SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Jumat, 30 September 2011

Kisah-kisah keberadaan Mahluk Peta/Hantu

Perbuatan (kamma) Menjelang Kematian 

Prioritas berikutnya adalah  kamma/perbuatan menjelang  kematian, suatu kamma kuat yang diingat ataupun dilakukan sesaat sebelum kematian, yaitu sesaat sebelum proses kognitif  terakhir. Jika seseorang  dengan watak yang jelek mengingat perbuatan baik yang pernah di lakukannya atau melakukan suatu perbuatan baik  sesaat sebelum mati, dia bisa memperoleh kelahiran kembali yang menguntungkan, beberapa contoh kisahnya antara lain.
      
                                                      Kisah  Tambadathika

Tambadathika  mengabdi  kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh lima tahun, dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelah mempersiapkan bubur nasi di rumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan  bubur nasi itu untuk di makannya  setelah kembali dari sungai.

Pada waktu Tambadathika mengambil  bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana Sampatti, berada di muka pintu rumahnya.  Pada saat melihat Sariputra Thera, Tambadathika  berpikir,  " Meskipun dalam hidupku  saya telah menghukum mati para pencuri,  sekarang saya seharusnya  mepersembahkan makanan ini kepada  bhikkhu itu."  Kemudian  ia mengundang  Sariputta Thera  untuk datang kerumahnya dan dengan hormat  mempersembahkan bubur nasi tersebut.
Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarakan Dhamma kepadanya, tapi  Tambadathika tidak dapat memperhatikannya, sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya  sebagai seorang penjagal.  Ketika Sariputta  Thera mengetahui hal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri atas kehendaknya atau ia di perintahkan untuk melakukan hal itu.

Tambadathika menjawab bahwa ia di perintah raja untuk membunuh mereka dan tidak berniat untuk membunuh.  Kemudian Sariputta Thera bertanya, " Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?"  Tambadathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jaawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.

Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan  Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai  anulomaññana.  Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu dan kemudian ia pulang kembali kerumahnya. 

Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai seekor sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia.

Ketika  Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikkhu memberitahu beliau perihal kematian Tambadathika. Ketika di tanyakan dimana Tambadathika  di lahirkan kembali, Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun  Tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarnya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia.  Ia di lahirkan kembali di alam sorga Tusita.

Para  bhikkhu sangat heran  bagaimana mungkin seseorang  yang melakukan perbuatan jahat seperti itu dapat memperoleh  pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali.  Kepada mereka, Sang Buddha berkata :  " Daripada  suatu penjelasan  panjang yang tampa makna , lebih baik satu kata yang mengandung  pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar."

Kemudian  Sang Buddha membabarkan syair 100 berikut :

Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.   
(Dhammapada Atthakatha  Bab VIII ; 1. syair 100)

                                            Kisah  Seorang Bekas  Pemburu

Cerita ini terjadi di Srilangka pada masa puncak perkembangan agama Buddha tradisi Theravada.  Di katakan bahwa ketika itu masih terdapat banyak Arahat.  Salah seorang Arahat tersebut adalah seorang Sesepuh ata bhikkhu senior.  Ayahnya dahulu merupakan seorang pemburu yang kemudian meninggalkan keduniawian dan memasuki Sangha di usia lanjut.  Menjelang kematiannya, ia mengingau. Wajahnya menyeringai ketakutan dan terlihat mencoba menghalau penyerang yang tidak tampak.

"Ada apa, Ayah?" Tanya Yang Mulia Sesepuh tersebut.
"Anjing hitam! Ada anjing hitam galak yang menyerangku!" jawab ayahnya ketakutan.

Yang Mulia sesepuh tersebut mengetahui bahwa mata pencaharian tidak benar yang di alami ayahnya dulu yang menyebabkan penampakan ini.  Segera ia menyuruh para samanera mengumpulkan bunga dan menatanya dengan rapi di dasar stupa vihara tersebut. Lalu mereka mengangkut ayahnya ke daerah stupa tadi.

"Lihatlah, ayah," kata Yang Mulia sesepuh sambil menunjuk ke arah hamparan bunga di Stupa.  "Kami telah mempersembahkan bungan-bunga di Stupa itu atas namamu. Berbahagialah, Ayah."
Ayahnya membuka mata dan tersenyum  dengan penuh penghargaan dan bahagia. Lalu ia menutup mata lagi dan menjadi tenang dan damai seiring dengan menghembuskan nafasnya terakhirnya.

Cerita tersebut mengandung pelajaran yang bagus bagi kita semua. Jika Yang Mulia Sesepuh tersebut tidak turun tangan, melainkan hanya berdiri diam melihat ayahnya mati dengan penuh ketakutan, tentu ayanya akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan. Tetapi berkat bantuan yang tepat waktu dan kreatif, beliau telah memberi ayah beliau suatu peluang yang amat menentukan untuk menghasilkan pikiran yang baik pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya- suatu keadaan pikiran yang berakar pada kedermawanan dan di sertai  dengan kebahagiaan- yang cukup kuat untuk menyebabkan kelahiran kembali yang baik.


                                                             Kisah Tissa Thera

Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatthi. Pada suatu hari ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya.  Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia.

Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalama lipatan jubah tersebut. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya,  diputuskan bahwa seperangkat  jubah tersebut akan di bagi  bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.

Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak,  "Mereka sedang merusak jubahku!"

Teriakan ini di dengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan perbuatan para bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari.  Pada hari kedelapan, seprangkat  jubah milik Tissa Thera  itu di bagi oleh para bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha di tanya oleh para bhikkhu mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera.  Kepada mereka Sang Buddha berkata,  "Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir  kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut.  Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa si kutu sangatlah menderita dan berlarian tak tentu arah  dalam lipatan jubah itu.  Jika engkau mengambil jubah tersebut pada saat itu, Tissa si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di Alam Neraka (Niraya). Tetapi sekarang  Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab itu Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut.

"Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat merusak besi di mana ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang bhikkhu sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan pokok"

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair  240 berikut :

Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri, begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan menjerumuskan pelakunya ke alam kehidupan yang menyedihkan. 
(Dhammapada Attakatha BAb XVIII Syair 240)

                                                      Kisah  Ratu  Malika

Suatu hari, Ratu Malika pergi kekamar mandi mencuci wajah, kaki dan tangannya.  Anjing  peliharaannya juga masuk, ketika dia membungkuk untuk mencuci kakinya, anjing itu mencoba berhubungan kelamin dengannya, dan ratu merasa terhibur dan senang.  Raja melihat kejadian aneh  lewat jendela kamarnya, ketika ratu masuk, dia berkata dengan marah, " Oh kamu wanita hina! Apa yang kamu lakukan dengan anjing itu di kamar mandi? Jangan menyangkal apa yang saya lihat dengan mataku sendiri."  Ratu menjawab bahwa dia hanya mencuci muka, tangan dan kakinya, tidak melakukan kesalahan apapun. Kemudian dia melanjutkan,  "Tetapi,  ruangan itu sangat aneh. Jika seseorang masuk ke ruang itu, bagi orang yang melihat dari jendela ini ia akan muncul menjadi dua gambaran. Jika anda tidak mempercayaiku, Raja, silahkan masuk keruangan itu dan saya akan melihat lewat jendela ini."

Raja pergi kekamar mandi. Ketika dia keluar, Malika bertanya kepada raja mengapa dia berlaku tidak pantas dengan seekor kambing betina di kamar itu.  Raja menyangkal, tetapi ratu bersihkeras bahwa ia melihat mereka dengan mata sendiri. Raja kebingungan tetapi seprti orang tolol dia menerima penjelasan dari ratu dan menyimpulkan bahwa kamar mandi itu benar-benar sangat aneh.

Sejak saat itu, ratu sangat menyesal karena telah berbohong pada raja dan telah kurang ajar menuduhnya atas kelakuannya yang tidak pantas dengan seekor kambing betina.  Kelak walaupun hampir meninggal dunia, dia melupakan kemurahan hati yang besar tiada bandingannya, yang telah di berikan kepada suaminya, dan hanya mengingat bahwa dia telah bersikap tidak jujur terhadap suaminya.  Sebagai akibat dari perbuatannya, setelah meninggal dunia dia dilahirkan di Alam Neraka  (Niraya). Setelah pembakaran jenazahnya usai, raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana dia di lahirkan kembali. Sang Buddha ingin menunda perasaan raja, dan  juga tidak ingin raja berkurang keyakinannya terhadap Dhamma,. Beliau mengalihkan pertanyaan itu, bahwa tidak seharunya pertanyaan itu di tanyakan kepada Beliau sekarang ini sehingga Raja Pasenadi lupa bertanya pada Sang Buddha.

Setelah tujuh hari di Alam Neraka (Niraya), ratu di lahirkan kembali di surga Tusita, Pada saat itu, Sang Buddha pergi ke istana Raja Pasenadi untuk menerima dana makanan. Beliau berharap dapat beristrahat di bangsal  kereta tempat kereta kerajaan di simpan.  Setelah mempersembahkan dana makanan, raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana Ratu Malika di lahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab, "Malika telah di lahirkan di surga Tusita."  Mendengar hal ini raja sangat gembira dan berkata, " Dimana lagi dia dapat di lahirkan ? Dia selalu berpikir tentang perbuatan baik, selalu berpikir apa yang akan di persembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante, sekarang ia telah pergi, saya, murid-Mu yang rendah ini, hampir tidak tahu apa yang harus di kerjakan."

Kepada raja Sang Buddha berkata, " Lihat pada kereta ayahmu dan kakekmu, semua ini tergeletak sia-sia, sama halnya seperti tubuhmu yang menjadi sasaran kematian dan kerusakan. Hanya  Dhamma yang mulia, yang tidak menjadi sasaran kehancuran."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair  151 berikut:

Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh ini akan menjadi tua. Tetapi 'Ajaran' (Dhamma) orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan.
(Dhammapada Atthakatha Bab XI:6, syair 151)

                                                   Kisah Matthakundali

 hal 2...
bersambung......................... ke hal 3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar