SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA


Kamis, 19 Mei 2011

Menjadi Buddha

 Ada 8 kondisi dunia menutup hati makhluk:

1. Malang (alabha).
2. Beruntung (labha).
3. Pecundang (ayasa).
4. Terkenal (yasa).
5. Terhina (ninda).
6. Terpuji (pasamsa).
7. Susah (dukkha).
8. Senang (sukkha).
Untuk membuka hati seseorang harus:
1. Tak malang juga tak beruntung.
2. Tak pecundang juga bukan berkuasa.
3. Tak terhina juga tak terpuji.
4. Tak susah juga tak senang.
Kenapa begitu, karena jika tak maka ia sulit untuk bisa memahami ajaran kebenaran atau dharma dengan sempurna – seutuhnya – sepahamnya. Ia cuma akan menggunakan ajaran itu sebagai tempelan belaka, sebagai pelengkap kehidupan, dan ia akan beranggapan sudah bijak untuk berpikir “hidup saya sudah lengkap, karena saya sudah beragama” padahal belum, karena agama baru jalan, apa orang itu akan menggunakannya untuk melengkapi kesadarannya itu hal lain.
Jika ia masih berada dalam satu dari delapan kondisi dunia yang mengguncang itu, maka ia masih menempatkan pikirannya pada dunia daripada pada ajaram benar. Contoh, jika masih kaya maka ia tak terlalu mau untuk sepenuhnya melatih diri, karena kesadarannya masih punya ekspansi untuk terus hidup di dunia ini, yaitu hartanya. Contoh lain, jika ia sering susah maka ia tak bisa sepenuhnya melatih diri, karena kesadarannya masih punya ekspansi untuk terus hidup di dunia ini, yaitu niat untuk jadi benar dan bebas susah.
Pada prinsipnya, selama masih ada satu hal yang membuat seseorang perlu untuk tinggal di dunia, seperti anak, ilmu, kekasih, maka ia tak pernah bebas dari penderitaan dan disaat bersamaan ia masih belum dekat dengan ajaran yang benar. Ajaran yang benar adalah ajaran yang membebaskan makhluk dari penderitaan, bukan ajaran yang menimbun hal-hal baik untuk menutupi hal-hal buruk yang bersembunyi dilapis terdalam pikiran yaitu bawahsadar.
Karena itu:
- Jika seseorang beruntung, maka ia perlu keluar dari keberuntungannya.
Misal orang yang terlalu kaya, maka ia perlu mengurangi sedikit kekayaannya dengan banyak memberi hartanya pada yang membutuhkan. Ia harus terus melakukannya sampai ia tak merasa lagi bahwa ia kaya.
- Jika seseorang malang, maka ia perlu keluar dari kemalangannya.
Melalui media seperti buku-buku motivasi atau agama, ia perlu berusaha mendapatkan keberuntunganya, tapi sambil menunggu keberuntungannya datang, ia kembali menekuni ajaran yang benar, karena jika ia menunggu beruntung dulu, maka ia tetap harus mengurangi lagi keberuntungannya agar bisa kembali belajar. Perlunya seseorang menjadi beruntung adalah agar ia tak beralasan, “nanti saja, aku masih capek, aku masih miskin” dan perlunya seseorang menjadi tak beruntung adalah agar ia tak beralasan “nanti saja, biar kunikmati dunia dulu”.
Bisa kita simpulkan, orang yang bukan tak beruntung bukan pula tak beruntung (level 8 kesaktian meditasi) adalah orang malang yang sedang dalam masa belajar menjadi beruntung dan orang beruntung yang banyak memberi pada yang lain. Dua jenis orang inilah yang sudah mendapatkan Kosong dalam hal “bukan beruntung bukanpula tak beruntung”.
- Jika seseorang berkuasa, maka ia perlu keluar dari kekuasaannya.
Dengan cara mengangkat beberapa orang dan memberi jabatan-jabatan sehingga kekuasaannya terbagi-bagi ke orang lain.
Orang berkuasa cenderung memandang balasan adalah sesuatu yang pas untuk setiap kesalahan, orang tak berkuasa cenderung memandang balasan yang diatas pasti akan datang meski dirisendiri tak membalas. Jadi kekuasaan selalu diikuti oleh kekerasan, sekalipun yang berkuasa itu baik dan tak mungkar, ia tetap akan menindak kesalahan dengan kekerasan.
- Jika seseorang lahir atau besar sebagai pecundang maka ia perlu sedikit berkuasa, agar ia merasa berharga untuk mengerjakan sesuatu yang berharga seperti ajaran benar. Contoh seorang pelacur atau preman cenderung malas untuk berbuat baik dengan alasan, “ah aku sudah memang orang yang seperti ini, yang seperti itu bukan untukku” atau orang kecil yang malas membangun dayakritis terhadap keadaan karena “kita kan orang kecil”.
- Jika seseorang merasa terhina, maka ia perlu keluar dari kehinaannya.
Menurut pendapat saya, seseorang yang dihina padahal tak bersalah adalah karena auranya masih menyimpan perbuatan-perbuatan masalalu yang suka berbuat ricuh dan masih belum mendapat ganjarannya. Karena itu seseorang yang seperti itu perlu mulai membangun reputasi pikiran ucapan perbuatan baik agar tumbuh kepercayaan lingkungan pada dirinya, sehingga ia pun mudah untuk belajar dan mengajar ajaran yang benar. Jika tak, maka perkembangan mentalnya macet karena pandangan yang diyakini tak bisa diaplikasikannya karena kurang apresiasi dari masyarakat.
- Jika seseorang merasa terpuji, maka ia perlu keluar dari reputasinya.
Sudah sering kita dengar berbagai petuah orang bijak masalalu bahwa pujian itu perlu disikapi dengan tenang, jangan bergirang karena pujian, karena dalam pujian itu tak ada obyektifitas lagi, karena itu seseorang yang sedang dipuji tetap harus mengembalikan obyektifitas pikirannya, agar ia masih mampu untuk berkata benar. Jika tidak maka ia cuma berkata yang disenangi orang untuk dikatakan.
- Jika seseorang sedang susah, maka ia perlu keluar dari kesusahannya.
Orang yang masih suka pegal atau sakit saat duduk lama belum mampu untuk memasuki meditasi. Karena ada tingkat-tingkat meditasi yang mesyaratkan lepasnya sang meditator dari pengaruh-pengaruh lapisan fisik dan mental.
- Jika seseorang sedang senang, maka ia perlu keluar dari kesenangannya.
Orang yang hidup bermewah-mewahan, pikirannya adalah pikiran manja, bukan pikiran berdisiplin. Karena itu sering kita temukan orang yang malas sholat, mengaji, tapi lebih suka nonton TV kabel, meski ada segelintir mutiara di tengah-tengah lumpur. Orang-orang yang bangun dari ketaksadarannya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Inilah yang saya maksud jika senang perlu tak senang.
Singkat kata, dari seluruh uraian saya, orang yang hatinya terbuka adalah orang yang tak terkena polusi kesadaran yang berjumlah 8 itu. Orang seperti ini akan mampu meniti tangga-tangga pencerahan.

 

Menjadi Buddha (Part 2): Menjadi Bhikkhu  

Posted by Lord Bharadvaja pada Februari 13, 2011

Lanjutan tulisan “Menjadi Buddha (Part 1): Menjadi Upasaka“.
3 Precepts:
Avoid evil, do good, purify the mind
5 precepts:
1. I undertake the training rule to abstain from taking life
2. I undertake the training rule to abstain from taking what is not given.
3. I undertake the training rule to abstain from sexual misconduct.
4. I undertake the training rule to abstain from false speech.
5. I undertake the training rule to abstain from fermented drink that causes heedlessness.
8 precepts:
The Eight Precepts are the precepts for Buddhist lay men and women who wish to practice a bit more strictly than the usual five precepts for Buddhists. The eight precepts focus both on avoiding morally bad behaviour, as do the five precepts, and on leading a more ascetic lifestyle.
1. I undertake to abstain from causing harm and taking life (both human and non-human).
2. I undertake to abstain from taking what is not given (stealing).
3. I undertake to abstain from sexual activity.
4. I undertake to abstain from wrong speech: telling lies, deceiving others, manipulating others, using hurtful words.
5. I undertake to abstain from using intoxicating drinks and drugs, which lead to carelessness.
6. I undertake to abstain from eating at the wrong time (the right time is after sunrise, before noon).
7. I undertake to abstain from singing, dancing, playing music, attending entertainment performances, wearing perfume, and using cosmetics and garlands (decorative accessories).
8. I undertake to abstain from luxurious places for sitting or sleeping, and overindulging in sleep.
10 precepts:
The Ten Precepts (Pali: dasasila or samanerasikkha) refer to the precepts (training rules) for Buddhist samaneras (novice monks) and samaneris (novice nuns). They are used in most Buddhist schools.
1. Refrain from killing living things.
2. Refrain from stealing.
3. Refrain from un-chastity (sensuality, sexuality, lust).
4. Refrain from lying.
5. Refrain from taking intoxicants.
6. Refrain from taking food at inappropriate times (after noon).
7. Refrain from singing, dancing, playing music or attending entertainment programs (performances).
8. Refrain from wearing perfume, cosmetics and garland (decorative accessories).
9. Refrain fromusing high or large beds.
10. Refrain from accepting gold and silver.


“Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci (kebhikkhuan) dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun. Ananda dalam agama manapun ketika kaum wanitanya ditahbiskan, maka agama tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama. Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.” (Vin. II, 256)
8 Peraturan itu adalah:
1. Bhikkhuni, walau telah upasampada selama seratus tahun, harus menghormat (namakkara), bangun menyambut dengan hormat pada seorang bhikkhu walau baru upasampada pada hari itu. Bhikkhuni harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
2. Bhikkhuni, tidak boleh bervassa di suatu tempat yang tidak ada bhikkhunya. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
3. Bhikkhuni, harus menanyakan hari uposatha dan mendengar ajaran Dhamma dari Sangha bhikkhu setiap tengah bulan. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
4. Bhikkhuni, setelah melaksanakan vassa, harus melakukan pavarana dalam Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
5. Bhikkhuni, yang melakukan pelanggaran berat harus melakukan manata (pembersihan diri) pada Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
6. Bhikkhuni, harus diupasampada dalam Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, setelah dua tahun sebagai sikkhamana. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
7. Bhikkhuni, tidak boleh berkata kasar pada seorang bhikkhu. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
8. Bhikkhuni, tidak boleh mengajar bhikkhu. Tapi, bhikkhu boleh mengajar bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.
Jadi, karena Sang Buddha memenuhi permintaan para wanita untuk mendirikan sangha bhikkhuni, kemurnian ajaran Buddha cuma berlangsung selama 500 tahun. Tapi Buddha mengatakan bahwa wanita pun bisa menjadi Arahat saat ia meninggalkan kehidupanrumahtangga dan mengembangkan pikirannya. (Vin. VII, 513)
Sesudah Sang Buddha Gautama Maha Parinibbana para Bhikkhu dan Bhikkhuni pergi menyebarkan Dhamma ke seluruh penjuru dunia. Para Bhikkhuni rentan terhadap kekerasan dari para penjahat (penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan) sehingga para wanita menjadi takut untuk menjadi Bhikkhuni karena dayatahan wanita lebih lemah. Dengan tidak adanya yang mau menjadi Bhikkhuni maka tidak ada regenerasi dalam Sangha Bhikkhuni. Sangha Bhikkhuni pun habis/punah, sejak dalam aturan Vinaya Bhikkhuni (Bhikkhuni vibhanga) jika ingin upasampada harus ada minimal 1 Bhikkhuni Mahathera dan 4 Bhikkhuni. Karena Bhikkhuni sudah habis maka tak bisa menghasilkan upasampada Bhikkhuni baru.
Dalam Theravada tidak di ijinkan adanya Sangha Bhikkhuni karena tidak dapat melanjutkan aturan Sangha Bhikkhuni. Tak ada lagi Sangha Bhikkhuni dalam Theravada tapi Theravada mempersilahkan para wanita untuk menjadi Anagarini/Silacarini kalau dalam Bhikkhu di sebut Samanera (calon Bhikkhu) Anagarini/Silacarini melaksanakan 10 sila (Dasasila) dan 75 Sekkhiya (aturan Samanera).

Satu Tanggapan to “Sangha Bhikkhuni”

Tri Budi Dharma berkata

Bila kita cermati sejarah munculnya Sangha bhikkhuni, maka bisa diambil kesimpulan, ada beberapa tahap perubahan cara upasampada bhikkhuni. Pertama, dilakukan sendiri oleh Sang Buddha dengan memberikan garudhamma kepada Putri
Mahapajapati Gotami. Upasampada ini dilakukan secara khusus hanya pada Putri Mahapajapati Gotami. Upasampada ini disebut Atthagarudhammapatiggahanupasampada. Sang Buddha tidak pernah lagi melakukannya pada wanita lain.
Kedua, dilakukan oleh para bhikkhu atas perintah Sang Buddha. Upasampada ini dilakukan hanya pada para wanita pengikut Putri Mahapajapati Gotami. Tidak dilakukan pada wanita lain sesudahnya.
Ketiga, setelah Sangha bhikkhuni terbentuk (dipimpin oleh Bhikkhuni Mahapajapati Gotami), upasampada yang dinamakan Atthavacikaupasampada dilakukan pada dua Sangha yaitu, Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, sesuai dengan garudhamma yang harus dipatuhi oleh bhikkhuni seumur hidup.
Upasampada ini dilakukan semasa Sang Buddha masih hidup hingga Sang Buddha Parinibbana dan sesudahnya. Sang Buddha tak pernah mengijinkan upasampada dengan cara lain.
Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti telah melanggar ketentuan yang telah Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya. Hasilnya, tentu saja bukanlah sebagai bhikkhuni seperti yang diterangkan dalam
Tipitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka, Culavagga.
Begitupun Sangha Bhikkhu. Dalam perjalanannya, sejak kemunculannya, Sangha Bhikkhu mengalami beberapa tahap perubahan cara upasampada.
Pada awalnya, diupasampada oleh Sang Buddha sendiri dengan mengucapkan ” Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo cara brahmacariyam sammadukkhassa antakiriyaya”.
‘Datanglah wahai bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna,
laksanakan kehidupan suci untuk mengakhiri dukkha’.
Disebut Ehi bhikkhu upasampada dan hanya dilakukan oleh Sang Buddha sendiri.
Tidak oleh bhikkhu lainnya.
Kedua, upasampada yang dilakukan oleh seorang upajjhaya dengan menguncarkan
Tisarana. Upasampada ini disebut “Tisaranagaman-upasampada”.
Ketiga, upasampada yang dilakukan oleh Sangha (dengan seorang upajjhaya,
kammavacacariya dan anusavanacariya) dengan natticatutthakammavaca.
Upasampada ini disebut “natticatutthakamma upasampada”.
Cara ini dilakukan hingga saat ini. Sang Buddha tak mengijinkan upasampada
dengan cara lain. Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti
telah melanggar ketentuan yang Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya.
Hasilnya, tentu saja tidak bisa disebut sebagai ‘bhikkhu’ seperti yang telah
diterangkan dalam TiPitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka.
Vinaya (kedisiplinan) bagi para bhikkhu maupun bhikkhuni diberlakukan oleh
Sang Buddha seiring dengan perjalanan sejarah dan hukum ketidak-kekalan.
Kemunculan seorang Buddha di dunia ini bukanlah secara kebetulan.
Seorang Bodhisatta harus menunggu cukup lama di sorga Tusita hingga keadaan
di dunia ini memenuhi syarat bagi kemunculan seorang Buddha, terutama
kualitas batin manusia-manusianya.
Pada saat itulah Bodhisatta turun (terlahir) di dunia. Dan “dengan mudahnya”
mencapai penerangan sempurna sebagai Samma-sambuddha dan ‘mentahbiskan’
dirinya sendiri menjadi seorang pertapa (bhikkhu) pertama dalam Buddha
Sasana.
‘Dengan mudahnya’ Beliau mengupasampada murid-murid-Nya dengan hanya
mengucapkan: “Ehi bhikkhu” yang artinya “datanglah wahai bhikkhu”.
Para savaka (murid) itu ‘dengan mudahnya’ mencapai kesucian arahat, anagami,
sakadagami ataupun sotapanna. Bahkan, tidak sedikit yang mampu mencapai
kesucian arahat sebelum diupasampada menjadi bhikkhu.
Begitupun savaka-savaka perumah tangga. Cukup banyak yang ‘dengan mudahnya’
mencapai kesucian.
Semua berlangsung ‘dengan mudahnya’! Karena, saat itu manusia-manusia
berjenis batin sempurna (ugghatitanna dan vipacitanna) bermunculan bertemu
‘nasib’ dengan seorang Sammasambuddha, diiringi oleh manusia-manusia
berjenis batin neyya (masih mampu menerima ajaran) dan tentu saja oleh
manusia-manusia padaparama (tak mampu menerima ajaran) sebagai bagian yang
terbesar / terbanyak.
Saat itu, belum diberlakukan kedisiplinan (vinaya) terhadap para bhikkhu.
Mereka boleh saja berbuat sesuka hatinya. Namun, tentu saja perbuatan mereka
itu sesuai dengan kualitas batinnya yang luhur. Mereka memang tidak perlu
dikenai pembatasan-pembatasan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu;
bagaikan musim buah yang ‘pasti’ tak akan berlangsung lama (terus menerus),
karena masuknya orang-orang yang berjenis batin neyya dan padaparama ke
dalam jajaran Sangha, serta lain-lain alasan sesuai dengan keperluan yang
diketahui melalui mata Kebuddhaan-Nya, maka Sang Buddha mulai memberlakukan
kedisiplinan kebhikkhuan (vinaya). Vinaya inipun mengalami
perubahan-perubahan hingga mencapai titik sempurna, dan diberlakukan hingga
kini dan selanjutnya.
Bagi para Arahat melaksanakan vinaya adalah sebagai penghormatan terhadap
Dhamma dan memberi contoh pada yang lain. Bagi yang lain, melaksanakan
vinaya adalah sebagai kelengkapan wajib untuk mencapai tingkat batin yang
lebih tinggi, disamping samadhi dan panna. Begitupun terhadap upasampada
bhikkhu dan bhikkhuni yang memang termasuk dalam vinaya, mengalami
perubahan-perubahan sesuai dengan keperluan yang dilihat melalui mata
Kebuddhaan-Nya (bukan mata para siswa Arahat lainnya, apalagi mata siswa
puthujjana). Sang Buddha ‘terpaksa repot-repot’ merubah cara upasampada.
Yang lama (yang sederhana dan mudah) tidak diberlakukan lagi, diganti dengan
yang baru (yang bertele-tele tapi relevan bagi masanya).
Dan akhirnya, tersimpulkan, natticatuttakammaupasampada sebagai upasampada
bhikkhu, dan atthavacikaupasampada sebagai upasampada bhikkhuni. Kedua
upasampada inilah yang relevan dilakukan hingga punahnya Buddha Sasana dari
muka bumi ini kelak.
Sangha bhikkhuni telah punah mendahului Sangha bhikkhu. Tak mungkin lagi
dilakukan upasampada terhadap wanita untuk menjadi bhikkhuni. Kalau hanya
berdasarkan kejadian-kejadian pada awal munculnya Buddha Sasana saja, tanpa
mengindahkan perubahan-perubahan yang diberlakukan oleh Sang Buddha,
seseorang boleh saja mengupasampada diri sendiri menjadi bhikkhu. Karena,
Pangeran Siddhatta pun mengupasampada diri-Nya sendiri.
Atau setiap bhikkhu boleh melakukan upasampada dengan Tisaranagamanupasampada. Atau menciptakan
tata cara upasampada sendiri.
Dan, seorang wanita pun boleh saja menemui bhikkhu (hasil upasampada Sangha
maupun yang mengupasampada dirinya sendiri), minta diupasampada menjadi
bhikkhuni. Atau, lebih mudahnya lagi, dengan menyatakan diri menerima
garudhamma seperti Puteri Mahapajapati Gotami. Atau menciptakan tata cara
upasampada sendiri.
Untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni, seseorang tak perlu ‘repot-repot’ melalui
tata cara upasampada yang ‘bertele-tele’. Dan tak perlu lagi mengindahkan
kata Sang Guru. Maka, bertebaranlah bhikkhu dan bhikkhuni ‘swasta’ menghiasi
Buddha Sasana ‘swasta’ di dunia ini.
Pada saat Asoka Maharaja berjaya, ia mengirim Dhammaduta ke Sri Lanka juga
ke Asia Tenggara dan daerah-daerah lain. Dhammaduta yang pergi ke Asia
Tenggara dan daerah lain tidak disertai oleh Sangha bhikkhuni. Karenanya,
tidak pernah terdapat bhikkhuni di sana.
Mahinda Thera beserta Sangha Bhikkhu dan Sanghamitta Theri beserta Sangha
Bhikkhuni mengupasampada pria dan wanita Sri Lanka yang berminat.
Sangha Bhikkhuni sempat berjaya di sana. Namun, kemudian memudar dan
akhirnya punah karena tak ada lagi wanita yang berminat upasampada menjadi
bhikkhuni. Itulah saat terakhir keberadaan Sangha Bhikkhuni di muka bumi
ini. Itu pula kenyataan yang terjadi. Sangha Bhikkhuni telah punah dari muka
bumi ini

 

Menjadi Buddha (Part 3): Menjadi Ariya

I. Memperkuat pikiran (tahap Sotapanna)
- Anapanasati
“Dalam hal ini, seorang bhikkhu menetapkan perhatian murni di hadapannya (artinya ia memperhatikan dengan waspada obyek meditasinya, yaitu pernapasan).
Dengan penuh perhatian ia menarik nafas.
Dengan penuh perhatian ia menghembus nafas.
Saat menarik nafas panjang ia tahu ia sedang menarik nafas panjang.
Saat menghembus nafas panjang ia tahu ia sedang menghembus nafas panjang.
Saat menarik nafas pendek ia tahu ia sedang menarik nafas pendek.
Saat menghembus nafas pendek ia tahu ia sedang menghembus nafas pendek.”
- Iriyapatha dan Satisampajana
“Selanjutnya, seorang bhikku, saat ia berjalan ia tahu sedang berjalan, saat berdiri, ia tahu sedang berdiri, saat duduk ia tahu sedang duduk, saat ia berbaring ia tahu sedang berbaring.”
“Selanjutnya, seorang bhikku,
Saat berjalan ke depan atau belakang, tahu yang ia lakukan.
Saat melihat ke depan atau belakang, tahu yang ia lakukan.
Saat menekuk atau mengulur, tahu yang ia lakukan.
Saat membawa perlengkapan bajunya dan peralatannya, tahu yang ia lakukan.
Saat makan, minum, kunyah, kecap, tahu yang ia lakukan.
Saat kencing atau berak, tahu yang ia lakukan.
Saat berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, atau saat bicara atau diam, tahu yang ia lakukan.
Pokoknya sadar semua gerakan yang ia lakukan.
- Kayagatasati
“Selain itu, para bhikkhu, seorang bhikkhu terhadap fisik, dari tapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang terselubung kulit dan penuh kekotoran, ia mengamati begini:
‘Di fisik ini ada rambut,
Di fisik ini ada bulu,
Di fisik ini ada kuku,
Di fisik ini ada gigi,
Di fisik ini ada kulit,
Di fisik ini ada daging,
Di fisik ini ada otot,
Di fisik ini ada tulang,
Di fisik ini ada sumsum,
Di fisik ini ada ginjal,
Di fisik ini ada jantung,
Di fisik ini ada hati,
Di fisik ini ada diafragma,
Di fisik ini ada limpa,
Di fisik ini ada paru-paru,
Di fisik ini ada usus kecil,
Di fisik ini ada usus besar,
Di fisik ini ada makanan dalam lambung,
Di fisik ini ada tinja,
Di fisik ini ada otak,
Di fisik ini ada empedu,
Di fisik ini ada lendir,
Di fisik ini ada nanah,
Di fisik ini ada darah,
Di fisik ini ada keringat,
Di fisik ini ada lemak,
Di fisik ini ada airmata,
Di fisik ini ada minyak tubuh,
Di fisik ini ada ludah,
Di fisik ini ada kotoran hidung,
Di fisik ini ada minyak sendi,
Di fisik ini ada urin.’”
- Dhatuvavatthana
“Selanjutnya, seorang bhikku, mengamati:
‘Di fisik ini ada 5 unsur: air, tanah, ruang, udara, api‘.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur air (apo) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur tanah (pathavi) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur ruang (akasha) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur udara (vayo) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Seorang bhikkhu memperhatikan unsur api (teja) yang ada di dirinya dan diluar diri. Semua itu diperhatikan sebagai tanpadiri.
Jika sesuatu yang mengandung unsur-unsur itu datang ke dirinya, ia harus membuat benda itu lolos menembus kesadarannya dan tak berdiam di kesadaran, dengan rasa netral.”
- Sivathika
Lv 1 Mayat Busuk:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang membengkak dan membusuk, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Ulat Sutra
Lv 2 Mayat Pecah:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang dagingnya terkoyak-koyak, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu’. Ilmu Cakar Tulang Putih
Lv 3 Mayat Merana:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang dagingnya terkuliti, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Penyedot Bintang
Lv 4 Mayat Hancur:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang dagingnya tercabik, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Bajubesi lv5
Lv 5 Mayat Kalah :  Seorang bhikku yang melihat mayat yang hampir tinggal kerangka, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Silat Tulang Putih
Lv 6 Putus Tulang:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang tinggal kerangka patah, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Tenagadalam … Bulan
Lv 7 Tulang Putih:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang kerangkanya memutih, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ilmu Iblis Darah
Lv 8 1000 Tulang:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang berupa tumpukan tulang, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘. Ravirontek
Final lv Debu Tulang Mayat:  Seorang bhikku yang melihat mayat yang tulangnya menjadi debu, membandingkan fisik itu dengan fisiknya, sambil berpikir, ‘fisikku juga punya sifat-sifat yang sama dengannya, karena itu fisikku juga bisa menjadi seperti itu‘.” Debu Tulang Putih
- Cittanupassana
“Dalam hal ini, seorang bhikkhu tahu
Pikiran yang muncul sebagai pikiran bernafsu, sebagai pikiran bernafsu.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran suci, sebagai pikiran suci.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran membenci, sebagai pikiran membenci.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mencinta, sebagai pikiran mencinta.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran sesat, sebagai pikiran sesat.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran pas, sebagai pikiran pas.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran ragu, sebagai pikiran ragu.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran teguh, sebagai pikiran teguh.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mandeg, sebagai pikiran mandeg.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran maju, sebagai pikiran maju.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran picik, sebagai pikiran picik.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mulia, sebagai pikiran mulia.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran mengambang, sebagai pikiran mengambang.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran terpusat, sebagai pikiran terpusat.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran buntu, sebagai pikiran buntu.
Pikiran yang muncul sebagai pikiran bebas, sebagai pikiran bebas.”
II. Menemukan Jalan Tengah (tahap Sakadagami)
- Vedananupassana
“Saat mengalami perasaan menyenangkan, ia sadar ‘ini menyenangkan‘.
Saat mengalami perasaan mengganggu, ia sadar ‘ini mengganggu‘.
Saat mengalami perasaan fisik menyenangkan, ia sadar ‘ini menyenangkan‘.
Saat mengalami perasaan fisik mengganggu, ia sadar ‘ini mengganggu‘.
Saat mengalami perasaan bukan tak menyenangkan dan bukan tak mengganggu, ia sadar ‘ini bukan tak menyenangkan dan bukan tak mengganggu‘.”
III. Hidup di Jalan Tengah (tahap Anagami)
- Dhammanupassana
“Seorang bhikkhu mengetahui dengan jelas
Saat obyek ada.
Saat obyek tak ada.
Saat obyek muncul.
Saat obyek lenyap.
Saat obyek tak akan muncul lagi untuk selamanya.“

 

Menjadi Buddha (Part 4): Menjadi Anagami

Anagami magga adalah mutant yang sudah selesai bekerja menghancurkan 5 rintangan kesucian, tinggal menunggu perubahan dirinya.
* Kepercayaan akan adanya diri yang abadi (Sakkāya-diṭṭhi)
* Meragukan ajaran buddha dhamma (Vicikicchā)
* Melekat pada sila dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)
* Nafsu 6 indra (Kāma-rāga)
* kebencian dan niat jahat (Vyāpāda)
Anagami phala adalah seseorang yang sudah mendapat buahkamma dari prakteknya sehingga mengubah dirinya menjadi seorang Anagami.
Inilah cara:
I. Mencapai anagami magga: Jangan mencari kebahagiaan dari upadhi (perolehan 6 indra).
2. Mencapai anagami phala: Berdhammanupassanasatipatthana atas point:
- nafsu berpikir hal-hal yang merosotkan batin.
- nafsu melihat yang indah-indah.
- nafsu mendengar suara yang merdu.
- nafsu mencium aroma yang harum.
- nafsu mengecap rasa enak.
- nafsu menyentuh tekstur bagus.
Berdhammanupassanasatipatthana (Sadar saat obyek ada. Saat obyek tak ada. Saat obyek muncul. Saat obyek lenyap. Saat obyek tak akan muncul lagi untuk selamanya) terus sampai membentuk putaran energy hingga akhirnya jadi Anagami.
2 Tanggapan to “Menjadi Buddha (Part 4): Menjadi Anagami”
  
Bicara soal lain, inilah 10 Belenggu Mental yang terkait dengan soal menjadi makhluk suci tingkat Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat:
10 Belenggu mental:
1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).
2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan lalu dan kehidupan mendatang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicch).
3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parmsa).
4. Nafsu indriya (kama-raga).
5. Dendam atau dengki (vyapada).
6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rupa-raga).
7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arupa-rga).
8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mana).
9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
10. Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijj).
Lima samyojana (1 – 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhgiya-samyojana.
Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 – 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhgiya-samyojana.
Orambhgiya-samyojana dan Uddhambhgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.
  
Arahat, artinya: “Bhikkhu yang sempurna.”
Arahat Magga: Bhikkhu yang sudah selesai bekerja atas 10 belenggu batin.
Arahat Phala: Bhikkhu yang bertransformasi karena hancurnya 10 belenggu batin dan disebut Buddha (Yang Tercerahkan).

http://bharadvaja.wordpress.com/category/kesadaran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar