoran ini, mengikuti suaminya ulat kotoran. Lihat dan perhatikanlah.” “Apa! Permaisuri Ubbari-ku adalah seekor ulat kotoran? Saya tidak percaya!” teriak raja. “Saya akan membuatnya berbicara, Paduka!” “Saya mohon buatlah dia berbicara, Bhante!” katanya.
Bodhisatta dengan kekuatannya memberikan ulat tersebut kemampuan berbicara. “Ubbari!” katanya. “Ada apa, Bhante?” tanya Ubbari, dalam bahasa manusia.
“Siapakah namamu dalam kehidupan sebelumnya?” tanya Bodhisatta. “Namaku adalah Ubbari, Bhante,” jawabnya, “permaisuri Raja Assaka.”
“Beritahu saya,” lanjut Bodhisatta, “manakah yang paling kamu cintai sekarang–Raja Assaka atau ulat kotoran ini?” “Oh, Bhante, itu adalah kehidupan masa lampauku,” katanya, “kala itu, saya hidup bersamanya di taman ini, menikmati rupa, suara, bau, rasa dan sentuhan. Akan tetapi, sekarang ingatanku telah menjadi kabur dikarenakan kelahiran kembali, siapalah dirinya (Raja Assaka)? Sekarang saya akan (memilih untuk) membunuh Raja Assaka dan melumuri kaki suamiku, ulat kotoran, dengan darah yang mengalir dari kerongkongannya!” dan di hadapan raja, dia mengucapkan bait-bait berikut dalam bahasa manusia:
Dahulu bersama Raja Assaka yang agung, suamiku yang tercinta,
yang mencintai dan yang tercinta, saya berkeliaran di taman ini.
Tetapi sekarang, penderitaan baru dan kebahagiaan baru telah membuat yang lama lenyap.
Dan jauh lebih kucintai ulatku ini dibandingkan Assaka.
[158] Ketika mendengar ini, Raja Assaka menyesal di tempat itu juga, dan segera dia memerintahkan agar jasad permaisuri tersebut dikeluarkan, kemudian dia membasuh kepalanya sendiri. Dia memberi hormat kepada Bodhisatta dan pulang kembali ke kota, tempat dia menikahi permaisuri yang lain dan memerintah dengan benar. Dan Bodhisatta, setelah menasihati raja dan membuatnya bebas dari kesedihan, kembali ke Himalaya.
____________________
Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Mantan istrimu adalah Ubbarī (Ubbari); Anda, bhikkhu yang mabuk cinta adalah Raja Assaka; Sāriputta adalah brahmana muda tersebut; dan petapa itu adalah diri-Ku sendiri.”


http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/assaka-jataka/#more-8932

Kacchapa Jataka

No. 215 128

KACCHAPA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Kura-kura ingin berbicara,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika (Kokalika).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di  dalam Mahātakkāri-Jataka129. Di sini kembali Sang Guru berkata: “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Kokalika dirusak (reputasi)-nya karena berbicara, tetapi dia juga sama seperti sebelumnya.”
Dan kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di istana, tumbuh dewasa, menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Tetapi raja ini sangat suka berbicara; ketika dia berbicara, tidak ada kesempatan untuk yang lainnya mengucapkan sepatah kata pun. [176] Dan Bodhisatta menunggu suatu kesempatan, berharap dapat menghentikan pembicaraannya yang banyak itu.
Kala itu di sana terdapat seekor kura-kura yang menetap di sebuah kolam di daerah Himalaya.
Dua angsa muda liar, ketika sedang mencari makan, bertemu dengan kura-kura ini; lama kelamaan mereka menjadi teman akrab. Suatu hari dua angsa itu berkata kepadanya: “Teman Kura-kura, kami memiliki sebuah rumah yang indah di Himalaya, di atas satu dataran tinggi di Gunung Cittakūta, di dalam sebuah gua emas! Maukah Anda pergi bersama kami?”
“Bagaimana caranya,” katanya, “saya bisa ke sana?” “Oh, kami akan membawamu jika kamu dapat menutup mulutmu, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada siapa pun.”
“Ya, saya dapat melakukan itu,” katanya; “bawalah saya!”
Jadi mereka menyuruh kura-kura menggigit sebuah batang kayu dengan giginya, dan mereka sendiri memegang kedua ujung batang tersebut, mereka terbang ke udara.
Anak-anak desa melihat ini, dan berseru—“Di sana ada dua angsa membawa seekor kura-kura dengan sebatang kayu!”
(Pada saat ini, kedua angsa yang terbang dengan cepat telah sampai di atas istana raja, di Benares).
Kura-kura ingin berteriak—“Ya, dan jika teman-temanku membawaku, apa hubungannya dengan kalian, orang-orang yang jahat?”—ia pun melepaskan gigitannya pada batang kayu itu dan jatuh ke halaman istana, terbelah dua! Betapa ricuhnya keadaan di sana! “Seekor kura-kura jatuh ke halaman istana dan terbelah dua!” teriak mereka. Raja, dengan Bodhisatta, dan semua anggota istananya, datang ke tempat itu, dan ketika melihat kura-kura tersebut, raja menanyakan Bodhisatta sebuah pertanyaan. “Guru yang Bijak, apa yang membuat makhluk ini jatuh?”
“Sekaranglah saatnya!” pikir Bodhisatta. “Untuk waktu yang lama, saya berharap untuk menasihati raja, dan saya telah menunggu-nunggu kesempatan. Tidak diragukan lagi, kenyataannya adalah begini; kura-kura dan kedua angsa menjadi teman; angsa-angsa tersebut pasti berniat untuk membawanya ke Himalaya, dan menyuruhnya memegang sebuah batang di antara giginya dan kemudian mengangkatnya terbang ke udara; kemudian kura-kura tersebut mendengar beberapa perkataan dan ingin untuk menjawabnya; karena tidak sanggup untuk menahan mulutnya, dia pun melepaskan dirinya; [177] dan pasti dia jatuh dari udara dan menemui ajalnya.” Demikianlah yang dipikir Bodhisatta, dan dia menasihati raja demikian: “Oh Paduka, mereka yang terlalu banyak mulut, yang tidak membatasi perkataan mereka, akan menemui kemalangan seperti ini;” dan dia pun mengucapkan bait-bait berikut:—
Kura-kura ingin berbicara dengan keras,
walaupun di antara gigi-giginya,
sebatang kayu digigitnya, tetapi,
walaupun begitu, dia tetap berbicara—
dan akhirnya jatuh ke bawah.
Dan sekarang ingatlah baik-baik,
Anda harus berbicara dengan bijaksana,
harus berbicara tepat pada waktunya.
Jatuh menemui ajalnya sang kura-kura:
Dia berbicara terlalu banyak; itulah sebabnya.
“Dia sedang mengataiku!” pikir raja di dalam hatinya, dan menanyakan Bodhisatta apakah benar demikian.
“Apakah itu Anda, Paduka, ataupun orang lain,” jawab Bodhisatta, “siapa pun yang berbicara di luar batas, akan menemui kesengsaraan seperti ini.” Demikianlah dia membuat hal itu terwujudkan.
Dan sejak itu, raja mengendalikan diri dalam berbicara dan menjadi seorang yang berbicara sedikit.
____________________
[178] Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada saat itu, Kokālika (Kokalika) adalah kura-kura, dua mahāthera yang terkenal adalah dua angsa liar, Ānanda adalah raja, dan Aku adalah penasihatnya yang bijaksana.”
____________________
Catatan kaki :
128 Fausbøll, Five Jātakas, hal. 41; Dhammapada, hal. 418; bandingkan Benfey’s Pantschatantra, i. hal. 239; Babrius, ed. Lewis, i. 122; Phaedrus, ed. Orelli, 55, 128; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, viii.; Jacobs, Indian Fairy Tales, hal. 100 and 245.
129 Takkāriya-Jātaka, No. 481.

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/kacchapa-jataka-2/#more-8954

Cula Nandiya Jataka

No. 222

CŪLA-NANDIYA-JĀTAKA137

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Saya teringat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana, tentang Devadatta.
Suatu hari para bhikkhu berdiskusi di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta itu adalah orang yang kasar, bengis dan kejam, penuh dengan muslihat untuk menentang Sammāsambuddha. Dia melemparkan batu 138 , dia bahkan menggunakan bantuan Nāḷāgiri139; tidak ada perasaan kasihan dan belas kasih dalam dirinya terhadap Tathāgata.”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan ketika mereka duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Devadatta berkelakuan kasar, kejam, tanpa kasihan, tetapi dia juga begitu sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera yang bernama Nandiya, dan berdiam di daerah Himalaya; adiknya yang paling bungsu bernama Jollikin. Mereka berdua memimpin sebuah kelompok delapan puluh ribu ekor kera, dan mereka merawat ibunya yang buta di rumah.
Mereka meninggalkan ibu mereka di sarangnya di semak-semak dan pergi di antara pepohonan untuk mencari segala jenis buah liar yang manis, yang kemudian mereka kirim ke rumah untuknya. Para kera pesuruh tidak menyampaikannya. Tersiksa karena lapar, dia pun menjadi kurus kering. Bodhisatta berkata kepadanya, “Ibu, kami mengirim banyak buah-buahan manis kepadamu: apa yang membuatmu menjadi kurus?”
“Putraku, saya tidak pernah mendapatkannya!” [200] Bodhisatta merenung, “Di saat saya menjaga kawananku, ibuku akan mati! Saya akan meninggalkan kelompok itu, dan merawat ibuku sendiri.” Jadi dia memanggil adiknya, “Adik,” katanya, “kamu pimpin kawanan ini dan saya akan menjaga ibu.”
“Tidak, Kakak,” jawabnya, “mengapa saya harus memimpin kawanan itu? Saya juga hanya akan menjaga ibu!” Jadi mereka berdua memiliki satu pikiran dan meninggalkan kawanan kera tersebut, mereka membawa ibu mereka turun dari Himalaya dan berdiam di sebuah pohon beringin di daerah perbatasan, tempat mereka merawat sang ibu.
Kala itu, seorang brahmana yang tinggal di Takkasilā, yang telah menuntut ilmu dari seorang guru yang terkenal dan setelah itu, memohon diri, mengatakan bahwa dia akan pergi. Guru ini mempunyai kemampuan untuk meramal dari tanda-tanda badan seseorang; dan demikian dia merasa bahwa muridnya kasar, kejam dan bengis. “Anakku,” katanya, “Anda kasar, kejam dan bengis. Orang-orang seperti Anda tidak akan makmur dalam situasi apa pun; mereka hanya akan mendapatkan penderitaan dan kehancuran. Janganlah bertindak kasar dan berbuat sesuai kehendak diri Anda atau Anda akan menyesal setelahnya.” Dengan nasihat ini, dia membiarkannya pergi.
Pemuda itu berpamitan pada gurunya dan melanjutkan perjalanannya ke Benares. Di sana dia menikah dan berumahtangga. Karena tidak mampu untuk mencari nafkah dari keahlian-keahliannya yang lain, dia bertekad untuk hidup dari busurnya. Jadi dia mulai bekerja sebagai seorang pemburu, dan meninggalkan Benares untuk mencari nafkah. Menetap di perbatasan desa, dia menyisir hutan dengan dilengkapi busur dan anak panahnya, dan hidup dari menjual segala jenis daging hewan buas yang dia bunuh.
Suatu hari, ketika sedang pulang menuju ke rumah, setelah tidak menangkap apa pun di dalam hutan, dia melihat sebuah pohon beringin tumbuh berdiri di pinggir sebuah tanah lapang di hutan. “Mungkin,” pikirnya, “di sini ada sesuatu.” Dan dia membalikkan wajahnya ke pohon beringin tersebut. Kedua kera bersaudara tersebut baru saja memberi makan buah-buahan kepada ibu mereka dan duduk di belakangnya, di pohon itu, ketika mereka melihat laki-laki tersebut datang. “Meskipun dia melihat ibu kita,” kata mereka, “apa yang akan dilakukannya?” dan mereka bersembunyi di antara cabang-cabang pohon.
Kemudian orang jahat ini, ketika naik ke pohon dan melihat ibu kera tersebut lemah karena usia lanjut dan buta, berpikir, “Mengapa saya harus pulang dengan tangan kosong? Saya akan bunuh kera betina ini dahulu!” [201] dan mengangkat busurnya untuk membunuhnya. Bodhisatta melihat dan berkata kepada saudaranya, “Jollikin, orang ini hendak membunuh ibu kita! Saya akan menyelamatkan hidupnya. Setelah saya mati, Anda jagalah ibu kita.” Sambil berkata demikian, dia turun keluar dari pohon dan berteriak, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Dia buta dan lemah karena usia lanjut. Saya akan menyelamatkan hidupnya; jangan membunuhnya, tetapi bunuhlah saya!” Dan setelah yang lain berjanji kepadanya, dia duduk di tempat sejauh jangkauan anak panah.
Pemburu itu tanpa kasihan membunuh Bodhisatta; setelah dia jatuh, laki-laki itu mempersiapkan panahnya untuk membunuh ibu kera. Jollikin melihat ini dan pikirnya dalam hati, “Pemburu di sana ingin menembak ibuku. Walaupun ibu hanya hidup satu hari, dia akan menerima hadiah dari kehidupan; Saya akan memberikan nyawaku untuknya.” Maka, dia turun dari pohon, dan berkata, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Saya akan memberikan nyawaku untuknya. Bunuhlah saya—bawa kami dua bersaudara, dan ampunilah nyawa ibu kami!” Pemburu itu menyetujuinya dan Jollikin jongkok tidak jauh dari jangkauan anak panahnya. Pemburu membunuh yang satu ini juga, dan membunuhnya—“Ini cukup untuk anak-anakku di rumah,” pikirnya—dan dia menembak ibu kera itu juga; menggantungkan mereka bertiga di galahnya dan menuju ke rumah. Pada saat itu petir menyambar rumah laki-laki jahat itu, membakar istri dan kedua anaknya beserta rumah itu: tidak ada yang tersisa selain atap dan bambu yang tegak.
Seorang laki-laki bertemu dengannya di perbatasan memasuki desa dan menceritakan kepadanya. Kesedihan akan istri dan anak-anaknya melanda dirinya; di tempat itu juga dia menjatuhkan galahnya beserta hewan buruannya dan busurnya, melemparkan pakaiannya, dan telanjang dia menuju ke rumah, meratap dengan kedua tangan terjulur. Kemudian bambu yang tegak tersebut terbelah dan jatuh di atas kepalanya lalu menindihnya. Bumi terbuka lebar, api muncul dari neraka. Ketika dia ditelan bumi, dia teringat akan peringatan gurunya: [202] “Inilah ajaran yang diberikan Brahmana Pārāsariya kepadaku!” Dan sambil meratap, dia mengucapkan bait-bait berikut:
Saya teringat kata-kata guruku:
inilah yang dimaksudnya!
Hati-hatilah, jangan melakukan sesuatu
yang mungkin akan Anda sesali.
Apapun yang dilakukan seseorang,
hal yang sama akan menimpa dirinya sendiri:
Orang yang baik menjumpai yang baik,
dan yang jahat dirancang mendapatkan kejahatan;
Perbuatan kita semuanya adalah sama seperti benih,
akan menuaikan buah sejenisnya.
Demikian meratap, dia turun ke bawah bumi dan terlahir di alam neraka yang dalam.
____________________
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, yang Beliau tunjukkan bagaimana pada masa lainnya, seperti pada masa itu, Devadatta menjadi jahat, kejam dan bengis, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah pemburu, Sāriputta adalah guru terkenal, Ānanda adalah Jollikin, Gotamī adalah ibu kera, dan Aku sendiri adalah Nandiya.”
____________________
Catatan kaki :
137 Questions of Milinda, iv. 4. 24 (diterjemahkan ke S. B. E., xxxv. 287).
138 Untuk pelemparan batu lihat di Cullavagga vii. 3. 9; Hardy, Manual, hal. 320.
139 Seekor gajah ganas, dilepaskan atas permintaan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha. Lihat di Cullavagga vii. 3. 11 f. (Teks Vinaya, S. B. E., iii. 247 f.); Milinda, iv. 4. 44 (dimana dia dipanggil Dhanapālaka, seperti di Vol. i. 57); Hardy, Manual, hal. 320.

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/cula-nandiya-jataka/#more-8974

Puta Bhatta Jataka

No. 223

PUṬA-BHATTA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Kehormatan untuk kehormatan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang tuan tanah.
Diceritakan bahwasanya pada suatu waktu, seorang tuan tanah warga Kota Sāvatthi melakukan bisnis dengan seorang tuan tanah dari desa. [203] Membawa istrinya bersama, dia mengunjungi orang ini, penghutang; tetapi penghutang menyatakan bahwa dia tidak dapat membayar. Dalam kemarahan, tuan tanah (beserta istrinya) berangkat pulang tanpa menyantap sarapan pagi. Dalam perjalanan, beberapa orang bertemu dengannya; dan melihat betapa kelaparannya orang tersebut, memberinya makanan, dan memintanya untuk berbagi dengan istrinya.
Ketika dia mendapatkan ini, dia tidak rela memberikan sebagian kepada istrinya. Maka kepada istrinya, dia berkata, “Istri, tempat ini terkenal sering dikunjungi oleh pencuri, jadi Anda lebih baik pergi ke depan.” Setelah berhasil menyingkirkannya, dia memakan semua makanan dan kemudian menunjukkan panci kosong kepadanya, sambil berkata — “Lihat ini, Istriku, mereka memberiku sebuah panci kosong!” Istrinya menduga bahwa suaminya telah memakan semuanya sendiri dan menjadi sangat jengkel.
Ketika mereka berdua melewati wihara di Jetavana, mereka berpikir akan masuk ke dalamnya dan minum air. Di sana Sang Guru duduk, dengan sengaja menunggu untuk menjumpai mereka, seperti seorang pemburu yang sedang mengintai, duduk di dalam kamar-Nya yang wangi (gandhakuṭi). Beliau menyambut mereka dengan ramah, dan berkata, “Upasika, apakah suami Anda baik dan menyayangimu?” “Saya mencintainya, Bhante,” jawabnya, “tetapi dia tidak pernah mencintaiku; dibiarkan sendirian, pada hari ini dia diberikan sepanci makanan dalam perjalanan dan tidak memberikan sedikit pun kepadaku, menghabiskan semuanya sendiri.” “Upasika, begitulah yang selalu terjadi—Anda menyayangi dan baik, dan dia tidak menyayangi; tetapi ketika dengan bantuan orang bijak, dia mengetahui kebaikanmu, dia kemudian memberikan semua kehormatan kepadamu.”
Kemudian, atas permintaannya, Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta adalah putra dari salah seorang pejabat istana. Ketika dewasa, dia menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Raja takut akan putranya, kalau-kalau dia bakal melukainya, dan mengirimnya pergi. Membawa istrinya, putranya itu pergi dari kota dan datang ke Desa Kāsi, tempat dia menetap. Setelah beberapa waktu, ayahnya meninggal, putranya mendengar hal itu dan kembali ke Benares; “Saya mungkin akan mewarisi kerajaannya yang merupakan hak kelahiranku,” katanya.
Dalam perjalanannya, seseorang memberinya nasi, sambil berkata, “Makan dan berikanlah kepada istrimu juga.” Tetapi dia tidak memberikan sedikit pun dan menghabisinya sendiri. [204] Istrinya berpikir — “Ini adalah seorang laki-laki yang sungguh kejam!” dan dia dipenuhi dengan kesedihan.
Ketika suaminya tiba di Benares dan mewarisi kerajaannya, dia menjadikan istrinya sebagai permaisuri raja, tetapi berpikir—“Sedikit saja cukup untuknya,” dia tidak memberikan penghargaan atau kehormatan lainnya, bahkan tidak menanyakan bagaimana keadaannya.
“Permaisuri ini,” pikir Bodhisatta, ”melayani raja dengan baik dan mencintainya, sedangkan raja tidak memikirkannya sedikit pun. Saya akan membuat raja memberikan kehormatan dan penghargaan kepadanya.” Maka dia datang ke permaisuri dan memberi salam, berdiri di satu sisi. “Ada apa, Guru?” tanyanya.
“Permaisuri,” Bodhisatta bertanya, “bagaimana kami dapat melayani Anda? Bukankah seharusnya Anda memberikan kepada orang-orang tua ini sepotong baju atau semangkuk nasi?” “Guru, saya tidak pernah menerima apa pun untuk diriku sendiri; apa yang dapat kuberikan kepada Anda? Jika saya menerima, apakah saya pernah tidak memberi? Tetapi sekarang raja tidak memberikan apa pun kepadaku, apalagi memberikan sesuatu kepada yang lain, ketika dia dalam perjalanan, dia menerima semangkuk nasi dan tidak memberikan sedikit pun kepadaku—dia menghabiskannya sendiri.”
“Baik, Permaisuri, sanggupkah Anda mengatakan ini di depan raja?”
“Ya,” balas permaisuri.
“Baiklah, kalau begitu. Hari ini, ketika saya berdiri di hadapan raja, di saat saya menanyakan pertanyaanku, berikanlah jawaban yang sama; dan hari ini juga saya akan membuat kebaikanmu disadari (oleh raja).” Maka Bodhisatta pergi dan berdiri di hadapan raja. Dan permaisuri juga pergi dan berdiri di dekat raja.
Kemudian Bodhisatta berkata, “Permaisuri, Anda sangat kejam. Bukankah seharusnya Anda memberikan orang-orang tua ini sepotong pakaian dan sepiring makanan?” Dan permaisuri menjawab, “Guru, saya sendiri tidak menerima apa pun dari raja: apa yang dapat saya berikan kepada Anda?”
“Bukankah Anda permaisuri raja?” Bodhisatta bertanya. “Guru,” kata permaisuri, “apa artinya menjadi seorang permaisuri raja kalau tidak ada kehormatan diberikan? Apa yang akan diberikan raja kepada saya sekarang? Ketika dia mendapatkan sepiring nasi di tengah perjalanan. [205] Dia bahkan tidak memberikan sedikit pun kepadaku, malah menghabiskan semuanya sendiri.”
Dan Bodhisatta bertanya kepada raja, “Benarkah begitu, Paduka?” Dan raja mengiyakannya. Ketika Bodhisatta melihat raja mengangguk, “Kalau begitu, Permaisuri,” katanya, “mengapa harus tinggal di sini bersama raja setelah dia telah menjadi tidak baik? Di dunia ini, kesatuan tanpa kasih sayang adalah hal yang menyakitkan. Ketika Anda tinggal di sini, kesatuan tanpa kasih sayang dengan raja akan membawa kesengsaraan bagimu. Rakyat menghormati orang yang menghormati (orang lain), dan ketika tidak ada yang menghormati—Segera setelah Anda melihatnya, Anda seharusnya pergi ke tempat lain; banyak orang yang hidup di dunia ini.”
Dan beliau mengucapkan bait-bait berikut:
Kehormatan untuk kehormatan,
kasih sayang untuk kasih sayang
adalah hal yang wajar:
Lakukan kebajikan untuk orang yang
melakukan hal yang sama terhadapmu:
Ketaatan menghasilkan ketaatan; tetapi ini jelas
tak seorang pun ingin membantu orang
yang tidak akan membantu lagi.
Membalas pengabaian untuk pengabaian,
jangan tinggal untuk menyenangkan orang
yang kasihnya telah tiada. Dunia ini luas; dan
ketika burung-burung melihat dari jauh pohon-pohon
yang telah kehilangan buah—mereka terbang pergi.
Mendengar ini, raja memberikan semua penghormatan kepada permaisurinya; dan sejak saat itu, mereka hidup bersama dalam persahabatan dan keharmonisan.
____________________
[206] Ketika Sang Guru telah mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Suami istri itu adalah orang yang sama di dalam kisah ini, dan penasihat bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/puta-bhatta-jataka/#more-8976

Senin, 07 Maret 2011

18 Cara Mengusir Hantu dari Berbagai Belahan dunia


 
 

1.Tapal Kuda

Mungkin yang paling terkenal dari pesona ini adalah tapal kuda. Dipercaya untuk mengusir penyihir dari memasuki rumah Anda, serta membawa keberuntungan bagi semua orang yang lewat, tapal kuda harus tergantung di atas pintu depanAnda dan dapat berupa dipakukan menghadap ke atas atau bawah. Keyakinanberasal dari cerita rakyat Inggris abad ke-16 dan sepatu kuda terus menyapa pengunjung ke rumah-rumah di seluruh dunia.
2. Cermin Ba Gua
Cermin Ba Gua, yang berasal dari Cina, adalah simbol populer di Feng shui.Dengan menempatkan di pintu masuk ke pintu utama Anda, Anda akan menyambut harmoni dan menciptakan nasib baik bagi semua orang yang masuk.
Selain itu, cermin Ba Gua juga pesona untuk melawan Qi negatif yang bersifat rohani, seperti entitas jahat – sehingga mereka tidak dapat masuk rumah Anda.
3. Kelapa Sawit
Di Filipina, ada Kelapa sawit, sekelompok daun palem hias yang dijual dalam Minggu Palma, yang menandai awal minggu Kudus. Ini diberkati oleh imam Katolik dan digantung di pintu. Mereka diyakini sebagai jimat untuk menangkal kejahatan.
4. Wind chimes
Wind chimes dipercaya untuk menakut-nakuti roh-roh jahat. Plus, benda ini mempunyai suara yang indah!
Lonceng angin modern memiliki asal usul dalam lonceng angin India, yang kemudian diperkenalkan ke Cina, di mana mereka akhirnya digunakan untuk melindungi rumah. Lonceng angin Jepang kaca dikenal sebagai furin diperkirakan membawa keberuntungan juga.
5. Mezuzah
Menurut Kabbalah (mistisisme Yahudi), mezuzah menyangkal akses jahat dan merusak mereka masuk ke rumah, dan mereka yang memasang sebuah mezuzah dilindungi sepanjang waktu.
Mezuzah adalah sepotong perkamen yang mengandung ayat-ayat bahasa Ibranidan doa, dan ini yang digulung, disimpan ke dalam kasus yang indah danmelekat diagonal kepada kusen pintu.
6. Nazar/Tanda mata
Tanda Mata, juga dikenal sebagai batu mata jahat, adalah sebuah jimat Yunani / Turki digunakan untuk menangkal dari “kejahatan-mata”, yang dikenal dalam budaya Mediterania sebagai “Mal de ojo”.
Biasanya terbuat dari kaca berwarna, Nazar akan melindungi rumah Anda dari nasib buruk.
7. Rowan
Dalam beberapa kepercayaan orang Celtic, salib yang terbuat dari cabang-cabang pohon Rowan dan diikat dengan benang merah digunakan sebagai pelindung pesona di atas pintu rumah. Seperti yang tercantum dalam sajak lama: “pohonRowan, benang merah, memegang penyihir semua dalam ketakutan.”
8. Ofuda
Melindungi keluarga dari penyakit adalah kekuatan ofuda, sebuah jimat yang berasal dari Jepang dan kepercayaan Shinto. Ini biasanya dihiasi kertas, kayu,kain atau logam yang melekat ke pintu.
9. Arrowheads
Mata panah atas pintu depan Anda dipercaya untuk mencegah pencuri darimasuk ke rumah Anda.
10. Wishbone
Bagi mereka yang mencari cinta, wishbone dipaku di atas pintu depan Anda selama Hari Tahun Baru akan membawa kekasih baru ke dalam hidup Anda, tetapi Anda harus bernyanyi “Sayang, datang ke sini!” tiga kali!
11. Batang kayu manis
Sebuah objek yang lebih sehari-hari seperti batang kayu manis diikat di atas pintu juga akan melindungi rumah Anda. Dulu, ini digunakan oleh Mesir untuk membuat suatu daerah kudus/Suci, dan oleh Cina untuk memurnikan candi.
12. Seruling bambu
Kepercayaan lain Feng Shui untuk mengamankan rumah anda dari setiap getaran yang buruk adalah untuk menggantung suling bambu di pintu depan. Seruling bambu juga merupakan simbol kekuatan dan dukungan.
13. Mahakala
Mahakala dianggap dalam Buddhisme Tibet sebagai pelindung Dharma. Direpresentasikan dalam berbagai bentuk, Mahakala dapat memiliki satu wajah dengan satu lengan dua atau enam, atau delapan wajah dengan 16senjata. Dia adalah pembela hukum dan dengan demikian ditempatkan di pintumasuk kuil-kuil Buddha
14. Karangan Bunga Rosemary
Karangan bunga yang dibuat rosemary segar diikat dengan benang hijau juga akan melindungi rumah Anda. Sebagai perlindungan tambahan, masukkan bunga-bunga ini: snapdragons, cyclamen, bunga bawang putih, marigold, anyeliratau mawar dalam interval tiga, tujuh atau sembilan. Menggantungnya di pintu dan bahkan dapat menikmati aroma!
15 Penggaris Koin Emperors
Ingin membanggakan kekayaan Anda? Menggantung 6 Coin Kaisar ‘Penguasa di atas pintu depan Anda untuk melambangkan kesuksesan dalam bisnis Anda.
16. Hamsa
Sebuah Hamsa, atau Tangan Fatima (hand of Fatima), adalah sebuah jimat berbentuk kelapa dengan simbol mata di tengah.
Dalam bahasa Arab dan budaya Berber, ini diyakini untuk mengusir mata jahat.
Mungkin tergantung di pintu atau dinding, dan sebagian besar saat ini telah menjadi daya tarik yang populer untuk kalung Anda.
17. Pintu Dewa
Sekarang … Pintu dewa ! Ini adalah kain dekoratif Cina ditempatkan pada setiap sisi dari pintu masuk ke rumah, kuil atau bisnis yang dipercaya untuk menjaga roh-roh jahat masuk. Mereka selalu datang berpasangan dan harus ditempatkan saling berhadapan. Para dewa pintu sebenarnya potret dari dua jenderal, Qin dan Yuchi Jingde Shubao, yang hidup pada masa Kaisar TangTaizong.
Kaisar menghormati mereka berdua dengan menempatkan gambar mereka dipintu depan rumahnya. Jenderal ini selalu waspada juga berpikir untuk menarik keberuntungan dan menangkis roh-roh jahat.
18. Bawang Putih
Dan kemudian ada bawang putih. Ini mungkin menjadi perlindungan paling umum tergantung di pintu di berbagai belahan dunia, untuk perlindungan terhadap makhluk mitos bahkan dikenal di lokasi yang paling terpencil di planet:vampir. Bawang putih repels vampir; semua orang tahu itu!
Karena bawang putih perkasa ditemukan mana saja kapan saja, itu adalahpesona paling mudah dapat Anda temukan. Jadi menggantung beberapa saat di pintu depan Anda.


sumber:http://www.beritaunik.net/misteri-dunia/18-cara-mengusir-hantu-dari-berbagai-belahan-dunia.html 
http://lubang-kecil.blogspot.com